Peran Indonesia adalah menjembatani dan mencari kompromi dalam berbagai isu global seperti pembangunan dan keamanan. Indonesia memilih untuk tidak ikut kelompok negara yang hanya mendorong kepentingan politik tertentu.
Oleh
FRANSISCA ROMANA
·4 menit baca
Di tengah terpaan berbagai masalah global, tarik-menarik kepentingan antarnegara jamak terjadi di forum multilateral terbesar, yakni Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dengan memegang teguh prinsip dasar dalam hubungan internasional, posisi Indonesia tidak mudah digoyang oleh negara mana pun.
Inilah yang terus dipastikan oleh Perwakilan Tetap RI (PTRI) untuk PBB di New York, Amerika Serikat, sejak Indonesia masuk menjadi anggota PBB pada 28 September 1950. Kala itu Indonesia menjadi anggota ke-60 PBB. Sama seperti dukungan yang diberikan oleh PBB, Indonesia pun mendukung tujuan dan prinsip yang tertuang dalam Piagam PBB.
Setelah lebih dari tujuh dekade, posisi Indonesia tidak berubah. “Kita memegang teguh politik luar negeri bebas aktif. Kita pegang rambu-rambu hukum internasional dan Piagam PBB. Posisi Indonesia selalu kita upayakan sejalan dengan itu. Negara lain pun menjadi percaya dengan Indonesia dan menghargai peran Indonesia,” kata Wakil Tetap RI untuk PBB Arrmanatha Nasir, Sabtu (24/9/2022) di kantor PTRI New York.
Menurut dia, selalu ada kelompok negara yang punya kepentingan A atau B. Peran Indonesia adalah menjembatani dan mencari kompromi dalam berbagai isu global seperti pembangunan dan keamanan. Indonesia pun memilih untuk tidak ikut kelompok negara yang hanya mendorong kepentingan politik tertentu.
Arrmanatha mencontohkan pada saat muncul usulan resolusi terkait perang di Ukraina. “Kita menjadi salah satu negara yang diajak oleh negara-negara Barat. Saya sampaikan, kita akui (perang) ini melanggar hukum internasional dan Piagam PBB. Tetapi saat mereka mengembangkan resolusi menjadi berlebihan, kita bilang setop. Akhirnya mereka sepakat membuat resolusi dengan berbagai masukan kita,” paparnya.
Indonesia mengajukan adanya koridor kemanusiaan, mendorong agar perang segera dihentikan, dan agar kedua negara segera melakukan gencatan senjata lalu berdialog. Dengan demikian, usulan resolusi itu diterima banyak negara. Hal yang sama berlaku untuk berbagai isu global yang dibahas di PBB seperti perubahan iklim, pembangunan di negara-negara berkembang, dan kesehatan.
Norma internasional
PTRI New York merupakan bentuk perwakilan Indonesia untuk organisasi internasional, yakni PBB. Ada 193 negara anggota PBB dan mereka semua punya perwakilan tetap. Tugasnya adalah membahas isu-isu yang menjadi fokus organisasi internasional tersebut, dari isu keamanan hingga pembangunan, dan menyelaraskannya dengan agenda nasional.
Dalam hal ini, PTRI tidak mengurusi soal perlindungan warga negara Indonesia, promosi investasi, atau kerja sama sosial budaya. “Kita ikut membentuk norma global, berkontribusi membangun aturan global, dalam berbagai isu. Misalnya sekarang kita sedang membuat aturan global tentang keamanan siber,” ujar Arrmanatha.
Fokus kerja PTRI adalah menjadi kepanjangan tangan prioritas nasional Indonesia. Tahun ini Indonesia sedang menjadi ketua G20. Tentunya berbagai isu terkait G20 seperti infrastruktur kesehatan global, transisi energi, dan transformasi digital, menjadi fokus PTRI. PTRI mendorong ketiga isu tersebut agar menjadi pembahasan utama, salah satunya di Dewan Ekonomi dan Sosial PBB (Ecosoc).
Selain itu ada isu-isu yang terus menjadi perhatian Indonesia, seperti soal pasukan penjaga perdamaian, untuk membahas ke mana pengiriman pasukan dan apakah anggaran mencukupi. Prioritas lain adalah memperkuat reformasi PBB, termasuk Dewan Keamanan, dan meningkatkan efisiensi di Sekretariat PBB.
Arrmanatha mengakui tak mudah untuk mengawal aneka isu yang menjadi perhatian Indonesia di kancah internasional tersebut. Tantangan masih datang dari dampak pandemi Covid-19 yang membuat kerja diplomasi harus dilakukan mengikuti norma baru. “Esensi diplomasi adalah interaksi dan komunikasi. Komunikasi mungkin bisa lewat layar, tetapi interaksi susah. Biasanya hal-hal sulit diselesaikan bukan di meja perundingan, melainkan saat pembahasan sebelumnya. Lewat ngopi, obrolan samping di luar ruangan. Walaupun di DK terjadi perdebatan sengit, para Wakil Tetap masih mengobrol dan makan sama-sama. Ini yang sulit saat pandemi,” tutur Arrmanatha.
Tantangan yang lebih berat datang akibat keterbelahan yang menjalar di antara negara-negara anggota PBB. Menurut dia, akan semakin sulit bagi anggota PBB mencapai kesepakatan dalam berbagai isu yang menjadi perhatian bersama seperti krisis pangan, krisis energi, tantangan perubahan iklim, dan pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Dulu, lanjut dia, dari pembahasan dan perundingan, kesepakatan bisa tercapai. Sekarang setiap negara cenderung mempertahankan posisi masing-masing.
“Peran Indonesia sebagai jembatan ini tentu akan lebih banyak mendapat tuntutan, dan tentu akan lebih sulit mewujudkannya. Namun, tentu kita mengupayakan yang terbaik,” katanya.