“Saya kira Powell tidak akan lebih hawkish. Ia kemungkinan hanya akan mengatakan bahwa masih diperlukan suku bunga yang lebih tinggi,” kata Per Hammarlund.
Oleh
SIMON P SARAGIH S
·3 menit baca
JACKSON HOLE, JUMAT – Seluruh dunia sedang menantikan pidato Gubernur Bank Sentral Jerome Powell. Pesan paling dinantikan adalah sejauh mana keberanian Powell menurunkan inflasi yang mencapai 8,5 persen di AS. Dugaan sementara, Powell tidak akan membuat pasar terkejut atau tidak akan mengumumkan kenaikan suku bunga tinggi dalam tempo cepat untuk meredam inflasi. Powell diduga kuat akan fokus pada pemberantasan inflasi.
“Saya kira Powell tidak akan lebih hawkish. Ia kemungkinan hanya akan mengatakan bahwa masih diperlukan suku bunga yang lebih tinggi,” kata Per Hammarlund, ahli strategi pasar dari SEB. Artinya, Bank Sentral AS (The Fed) tidak akan menaikkan suku bunga terlalu cepat dan terlalu tajam (hawkish).
Hal senada dikatakan Thomas Costerg dari Pictet (bank). “Fed kemungkinan akan berkata masih diperlukan jeda dalam tindakan menaikkan suku bunga,” kata Costerg. Beberapa pengamat lain juga mengatakan Powell akan bertindak lebih mengamankan psikologi pasar.
Pertemuan paling penting
Akan tetapi Sebagian kalangan melihatnya lain. "Ini bukan waktunya untuk meluncurkan kerangka kebijakan umum," kata Vincent Reinhart, ekonom dari Dreyfus and Mellon. "Mereka (The Fed) akan mencoba mencari cara untuk terus memperketat kebijakan moneter dan melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan dalam 40 tahun tahun terakhir," kata Reinhard.
Ucapan Reinhard merujuk pada pernyataan pasar, apakah pengetatan moneter akan tetap berlangsung perlahan atau dalam tempo cepat. Oleh karena itulah pertemuan tahunan para petinggi The Fed di Jackson Hole, Wyoming, menjadi salah satu yang sangat penting dalam sejarah. AS sedang mencatatkan inflasi tinggi yang belum pernah terjadi sejak 1982.
Walau sudah mengalami penurunan pengaruh dalam perekonomian global dengan kebangkitan perekonomian China, kebijakan moneter AS masih cukup berpengaruh ke seluruh dunia. AS adalah eksportir terbesar kedua dunia dengan nilai 1,75 triliun dollar AS dan importir terbesar dunia dengan nilai 2,4 triliun dollar AS.
AS juga merupakan pusat pasar keuangan dunia terbesar. Bursa Saham New York misalnya, pada Juni 2022 merupakan yang terbesar di dunia dengan kapitalisasi pasar sebesar 25,8 triliun dollar AS. Oleh karena itu setiap langkah yang diambil The Fed tentang kebijakan moneter pasti berpengaruh kuat ke seluruh dunia.
Persoalan yang dihadapi AS sekarang adalah ancaman inflasi tinggi yang bisa mengarah ke inflasi spiral dengan efek global jika tidak dikendalikan secepat mungkin. Di sisi lain, jika inflasi dikenalikan yang artinya suku bunga dinaikkan, risikonya adalah resesi perekonomian AS, yang sudah terlihat dari penurunan pertumbuhan ekonomi selama semester pertama 2022.
Fokus pada inflasi
Powell sendiri sudah dipastikan akan fokus pada pemberantasan inflasi dengan menaikkan suku bunga hingga 2,50 persen pada 2022. Akan tetapi Powell dinilai terlalu lambat berpikir dan bertindak. DI hadapan Kongres AS pada Juni 2022 lalu, Powell sendiri mengaku lengah mengantisipasi kenaikan inflasi. Ia terpengaruh Menkeu AS Janet Yellen, yang di hadapan Kongres AS juga mengatakan inflasi yang mulai meroket pada 2021 dikira hanya bersifat sementara.
Kenyataannya inflasi melejit hingga 9,1 persen pada Juni 2022 walau menurun menjadi 8,5 persen pada 2022. Oleh sebab itu, ekonom besar AS seperti Nouriel Roubini, John Taylor hingga Mantan Gubernur The Fed Ben Bernanke mengatakan seharusnya The Fed bertindak lebih cepat menaikkan suku bunga.
Gangguan pasokan
Laporan terbaru Frederal Reserve Bank of New York, 24 Agustus, menyimpulkan bahwa inflasi tinggi di AS bukan karena stimulus besar-besaran di era Covid-19 semata. Julian di Giovanni dari divisi riset Fed New York menuliskan bahwa gangguan pasokan termasuk yang berperan besar menaikkan inflasi. Diharapkan, dengan pemulihan pasokan barang, inflasi akan mereda.
Ini menjadi sinyal bahwa The Fed tidak akan hawkish. Akan tetapi sikap dovish (lawan hawkish) dalam pandangan Roubini dan Taylor, berpotensi mengulangi sejarah stagflasi AS pada dekade 1970-an. (REUTERS/AP/AFP)