Banyak keuntungan belajar di China. Bisa belajar bahasa Mandarin, mempelajari ilmu-ilmu baru yang sedang tren seperti inovasi teknologi, dan bekerja di perusahaan-perusahaan China untuk mendapatkan pengalaman.
Oleh
LUKI AULIA dari BEIJING, CHINA
·6 menit baca
Industri inovasi teknologi di China tengah berkembang pesat. Teknologi kecerdasan buatan, kendaraan listrik, baterai untuk kendaraan listrik, dan teknologi sumber energi terbarukan hanya sebagian kecil dari industri yang sedang naik daun di China. Itu semua seiring dengan upaya Pemerintah China mengejar impian menjadi yang terdepan di bidang teknologi komunikasi serta memenuhi target karbon netral dan pemanfaatan energi bersih di masa depan.
Semua bidang baru ini terbuka bagi siapa saja yang ingin belajar di China, termasuk mahasiswa dari Indonesia. Hanya, untuk sementara ini, sebagian besar mahasiswa dari Indonesia belajar ke China untuk mendalami bidang studi bisnis. Sebagian lagi mempelajari ilmu kedokteran dan bidang-bidang vokasi atau politeknik.
Duta Besar RI untuk China dan Mongolia Djauhari Oratmangun, Jumat (2/8/2022), menjelaskan, ketrampilan dan keahlian tenaga ahli serta teknisi di bidang inovasi teknologi semakin dibutuhkan. "Banyak keuntungan belajar di China. Selain mempelajari segala hal tentang inovasi teknologi terbaru, orang juga bisa lihai berbahasa Mandarin, dan yang terpenting bisa mempelajari etos kerja masyarakat China. Itu keunggulannya. Di sini bagus etos kerjanya," ujarnya.
Apalagi kampus-kampus di China sudah banyak yang mulai unggul di dunia, khususnya untuk ilmu-ilmu baru seperti inovasi teknologi. Jika memilih mendalami pendidikan vokasi di China, ilmu energi terbarukan akan sangat bermanfaat ketika kembali ke Indonesia. Lapangan pekerjaan juga akan terbuka lebar berkat bekal pengetahuan, pengalaman, dan kecakapan bahasa. Pasar kerja lulusan dari China pun, kata Djauhari, tidak hanya di Indonesia tetapi juga ke negara-negara lain.
Jika orang tersebut kemudian memilih bekerja di luar negeri, bukan berarti terjadi brain-drained, melainkan justru brain-circulation. "Mereka pasti akan kembali ke Tanah Air. Mereka butuh etos kerja yang bisa dibawa kembali ke negaranya. Itu juga dulu yang dilakukan orang China di Amerika Serikat. India juga begitu," ujarnya.
Atase Pendidikan untuk China dan Mongolia Yaya Sutarya menambahkan, banyak orang yang ingin belajar di China karena peluang beasiswanya banyak dan persyaratannya relatif mudah. Kuota beasiswa dari Pemerintah China yang diberikan pada Indonesia mencapai 3.000 orang setiap 5 tahun atau 600 orang per tahun. Kuota beasiswa bagi Indonesia ini merupakan hasil pertemuan G20 di Osaka, Jepang. Salah satu komitmen Pemerintah China adalah memberikan 3.000 beasiswa. Besar beasiswa yang diperoleh dari Pemerintah China pun lebih besar.
Untuk jenjang Strata 1, beasiswanya sekitar 2.500 RMB atau Rp 5,4 juta, Strata 2 sekitar 3.000 RMB (Rp 6,4 juta), dan untuk Strata 3 sebesar 3.500 RMB (Rp 7,4 juta). "Itu untuk biaya makan saja karena semua sudah ditanggung. Kadang-kadang teman-teman mahasiswa juga bisa mengirim uang ke rumah setiap bulan. Kalau dari sisi uang, sekolah di China ini lumayan menggiurkan," kata Yaya.
Untuk belajar di China, mau tak mau orang harus bisa berbahasa Mandarin. Jika sudah lihai, akan mudah mencari pekerjaan ketika pulang. Yaya mengatakan, lulusan China yang mahir berbahasa Mandarin laris di Indonesia karena bisa bekerja apa saja, mulai dari penerjemah, pemandu wisata, hingga pegawai di perusahaan-perusahaan China.
Tak sedikit pula mahasiswa Indonesia yang setelah lulus tetap tinggal di China. "Justru itu yang kami sarankan. Jangan buru-buru pulang ke Indonesia setelah lulus. Kerja dulu saja di sini selama 2-3 tahun untuk mencari pengalaman dan relasi. Kalau sudah punya modal, baru pulang ke Indonesia. Jangan jadi beban negara," kata Yaya.
Peluang belajar dan bekerja di China besar karena banyak perusahaan yang memberikan kesempatan kepada KBRI Beijing untuk mengirimkan mahasiswa-mahasiswa yang sudah lulus untuk bekerja di perusahaan mereka. Selama ini KBRI Beijing ikut membantu mencarikan calon tenaga kerja yang dibutuhkan dan sesuai dengan karakteristik setiap perusahaan. Ini mudah karena banyak mahasiswa Indonesia yang bergabung dalam proyek-proyek nasional di kampusnya. Salah satunya menjadi wirausahawan. "Mereka dididik, dilatih, dan diberi modal untuk kemudian bersama orang-orang China membangun perusahaan seperti usaha rintisan," kata Yaya.
Yaya menyarankan, jika ingin melanjutkan studi ke China, sebaiknya menggunakan skema beasiswa dari Pemerintah China karena lebih menjanjikan ketimbang skema beasiswa lainnya. Skema beasiswa dari China, selain kuotanya banyak, jumlah uang yang diperoleh juga lebih besar. Untuk mendapatkan beasiswa dari China sangat mudah. "Yang penting tahu kapan waktu pembukaan dan penutupan, yakni Januari-Maret. Pengumumannya pada Juni. Manfaatkan beasiswa dari China karena banyak yang kosong. Sayang kalau tidak terpenuhi kuotanya. Banyak slot tak terpakai karena tidak ada yang bisa masuk China gara-gara Covid-19," kata Yaya.
Kembali ke China
Akibat pandemi Covid-19, hampir semua mahasiswa Indonesia yang ada di China harus kembali ke Indonesia, terutama mereka yang belajar di kota Wuhan. Dua tahun berselang, seiring membaiknya situasi pandemi, tuntutan mahasiswa Indonesia untuk kembali ke China meningkat. Keinginan mahasiswa Indonesia untuk kembali ke China ini disampaikan Presiden Joko Widodo kala berkunjung ke China dan bertemu Presiden China Xi Jinping. Setelah pertemuan, muncul pernyataan yang menyebutkan agar mahasiswa Indonesia segera kembali ke China untuk melanjutkan studinya.
KBRI Beijing lalu berbicara dengan Kementerian Pendidikan China dan Kedutaan Besar China di Jakarta serta Kemdikbud RI dan Kemenlu RI untuk mengatur kembalinya mahasiswa Indonesia. Sampai sejauh ini, rencananya 151 mahasiswa Indonesia akan kembali ke China.
KBRI Beijing membantu proses pemberian izin ke Kemlu China. Djauhari mengatakan, KBRI sudah berkoordinasi dengan perwakilan di Guangzhou dan perwakilan Kemlu China di sana. "Kami juga mengurus hotel mereka di sana karena mahasiswa akan menjalani karantina selama 10 hari. Tetaplah berkoordinasi dengan sekolah masing-masing karena setiap kota dan kampus aturannya berbeda," kata Djauhari.
Sejauh ini sudah ada 50 mahasiswa Indonesia yang kembali ke China secara mandiri. Saat ini mereka masih menjalani karantina selama 10 hari. Untuk gelombang pemberangkatan selanjutnya tergantung visa yang diberikan Pemerintah China. Sampai sejauh ini ada 230 mahasiswa yang sudah memperoleh visa.
Ketika masuk karantina, KBRI memberikan bantuan masker, APD, cairan pencuci tangan, mi instan, biskuit, dan lain-lain sebagai bekal. "Siapa tahu mereka kangen dengan rasa Indonesia, ya salah satunya dengan mi instan," kata Djauhari sambil tertawa.
Yaya menambahkan, secara keseluruhan jumlah mahasiswa Indonesia di China sebelum pandemi Covid-19 mencapai 15.670 mahasiswa. Setelah pandemi, jumlahnya menurun drastis hingga menjadi sekitar 9.500 mahasiswa. Ini karena banyak mahasiswa yang mengambil jurusan vokasi atau politeknik tidak bisa kembali ke China. Padahal seluruh kegiatan pembelajaran harus dilakukan di China, mulai dari penelitian hingga praktik di bengkel. Jumlah mahasiswa yang ingin atau harus kembali ke China sebanyak 7.860 orang.
"Jumlah visa masih dibatasi oleh Pemerintah China padahal banyak yang ingin kembali ke sini. Masih banyak juga sekolah yang belum mengizinkan mereka kembali," kata Yaya.
Mahasiswa yang kembali ke China pada gelombang pertama adalah mahasiswa yang masuk dalam kategori "darurat", yakni mahasiswa semester terakhir yang harus segera menyelesaikan skripsi, tesis, disertasi, serta penelitiannya. Banyak juga mahasiswa kedokteran yang harus koas di rumah sakit di China. Ada juga mahasiswa yang harus kembali karena kampusnya tidak bisa memberikan pelajaran daring.
"Sekitar 90 persen mahasiswa Indonesia adalah penerima beasiswa dari Pemerintah China. Mereka kesusahan lantaran beasiswanya tidak bisa dicairkan karena sedang berada di Indonesia. Beasiswa baru bisa dicairkan saat berada di China. Ada juga beberapa kasus mahasiswa harus segera kembali ke China karena jika tidak, beasiswanya akan dicabut," kata Yaya.
Djauhari berharap semua mahasiswa bisa segera kembali belajar di China seperti semula dan ikut bergabung dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan Perhimpunan Pelajar Indonesia Tiongkok (PPIT) yang ada di 35 kota di China. "Merekalah yang waktu itu ada di sana dan mereka punya data. Bagus sekali koordinasinya. Jadi, apabila adik-adik mau sekolah di sini, bergabunglah dengan PPIT. Sambil belajar di kampus, bisa belajar berorganisasi juga dengan PPIT," kata Djauhari.