Draghi mundur dari jabatan perdana menteri (PM) Italia pada Kamis (21/7/2022). Langkah politik ini dilakukan sehari setelah tiga partai politik dari koalisi pemerintah menarik dukungan.
Oleh
FX Laksana AS
·4 menit baca
Satu per satu pemimpin Eropa tumbang. Setelah Perdana Menteri Inggris Boris Johnson, kini giliran Perdana Menteri Italia Mario Draghi yang mundur. Sementara di Kremlin, Presiden Rusia Vladimir Putin belum tergoyahkan.
Draghi mundur dari jabatan perdana menteri (PM) Italia pada hari Kamis (21/7/2022). Langkah politik ini dilakukan sehari setelah tiga partai politik dari koalisi pemerintah memboikot pengajuan mosi tidak percaya pada pemerintahan Draghi. Ketiga partai itu ialah Partai Liga pimpinan Matteo Salvini, Partai Forza Italia milik Silvio Berlusconi, dan Partai Gerakan Bintang Lima pimpinan Giuseppe Conte.
Pengunduran diri Draghi terjadi saat tekanan ekonomi melanda Italia. Merujuk Financial Times, inflasi pada Juni mencapai 8 persen, tertinggi sejak 1986. Imbal hasil surat utang negara juga melompat 0,27 basis poin menjadi 3,7 persen.
Mundurnya Draghi kemungkinan memengaruhi kebijakan luar negeri Italia terhadap perang Rusia-Ukraina. Draghi konsisten bersikap keras dan tak mengenal kompromsi terhadap Moskwa. Dia juga menjadi salah satu arsitek sanksi-sanksi keras terhadap Rusia.
Sekitar dua pekan sebelumnya, PM Inggris Boris Johnson lebih dahulu tumbang. Ia mengumumkan pengunduran dirinya pada Kamis (7/7/2022). Langkah Johnson ini lakukan setelah sejumlah menteri mundur dan sekitar 50 anggota senior parlemen menarik dukungan.
Adalah kasus skandal etik di seputar kepemimpinan yang selama ini merongrong Johnson. Di antaranya ialah skandal pesta ulang tahun di kantor PM Inggris di Downing Street Nomor 10, London, Mei 2020, yang terbukti melanggar protokol kesehatan di masa pandemi Covid-19.
Draghi konsisten bersikap keras dan tak mengenal kompromsi terhadap Moskwa.
Sebagaimana Draghi di Italia, pengunduran diri Johnson sebagai PM Inggris pun terjadi saat ekonomi Inggris mengalami tekanan. Inflasi Juni mencapai 9,4 persen setelah Mei mencatatkan 9,1 persen. Seperti negara-negara Eropa lainnya, Inggris juga menghadapi kenaikan harga minyak.
Perubahan rezim
Presiden Amerika Serikat Joe Biden saat kunjungannya ke Polandia, Maret 2022, menyebutkan bahwa Putin tidak boleh terus berada di kekuasaan. Pernyataan terbuka yang dipersepsikan bahwa Washington ingin mengubah rezim di Rusia tersebut sontak menjadi topik hangat di sejumlah media.
Beberapa hari kemudian, Biden menolak anggapan tersebut. Saat ditanya wartawan apakah yang dimaksud Biden adalah mengubah rezim di Rusia, ia hanya menjawab singkat, ”Tidak”. Sejumlah pejabat di pemerintahan Biden pun juga memberikan klarifikasi yang menyangkal.
Namun, diakui atau tidak, mimpi para pemimpin Barat agar Putin segera lengser sulit ditepis. Salah satu alasan ialah bahwa ”tidak mudah berurusan” dengan Putin.
Sebagaimana dideskripsikan pakar hubungan internasional dari Universitas Chicago, John Mearsheimer, Putin adalah ahli strategi ulung. Hal ini didukung pula dengan penguasaan mendalam terhadap sejumlah isu strategis.
Sanksi ekonomi terhadap Rusia, langsung atau tidak langsung, sejatinya diharapkan dapat melengserkan Putin. Secara normatif, Barat menempatkan sanksi ekonomi terhadap Rusia sebagai instrumen yang akan menekan Kremlin untuk menghentikan serangan ke Ukraina.
Salah satu logikanya, sanksi akan menekan ekonomi Rusia sehingga rakyat akhirnya berunjuk rasa menuntut Putin lengser. Perubahan rezim diharapkan membawa kebijakan baru, yakni menghentikan serangan ke Ukraina.
Saat ini, Rusia menjadi negara yang mendapatkan sanksi terbanyak di dunia. Sampai dengan Maret saja, akumulasi sanksi terhadap Rusia telah menyasar 5.532 target. Sejak Maret hingga akhir Juli ini, Barat telah membombardir Rusia dengan sejumlah sanksi baru lagi.
Namun, logika Barat tersebut ternyata tidak jalan, setidaknya sampai dengan akhir Juli ini. Sanksi ternyata belum menggembosi daya Rusia dalam menjalankan ”operasi militer khusus” di Ukraina.
Benar bahwa sanksi telah menggoyahkan ekonomi Rusia. Sejumlah investor asing, misalnya, hengkang dari Rusia. Sejumlah akses ekonomi dan keuangan Rusia yang coba diputus dari jejaring global juga berdampak besar bagi ekonomi negara itu.
Akan tetapi, Rusia melakukan sejumlah langkah untuk mengakomodasi tekanan sanksi Barat tersebut. Rusia juga memukul balik Barat dengan strategi energinya. Dan, ini tampaknya justru memukul lebih telak ekonomi negara-negara Barat.
Krisis energi akan berkomplikasi pada krisis ekonomi. Tanpa solusi dalam beberapa bulan ke depan, Eropa dan AS rawan mengalami gejolak sosial yang bisa memicu perubahan rezim di negara-negara Barat.
Sementara Putin justru semakin mantap dalam politik domestiknya. Mengutip Statista, tingkat penerimaan masyarakat Rusia terhadap Putin mencapai 80 persen pada Juni 2022.
Bandingkan dengan tingkat penerimaan Biden. Berdasarkan jajak pendapat yang digelar atas Kerja Sama NPR, PBS NewsHour, dan Marist, tingkat penerimaan Biden per Juli hanya 36 persen. Ini adalah level terendah sejak Biden menghuni Gedung Putih, yang pada Januari 2021 di level 57 persen.
Apakah Putin akan tetap berjaya dan para pemimpin Barat akan terus berjatuhan? Atau pada saatnya nanti angin akan berbalik arah? Hal yang pasti, para pemimpin politik akan datang dan pergi. Akan tetapi, kerusakan ekonomi Eropa diperkirakan berlangsung lama.