Kontroversi Anugerah Paling Terhormat
Selama puluhan tahun, Panitia Nobel Norwegia kerap dituding bias pada kelompok tertentu. Sebagian penerima hadiah itu melakukan hal yang bertentangan dengan tujuan penganugerahan
Selama lebih dari seabad terakhir, Nobel menjadi hadiah paling bergengsi dan kerap disebut puncak pencapaian seseorang atau suatu lembaga. Selama itu pula, berkali-kali ada kontroversi dalam penganugerahan hadiah itu.
Laporan De Groene Amsterdammer, majalah di Belanda, pada 28 September 2022 menambah daftar kontroversi terkait hadiah itu. Sebelum laporan terkait penerima Nobel Perdamaian 1996 Carlos Filipe Ximenes Belo itu diungkap, sudah banyak tudingan miring pada hadiah tersebut.
Panitia Nobel pernah dituding bias pada perempuan kala tidak memberikan hadiah bidang fisika kepada Jocelyn Bell di 1974. Panitia malah memberikan hadiah itu kepada Antony Hewish dan Martin Ryle.
Baca juga Nobel Fisika untuk Tiga Periset Teknologi Kuantum
Meski sama-sama meneliti pulsar, bintang neutron dengan daya magnit besar, kontribusi Bell dalam penemuan obyek antariksa itu tidak dianggap oleh panitia Nobel. Padahal, dengan memanfaatkan teleskop yang dibangun Hewish, Bell adalah orang pertama yang menemukan pulsar.
Pada 2006, Sekretaris Komite Nobel Norwegia Geir Lundestad malah membuat pengakuan kontroversial. Ia mengungkap, Mahatma Gandhi dinominasikan sebagai penerima Nobel tiga kali berturut-turut sejak 1946. Sayang, bias karena paradigma yang terlalu Eropa membuat panitia gagal mengakui kontribusi pejuang kemerdekaan India itu. Panitia juga disebut gagal menghargai upaya kemerdekaan dari penjajahan bangsa-bangsa Eropa kala itu.
Panitia Nobel, menurut Lundestad, telah gagal memahami kiprah Gandhi. Menurutnya, Gandhi tidak rugi dengan fakta itu. Akan tetapi, ia tidak yakin apakah Panitia Nobel Norwegia tidak rugi karena tidak memberikan Gandhi hadiah yang pantas didapatkannya.
Kontroversi Perdamaian
Bukan hanya soal pemilihan pemenang, para penerima hadiah Nobel Perdamaian pun memicu kontroversi. Di Asia Tenggara, ada tiga penerima Nobel Perdamaian yang memicu kontroversi.
Pemimpin Vietnam Utara Le Duc Tho menolak menerima Nobel Perdamaian 1973. Ia dipilih bersama Penasihat Keamanan Nasional Amerika Serikat Henry Kissinger sebagai penerima. Panitia menganggap mereka berperan penting dalam mengupayakan perdamaian di Vietnam.
Tho menolak karena menganggap perdamaian belum terwujud di Vietnam. Kala hadiah itu diberikan, Vietnam Utara masih terus berperang dengan Vietnam Selatan yang dibantu AS. Tho juga marah karena AS tidak berhenti membom Vietnam.
“Mustahil bagi saya menerima Nobel Perdamaian 1973 yang dianugerahkan Panitia ke saya. Saat kesepakatan Paris terkait Vietnam dihormati, baku tembak dihentikan, dan perdamaian sejati diwujudkan di Vietnam Selatan, saya akan mempertimbangkan menerima hadiah ini,” tulisnya kepada Panitia Nobel Norwegia.
Baca juga Meraba Pemenang Nobel Perdamaian di Tahun Penuh Gejolak Perang
Dalam serangkaian laporan terkait perundingan-perundingan Tho-Kissinger, Tho berulang kali mengecam Kissinger. Sebab, selagi perundingan berlangsung, AS terus membom Vietnam. Sebagian bom itu menggunakan senyawa kimia yang kini terlarang. Tho protes karena Kissinger ada dalam pemerintahan yang memerintahkan kekejaman itu.
Hampir dua dekade setelah penolakan Tho, warga Asia Tenggara kembali menerima Nobel Perdamaian. Kali ini, giliran Aung San Suu Kyi mendapatkan hadiah bergengsi itu. Sampai beberapa tahun selepas mendapat Nobel, nyaris tidak ada kontroversi terkait Suu Kyi.
Masalah merebak saat ada krisis Rohingya. Suu Kyi yang telah menjadi pejabat tinggi Myanmar malah menjadi pengacara militer Myanmar yang digugat di Mahkamah Kriminal Internasional. Gugatan itu diajukan atas tuduhan genosida oleh militer Myanmar, Tatmadaw, kepada orang-orang Rohingya.
Manuver Suu Kyi membuat sejumlah orang mengajukan petisi pencabutan Nobel Perdamaian untuk dirinya. Sampai sekarang, hadiah untuk Suu Kyi tidak pernah dicabut.
Kontroversi ketiga terkait penerima Nobel Perdamaian di Asia Tenggara merebak pada 28 September 2022. Lewat laporan media Belanda yang kemudian ditindaklanjuti berbagai media lain itu, mantan Uskup Dili Carlos Belo diduga melecehkan anak-anak selama puluhan tahun. Tudingan itu membuat Belo mengundurkan dari pada 2002.
Bahkan, Takhta Suci dilaporkan melarang Belo berhubungan dengan semua anak Timor Leste. Juru bicara Vatikan, Matteo Bruni, menyebut bahwa Takhta Suci sudah menyelidiki dan bertindak atas tudingan itu sejak beberapa tahun terakhir. Belo disanksi antara lain berupa larangan bepergian ke mana pun tanpa izin khusus dan tertulis dari Vatikan. Belo juga dilarang berhubungan dengan anak-anak Timor Leste. Menurut Bruni, Belo menerima hukuman itu.
Terus Perang
Kontroversi terkait Nobel Perdamaian juga ditunjukkan oleh Presiden AS Barack Obama dan Perdana Menteri Etiopia Abiy Ahmed. Sebagai pemimpin, mereka melakukan hampir semua hal yang bertentangan dengan wasiat Alfred Nobel.
Baca juga Nobel Ekonomi 2021 dan Revolusi Kredibilitas
Dalam wasiatnya, Nobel menghibahkan sebagian hartanya untuk dijadikan penghargaan bagi siapa pun yang berusaha sekerasnya meningkatkan kehidupan dan perdamaian manusia. Obama dan Ahmed tidak melakukan itu.
Kala Obama menerima Nobel Perdamaian pada 2009, sejumlah pihak mengkritik pilihan itu. Sebab, Obama dinilai belum banyak berkontribusi pada kedamaian dunia. Ia ditetapkan sebagai penerima Nobel Perdamaian kala belum setahun menjadi Presiden AS.
Kritik semakin banyak karena belakangan terungkap Obama menyetujui berbagai serangan ke negara lain. Dalam laporan yang diungkap Pemerintah AS pada 2017, Obama menyetujui dan memerintahkan 563 serangan udara selama menjadi Presiden AS. Hingga 807 warga sipil tewas dalam serangkaian serangan itu.
Bahkan, jumlah serangan udara yang diperintahan Obama jauh lebih banyak dibandingkan George HW Bush. Padahal, Bush memerintahkan AS menyerbu Irak dan Afghanistan atas dalih melawan teror.
Di masa Obama, AS antara lain terlibat perang di Yaman dan Somalia. AS juga tetap menjadi pedagang senjata terbesar. Padahal, Nobel amat menyesali kekayaan yang didapatnya dari berdagang dinamit.
Dalam pengakuan pada 2015, Lundestad juga menyelesali pemberian Nobel Perdamaian untuk Obama. Waktu hadiah diberikan, menurut Lundestad, panitia berpikiran anugerah itu akan semakin memperkuat upaya Obama mendorong perdamaian. Faktanya, pendukung Obama pun protes pada penganugerahan itu. “Banyak pendukung Obama meyakini penganugerahan itu suatu kesalahan,” kata dia.
Baca juga Hadiah Nobel untuk Peneliti Evolusi Manusia
Di Etiopia, Ahmed juga sudah hampir 2 tahun memimpin perang pasukan pemerintah pusat dengan milisi Tigray. Perang saudara itu diwarnai pengungsian jutaan orang Tigray, etnis yang salah satu tokohnya adalah Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia Tedros Adhanom Ghebreyesus. Dalam sejumlah kesempatan, Ghebreyesus meminta dunia membantu mengakhiri perang saudara di negaranya. Sampai sekarang, permintaan itu tidak kunjung menunjukkan hasil.
Di masa lalu, Tigray memang mengendalikan hampir semua sektor kehidupan di Etiopia. Sebagai etnis terbesar, Tigray bisa melakukan itu. Sejak Ahmed jadi PM padaa 2018, ada perubahan struktur sosial ekonomi politik di negara itu. Tigray tidak puas dan menentangnya. Ahmed menanggapi penentangan itu dengan menyetujui perang sejak November 2020. Perintah perang dikeluarkan 11 bulan setelah Ahmed menerima Nobel Perdamaian 2019.
Ahmed menerima Nobel karena dianggap berusaha menyatukan Etiopia dan menyelesaikan konflik puluhan tahun dengan Eritrea. Belakangan, Ahmed malah memimpin perang yang mengancam persatuan Etiopia. (AFP/REUTERS)