Untuk Ketiga Kalinya, Perempuan Menjadi Kepala Pemerintahan Inggris
Liz Truss memenangi pemilihan Ketua Partai Konservatif Inggris dan menjadi perdana menteri terpilih.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·3 menit baca
LONDON, SENIN – Liz Truss resmi terpilih menjadi perdana menteri Inggris menggantikan Boris Johnson pada hari Senin (5/9/2022). Ia adalah perempuan ketiga yang memegang jabatan tersebut setelah Margaret Thatcher dan Theresa May. Tantangan ekonomi yang berat menantinya.
Truss terpilih sebagai pemimpin Partai Konservatif dan mengalahkan saingannya, Rishi Sunak. Truss memperoleh 81.326 suara atau setara dengan 57 persen, sementara Sunak memperoleh 60.399 suara. Dalam 24 jam, Truss akan bertolak ke Istana Balmoral di Skotlandia untuk bertemu Ratu Elizabeth II dan mengesahkan jabatannya sebagai perdana menteri.
Truss dan Sunak memperebutkan posisi perdana menteri setelah Boris Johnson mengundurkan diri pada bulan Juli 2022 akibat diterpa berbagai skandal, antara lain pelanggaran protokol Covid-19 dengan mengadakan pesta ulang tahun di kediaman resminya, padahal seluruh negara sedang dikunci di masa awal pandemi.
Ketika Truss diumumkan sebagai pemenang, Sunak melalui akun Twitternya memberi ucapan selamat. “Sekarang, kita semua harus bersatu di belakang Liz Truss untuk mendukungnya memimpin negara,” katanya, dikutip oleh BBC.
Truss (47) sebelumnya menjabat sebagai menteri luar negeri Inggris. Ia juga berpengalaman sebagai menteri ekonomi, menteri perdagangan, menteri pendidikan, serta menteri pemberdayaan perempuan dan pengarustamaan jender. Sebelum terjun ke dunia politik, ia pernah berkarier di bidang energi.
Terpilihnya Truss diharapkan bisa menakhodai Inggris melewati tantangan berat yang oleh sejumlah pakar politik disebut-sebut sebagai masa kedua tersulit setelah Perang Dunia II. Pecahnya konflik antara Rusia dengan Ukraina mengakibatkan dunia dilanda krisis energi dan krisis pangan. Eropa yang tergantung dengan pasokan minyak dan gas dari Rusia kini pontang-panting mencari sumber energi baru. Negara-negara maju untuk sementara waktu mau tidak mau memperpanjang pemakaian batubara.
Apalagi, sejak Inggris memilih keluar dari Uni Eropa dan Brexit resmi berlaku di tahun 2021, banyak tenaga kerja dari Eropa yang hengkang. Situasi ini diperparah dengan pandemi Covid-19 yang memaksa negara-negara menutup perbatasan.
Buntut dari rangkaian kejadian ini adalah Inggris tengah mengalami krisis ekonomi paling parah di antara tujuh negara terkaya dunia (G7) dengan inflasi per bulan Juli sebesar 10,1 persen. Bahkan, firma Goldman Sachs memperkirakan jika tidak segera ditangani, di tahun 2023, inflasi Inggris bisa mencapai 20 persen. Dari sektor rumah tangga, pengeluaran energi per tahun adalah 3.549 poundsterling per keluarga atau naik 80 persen dari tahun lalu. Akibatnya, rakyat tidak bisa menabung.
Di tengah-tengah situasi ini, Partai Konservatif mengalami gejolak internal yang berujung kepada lengsernya Johnson. Setelah itu, mereka sibuk mencari pengganti Johnson sebagai ketua partai sekaligus perdana menteri. “Ini adalah pemerintahan zombi—mayat hidup—karena Partai Konservatif sibuk sendiri sehingga rakyat tidak terurus,” kritik Ketua Partai Buruh Keir Starmer.
Kebijakan politik
Truss dalam pidatonya ketika memenangi pemilihan mengatakan bahwa ia akan mengurangi inflasi. Akan tetapi, tanggapan para pakar ekonomi adalah insentif ini bisa memperparah krisis karena menguras kocek pemerintah. Jalan yang lebih masuk akal ialah agar Bank of England menjual sebagian obligasi mereka atau menurunkan suku bunga.
Pandangan skeptis juga muncul dari sisi politik luar negeri. Truss dikenal sebagai politikus yang hawkish atau cenderung berpandangan keras. Ia memahami pentingnya Indo-Pasifik dalam peta politik global dan menginginkan Inggris mengambil peranan penting.
Sejatinya, Truss dan Sunak sama-sama tidak menyukai kebijakan politik China. Bahkan, Truss sempat mengancam mengurangi anggaran untuk Pusat Kajian China di Inggris. Sebagai balasan, China juga tidak simpatik kepada Truss. Akan tetapi, bagi para pengamat politik luar negeri, ini bisa menjadi bumerang bagi Inggris.
Peneliti lembaga kajian kebijakan Chatham House, David Lawrence menjelaskan, semakin banyak negara di dunia yang tidak ingin berpihak kepada salah satu negara adidaya. Mereka menginginkan kondisi politik yang fleksibel dan realistis.
“Pertanyaannya, dapatkah pemerintahan di bawah Truss membuat berbagai kerangka jaringan kerja sama ekonomi dan infrastruktur yang spesifik sehingga menarik banyak mitra tanpa membuat mereka terpaksa memilih salah satu pihak?” ujarnya. (Reuters/AFP)