Bank Sentral Eropa Naikkan Suku Bunga, Gaung Resesi Makin Kuat
Dengan inflasi yang meroket dan paling tinggi dalam setengah abad, Bank Sentral Eropa (ECB) menaikkan suku bunga. Namun, kenaikan suku bunga yang tinggi sekalipun tidak akan menolong perekonomian Eropa.
Oleh
SIMON P SARAGIH S
·4 menit baca
FRANKFURT, JUMAT — Bank Sentral Eropa menaikkan lagi suku bunga sebesar 0,75 persen. Ini kenaikan kedua kali sejak Juli 2022. Dengan demikian, suku bunga sudah menjadi 1,25 persen. Zona euro meninggalkan jauh tradisi suku bunga negatif yang berlangsung sekian tahun untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Keputusan tersebut diambil Bank Sentral Eropa (ECB), Frankfurt, Kamis (8/9/2022). Inflasi zona euro, pengguna mata uang tunggal euro, sudah mencapai 9,1 persen pada Juli. Inflasi terjadi akibat stimulus ekonomi pada puncak era Covid-19, gangguan perdagangan global, dan kenaikan harga energi yang melesat setelah invasi Rusia ke Ukraina pada 24 Februari.
Dengan inflasi yang meroket dan paling tinggi dalam setengah abad, ECB menaikkan suku bunga. Kekhawatirannya adalah inflasi bisa spiral jika tidak diredam dengan kenaikan suku bunga.
Presiden ECB Christine Lagarde mengatakan, suku bunga 1,2 persen belum cukup. ”Kita memiliki perjalanan lebih lanjut,” kata Lagarde. ECB masih akan menaikkan lagi suku bunga hingga inflasi bisa ditekan ke level 2 persen.
Di samping itu, Lagarde mengakui ada kesalahan sebelumnya dalam perkiraan inflasi sehingga ECB terlambat menaikkan suku bunga. Maka dari itu, kenaikan suku bunga lanjutan masih diperlukan.
”Kami melakukan kesalahan dalam perkiraan, demikian juga lembaga internasional, dan para ekonom. Saya menerima tanggung jawab atas kesalahan karena saya memimpin sebuah institusi,” kata Lagarde yang pada awal 2022 mengatakan, inflasi pada akhir 2022 akan sekitar 5 persen.
Akan tetapi, di samping kesalahan, sama seperti Gubernur Bank Sentral AS Jerome Powell, ada kekhawatiran kenaikan suku bunga akan menjerembabkan perekonomian. AS dan zona euro, pengguna mata uang tunggal euro, terbiasa dengan suku bunga uang murah dan bahkan negatif. Menaikkan suku bunga berisiko memunculkan resesi.
Meski demikian, ECB memutuskan kenaikan suku bunga, bahkan bisa mendekati 5 persen, kata Lagarde. ECB juga sudah lebih siap dengan risiko penurunan pertumbuhan ekonomi sebagai efek kenaikan suku bunga.
ECB melihat pertumbuhan ekonomi zona euro 3,1 persen pada 2022, tetapi akan turun menjadi 0,9 persen pada 2023. Ini akibat turunnya konsumsi dan produksi. Kenaikan suku bunga akan melemahkan niat untuk meminjam dan selanjutnya akan menurunkan permintaan agregat.
Anggota Dewan Direksi ECB Isabel Schnabel, yang juga ekonom Jerman, pada Agustus lalu mengatakan bahwa bank sentral wajib menaikkan suku bunga untuk meredam inflasi, ”meski hal itu berisiko dengan potensi resesi”.
Faktor Rusia
Akan tetapi, masalah bagi Eropa bukan hanya inflasi dengan kenaikan harga energi sebagai pemicu utama. Jika Asia disebut mendapatkan impor minyak dan gas dengan harga diskonto dari Rusia, seperti India dan China, Eropa menghadapi kasus berbeda. Rusia menghentikan aliran gas ke Eropa hingga waktu yang tidak ditentukan.
Kenaikan suku bunga tidak akan mampu meredam inflasi dengan adanya kelangkaan pasokan minyak dan gas Rusia, yang tidak mudah digantikan pemasok lain. Ini melengkapi derita akibat terhambatnya perdagangan antara zona euro dan Rusia akibat sanksi ekonomi Eropa dan AS terhadap Rusia. Hal ini termasuk dalam pemikiran Lagarde. Ia mengingatkan akan adanya tambahan risiko resesi jika Rusia menghentikan aliran gas.
Semua itu memunculkan opini bahwa kenaikan suku bunga yang tinggi sekalipun tidak akan menolong perekonomian Eropa (Reuters, 6 September 2022). Solusinya hanyalah pengembalian perdagangan antarkawasan ke posisi normal. Meski demikian, ECB mengutamakan penurunan inflasi dengan kenaikan suku bunga.
Derita ekonomi Eropa bukan hanya penghentian gas. Rusia sendiri, diberitakan Bloomberg, 6 September 2022, mengalami kontraksi perekonomian karena sanksi ekonomi. Efek lanjutannya adalah penurunan perdagangan Rusia-Eropa. ”Dengan penurunan akses terhadap teknologi Barat, anjloknya investasi asal Eropa, perekonomian Rusia akan anjlok lebih lanjut,” kata Alexander Isakov, ekonom Rusia.
Presiden Rusia Vladimir Putin meredam informasi soal kelesuan ekonomi. Presiden Joe Biden menginginkan Rusia terjerembab secara perekonomian. Keinginan AS ini diterjemahkan oleh Ketua Komisi Uni Eropa (UE) Ursula von der Leyen termasuk dengan mematok harga migas Rusia, yang dijawab Rusia dengan penghentian aliran gas.
Pertarungan geopolitik ini tidak imun terhadap perekonomian Rusia dan Eropa itu sendiri. Beberapa diplomat Eropa memahami bahaya pertarungan ini. Maka pihak Jerman, Romania, Hongaria, dan Slowakia—sekutu terdekat Rusia—menentang penekanan lebih lanjut terhadap Rusia. Kubu ini berlawanan dengan Polandia yang sengit terhadap Rusia.
Maka disebutkan, Eropa sedang menghadapi badai yang sempurna. Bukan hanya efek inflasi, tetapi juga terjebak dalam pertarungan geopolitik yang telah mempertaruhkan perekonomian Eropa itu sendiri. (REUTERS/AP/AFP)