Gubernur Bank Sentral AS (Fed) Jerome Powell mengindikasikan, kenaikan suku bunga Fed bisa lebih tinggi lagi daripada kisaran 3,8 persen yang ditargetkan pada Juli lalu. Kenaikan suku bunga berikutnya, September 2022.
Oleh
SIMON P SARAGIH S
·5 menit baca
JACKSON HOLE, JUMAT — Bank Sentral Amerika Serikat sangat kukuh untuk menaikkan lagi tingkat suku bunga. Ancaman inflasi tidak lagi dianggap sebagai hal ringan, karena itu harus diredam. Risiko resesi akibat kenaikan suku bunga tidak lebih menakutkan ketimbang ancaman inflasi spiral di depan.
Demikian tertangkap dari pidato Gubernur Bank Sentral AS (The Fed) Jerome Powell di tengah pertemuan petinggi The Fed di Jackson Hole, Wyoming, Jumat (26/8/2022). Pidato Powell kuat dan hawkish, sebutan bagi determinasi sikap tegas. Hal ini tidak mengejutkan meski sebelumnya banyak yang melihat bahwa Powell akan terus bersikap lunak melihat ancaman inflasi.
Powell mengatakan bahwa inti persoalan adalah inflasi sudah tinggi, mencapai 8,5 persen pada Juli 2022. Ini sangat jauh di atas target inflasi 2 persen. Suku bunga sekarang pada kisaran 2,25-2,5 persen tidak lagi memadai dan harus naik lebih tinggi daripada kisaran itu. Bahkan, Powell mengindikasikan, kenaikan suku bunga Fed bisa lebih tinggi lagi daripada kisaran 3,8 persen yang ditargetkan pada Juli lalu.
Powell mengenang ucapan Ben Bernanke, mantan Gubernur The Fed, bahwa sering ada dua kubu yang berseberangan sikap untuk menentukan kenaikan suku bunga. ”Sekarang tidak ada lagi keraguan. Tugas menstabilkan harga adalah keharusan,” kata Powell.
Tangkap analisis pengamat
Komite Kebijakan Pasar Terbuka Fed (The Federal Open Market Committee/FOMC) beranggotakan 19 orang, sejak inflasi mulai naik pada 2021, sering berbeda pendapat tentang bahaya inflasi. Dari 19 orang itu, hanya Presiden Federal Reserve Bank Minneapolis Neel Kashkari yang paling getol menyatakan bahwa inflasi sudah terlalu tinggi dan suku bunga Fed harus dinaikkan hingga di atas 4 persen.
Para ekonom AS, seperti Nouriel Roubini dan John Taylor, juga senada dengan Kashkari bahwa terlalu berbahaya melihat kenaikan harga inflasi sebagai persoalan ringan. Roubini dan Taylor dengan tegas mengatakan, Fed harus segera bertindak dan tidak boleh ragu. Powell memilih arahan itu.
Powell juga mengenang Paul Volcker, Gubernur The Fed (1979-1987) yang sukses menurunkan inflasi setelah kegagalan pada era Gubernur Fed Arthur Burns. Dalam pidatonya, Powell mengulangi ucapan Volcker bahwa jika inflasi dibiarkan liar, para konsumen, pebisnis, dan rumah tangga akan menerjemahkan itu dalam tindakan dengan perkiraan bahwa inflasi akan terus naik. Hal inilah dasar menuju inflasi spiral.
Sebaliknya, dalam pidatonya, Powel juga mengenang ucapan Gubernur The Fed Alan Greenspan (1987-2006). ”Harga stabil memiliki makna yang bisa membuat pebisnis dan konsumen tidak mengubah ekspektasinya soal perubahan harga,” demikian Greenspan, yang dikutip Powell. Artinya, konsumen dan pebisnis tidak memasukkan ekspektasi kenaikan harga di balik tindakan mereka jika harga stabil.
Oleh karena itulah, Powell menegaskan, kenaikan suku bunga tidak lagi diragukan. Bahkan, Powell mengatakan, kenaikan suku bunga berikutnya bisa lebih tinggi dari 0,75 persen dalam satu tindakan. ”Kenaikan suku bunga yang lebih tinggi dalam tindakan berikutnya bisa terjadi,” kata Powell. Ia menambahkan, hal itu akan diputuskan pada pertemuan FOMC pada September mendatang.
Tentu, meski Powell sudah menegaskan keyakinan akan kenaikan suku bunga, tindakan menaikkan suku bunga tidak akan sekaligus, tetapi perlahan sebagaimana biasanya dilakukan bank sentral.
”Menembak” Biden
Powell pun membuang persepsi seperti yang terjadi pada era Burns. Pada 1974, Burns menilai bahwa inflasi bukan karena kesalahan The Fed. Kali ini Powell mengatakan, inflasi adalah karena kenaikan permintaan, diperburuk dengan gangguan pasokan (constrainted supply). Tentu saja kenaikan permintaan itu juga adalah karena stimulus berlebihan pada era Presiden Donald Trump dan Presiden Joe Biden serta kebijakan suku bunga nol persen The Fed sejak 2020. Soal efek dari kendala pasokan terhadap inflasi, tentu itu bukan ranah The Fed, tetapi Pemerintah AS.
”Akan tetapi, tidak ada alasan untuk melepas tanggung jawab, kita harus menurunkan inflasi,” ucap Powell. Ia menambahkan, meski inflasi terlihat menurun, tidak boleh ada rasa puas diri. ”Tujuan kami adalah bertindak untuk mengatasi situasi sekarang juga,” kata Powell.
Akan tetapi, Powell juga menambahkan bahwa ”Sangat jelas ada pekerjaan lain yang harus dilakukan untuk menurunkan permintaan. Akan lebih baik lagi jika itu disejajarkan dengan langkah perbaikan untuk mengatasi kedalan pasokan,” kata Powell.
Pesan tersebut secara implisit menohok kepada pemerintahan Joe Biden, yang sejauh ini tidak bisa menyelesaikan krisis Ukraina. Krisis tersebut menjadi salah satu penyebab kenaikan harga dan gangguan pasokan dalam perdagangan internasional. Hal itu juga secara implisit menjadi hardikan pada kebijakan perang dagang era Trump, yang belum dicabut Biden. Bahkan, Biden melanjutkan, perang ekonomi dengan China lewat kebijakan yang menghambat 200 perusahaan China dalam relasi bisnis dengan AS.
Resesi demi perbaikan
Lepas dari itu, Powell sekaligus mengingatkan bahwa kenaikan suku bunga pasti menurunkan kegiatan ekonomi dan menyengsarakan kaum tak mampu. Akan tetapi, demi stabilisasi perekonomian dan kebaikan jangka Panjang, Powell menambahkan, ”Peredaman inflasi tetap pilihan terbaik.”
Pidato Powell mendapatkan tanggapan positif. ”Pidatonya bukan sesuatu yang mengejutkan sebenarnya,” kata Keith Buchanan at Globalt Investments. Sikap lembut (dovish) terhadap ancaman inflasi yang ada selama ini telah pupus, kata Buchanan.
Powell yang sekian lama dianggap berpendirian ragu mendadak amat kukuh. ”Investor kaget karena Powell terlihat serius menaikkan suku bunga demi meredam inflasi,” kata Ryan Detrick, ahli strategi pasar dari Carson Group. ”Perkiraan akan sikapnya yang dovish terhapus, setidaknya sekarang.”
Meski positif, langkah Fed tidak menyenangkan sebab akan menyebabkan potensi resesi global, sebagaimana telah diperkirakan Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, dan Dana Moneter Internasional (IMF). Fed juga akan membuat bank sentral di sejumlah negara berpotensi repot dengan potensi pelarian modal dan gangguan di pasar keuangan global.
Akan tetapi, demi kebaikan pasar dan perekonomian global, langkah Fed sangat disambut. ”Kita berada pada periode suku bunga tinggi. Prioritas sekarang adalah menurunkan inflasi,” kata Deputi Pertama Direktur Pelaksana IMF Gita Gopinath kepada Bloomberg, Jumat. (AFP/AP/REUTERS)