Utusan Profesional ASEAN Akan Lebih Efektif Dampingi Myanmar
Indonesia adalah Ketua ASEAN 2023. Saatnya Indonesia menegaskan sikap ASEAN untuk menangani krisis Myanmar.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Kepemimpinan Indonesia di ASEAN selama setahun ke depan akan berlaku per November 2022. Isu Myanmar merupakan salah satu prioritas. Untuk itu, Indonesia diminta agar membentuk utusan khusus di bawah ASEAN, bukan di bawah ketua, agar bisa mendampingi perkembangan situasi di Myanmar dalam waktu lama.
Hal ini menjadi pendapat semua pembicara dalam seminar ”Mengidentifikasi Isu-isu Prioritas ASEAN 2023” yang diadakan oleh Centre for Strategic and International Studies (CSIS), di Jakarta, Kamis (29/9/2022).
”Saat ini, ASEAN sedang berada di titik terendah. ASEAN dilemahkan oleh anggotanya sendiri ataupun oleh negara-negara mitra wicara yang kebijakannya tidak mendukung ASEAN,” kata Menteri Luar Negeri periode 2001-2009 Hassan Wirajuda.
Ia menjelaskan, anggota-anggota ASEAN tidak sepenuhnya kompak. Dalam isu Myanmar, sikap negara-negara anggota ASEAN berbeda-beda. Akan tetapi, Hassan menggarisbawahi persoalan penunjukan utusan khusus untuk menangani Myanmar.
Dalam kepemimpinan Brunei Darussalam dan Kamboja dua tahun belakangan, utusan khusus adalah menteri luar negeri setiap negara. Konsekuensinya, tugas selesai begitu periode kepemimpinan ASEAN selama setahun usai.
”Utusan khusus untuk Myanmar semestinya profesional yang bekerja di bawah ASEAN. Tugasnya akan terus berjalan meskipun negara yang memegang keketuaan organisasi sudah berganti. Dia wajib memberi laporan berkala kepada ASEAN untuk bisa dikaji dan dibenahi. Ini akan memberi kredibilitas lebih kepada ASEAN sendiri,” tutur Hassan.
Peneliti senior CSIS yang pernah menjabat sebagai duta besar untuk Inggris periode 2016-2020, Rizal Sukma, mengatakan, utusan khusus yang melekat pada Ketua ASEAN adalah konyol. Lain jika utusan khusus di bawah ASEAN sehingga akan bersifat lintas periode kepemimpinan.
Model ini, menurut Rizal, akan memperlihatkan kesetiaan ASEAN kepada persoalan yang sedang dihadapi salah satu anggota mereka. Dengan demikian, ada kekuatan untuk mendorong rembuk antara semua pemangku kepentingan di Myanmar, mulai dari junta, kelompok pro-demokrasi, hingga kelompok etnis minoritas.
”Jika demikian, baru ASEAN bisa meminta mereka duduk bersama untuk membicarakan pemilihan umum yang disetujui oleh rakyat Myanmar,” kata Rizal.
Wacana pengucilan
Sementara itu, muncul pula gagasan untuk menangguhkan keanggotaan negara yang tidak mematuhi Piagam ASEAN, seperti Myanmar. Salah satunya ialah dengan mengucilkan mereka dari segala kegiatan ASEAN.
Namun, Direktur Jenderal Institut Kebijakan Luar Negeri dan Kajian Strategis Diplomasi Vietnam, Vu Le Thai Hoang, menjelaskan, junta militer Myanmar sudah terbiasa dikucilkan. Jika ASEAN memilih memperpanjang masa pengucilan, junta tidak akan menanggapinya dengan serius. Mereka justru akan mencari dukungan di negara-negara di luar kawasan.
Menurut Vu, penting mengajak semua negara mitra wicara ASEAN agar satu suara mengenai Myanmar. Bahkan, tidak menutup kemungkinan juga ASEAN mengembangkan dialog informal dengan negara-negara mitra wicara yang bergabung dalam pakta pertahanan Quadrilateral, yaitu Amerika Serikat, Jepang, India, dan Australia.
Apabila Myanmar memang harus dikucilkan, harus ada upaya untuk mencegah negara itu jatuh ke dalam pengaruh asing yang akan menggoyang keseimbangan di kawasan. Salah satu negara mitra wicara ASEAN, yaitu Rusia, turut menambah pelik persoalan karena Menteri Luar Negeri Sergei Lavrov melakukan kunjungan resmi ke Naypyitaw Agustus lalu sehingga ditafsirkan sebagai pengakuan Rusia atas junta.
Sejauh ini, lima poin konsensus ASEAN yang turut ditandatangani oleh junta militer tidak kunjung dilaksanakan. Terjadi perbedaan pandangan dalam ASEAN. Beberapa anggota mengusulkan agar Myanmar dikeluarkan dari organisasi. Akan tetapi, mayoritas anggota ASEAN menilai langkah itu tidak efektif karena semakin menyusahkan komunikasi ASEAN dengan rakyat Myanmar, terutama untuk pemberian bantuan kemanusiaan.
Utusan khusus untuk Myanmar pada 2021 adalah Erywan Yusof yang merupakan Menteri Luar Negeri Brunei Darussalam. Sementara utusan khusus untuk Myanmar pada 2022 adalah Menteri Luar Negeri Kamboja Prak Sokhonn. Tugas keduanya selesai ketika negara mereka tidak lagi menduduki kursi Ketua ASEAN.
Dalam seminar itu, Hassan juga mengkritisi pola kepemimpinan ASEAN. Setiap negara yang mendapat giliran menjadi ketua biasanya sibuk sendiri mengembangkan agenda baru. Akibatnya, hasilnya tidak ada yang maksimal. Lebih baik, dalam kepemimpinan Indonesia nanti, fokus kepada prioritas yang sudah berjalan agar satu tahun masa keketuaan tidak mubazir.
Menurut dia, setiap anggota harus memutakhirkan komitmen mereka terhadap Piagam ASEAN. Organisasi juga harus mengkaji kembali berbagai mekanisme yang mereka miliki, misalnya Konferensi Tingkat Tinggi Asia Timur dan Forum Regional ASEAN.
“Untuk Forum Regional, selama ini terlalu sibuk mengembangkan jumlah negara mitra wicara sehingga menyerupai Perserikatan Bangsa-Bangsa mini, tetapi kinerjanya kurang menghujam,” kata Hassan.
Direktur Institut Visi Asia (AVI) Chhiang Vannarith menerangkan, jika memang melibatkan negara mitra wicara, proyek-proyeknya harus dikurasi agar spesifik terhadap isu ASEAN. Itu pun dengan persyaratan dari ASEAN guna memperkuat sentralitas organisasi.
Beberapa proyek strategis ASEAN yang baru dikukuhkan pada Pertemuan ke-50 Menlu ASEAN di Kamboja, awal Agustus lalu adalah pembangunan pusat-pusat penelitian kesehatan, jejaring kedaulatan pangan kawasan, dan mempertahankan kawasan Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka. Semua dilakukan dengan prinsip dialog inklusif.