Persoalannya, masyarakat paling rentan saat berhadapan dengan dampak cuaca ekstrem adalah masyarakat paling miskin dan terpinggirkan. Apalagi pemerintah negara-negara tak siap berhadapan dengan dampak perubahan iklim.
Oleh
FRANSISCA ROMANA
·4 menit baca
Pada Senin (22/8/2022), area Dallas-Forth Worth di Amerika Serikat tergugah oleh kenyataan ganjil. Hujan sangat deras mengubah jalan raya menjadi laguna. Padahal sehari sebelumnya, kota itu mengalami kekeringan terburuk dalam sejarah, menyebabkan waduk-waduk dengan cepat menyusut.
Keadaan tak jauh berbeda mendera Asia. Foreign Policy dalam laporannya pada 24 Agustus 2022 bertajuk “Extreme Weather is Brutalizing Asia” menyebutkan, banjir, kekeringan, badai tropis, dan gelombang panas menguji ketangguhan wilayah dengan banyak warga rentan.
Cuaca ekstrem musim panas ini mencekik Asia, memaksa industri tutup, bisnis global melambat, menganggu suplai pangan, dan menjungkirbalikkan kehidupan orang sehari-hari. Selama berbulan-bulan, negara-negara di Asia Pasifik mengalami gabungan hujan yang makin deras dan suhu makin panas. Kondisi ini menciptakan pola cuaca yang tidak bisa diprediksi.
“Persoalannya selalu demikian: masyarakat paling rentan cenderung masyarakat paling miskin, paling terpinggirkan,” kata Peter Gleick, ilmuwan iklim dan air serta salah satu pendiri lembaga nirlaba Pacific Institute.
Seperti yang terjadi di Pakistan dalam beberapa hari terakhir. Banjir bandang yang dipicu hujan muson yang deras telah menewaskan hampir 1.000 orang. Puluhan ribu orang lainnya terluka dan terpaksa mengungsi sejak pertengahan Juni. Lebih dari 30 juta orang terdampak. Pemerintah Pakistan mendeklarasikan keadaan darurat dan meminta bantuan internasional untuk menghadapi bencana ini.
“Saya tidak punya apa-apa lagi. Rumah saya hancur, anak-anak saya hanyut, dan sekarang kami berbaring tak berdaya di jalanan di bawah langit menunggu tentara memberi kami makan,” tutur Rahim Hasan (52), warga Distrik Dera Ghazi Khan, Provinsi Punjab.
Sementara di China, para petani menghadapi dampak kekeringan terburuk. Bagi Qin Bin (50), petani di Chongqing, panen tahun ini hancur akibat gelombang panas yang menimpa wilayah selatan China. Musim panas tahun ini tercatat sebagai yang terpanas di wilayah itu dengan suhu mencapai 40 derajat celcius. Separuh dari wilayah itu kerontang dalam kekeringan.
“Ini pertama kalinya dalam hidup saya mengalami bencana seperti ini. Seharusnya kami memanen buah naga dan persik sekarang, tetapi semua lenyap, mati terpanggang matahari,” tutur Qin.
Selama lebih dari 70 hari, China mengalami gelombang panas dan kekeringan sekaligus banjir bandang di berbagai wilayah. Para pakar mengemukakan, intensitas, cakupan, dan durasi gelombang panas itu tercatat salah satu yang terburuk dalam sejarah global.
Di bagian lain Bumi, laporan yang muncul pun senada. Kekeringan di kawasan Tanduk Afrika memburuk. Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), Jumat (26/8), menyebutkan, kawasan itu di ambang bencana kemanusiaan yang belum pernah terjadi. Negara-negara seperti Etiopia, Somalia, dan Kenya telah melalui kekeringan buruk selama 40 tahun. Untuk kelima kali berturut-turut, musim hujan gagal terjadi.
Adapun di Eropa, kekeringan di Portugal yang tidak pernah terjadi sebelumnya memaksa pemerintah menaikkan harga air bersih bagi konsumen terbesar. Pembersihan jalan dan penyiraman taman umum dihentikan. Badan meteorologi nasional Portugal, IPMA, menyatakan, seluruh dataran Portugal mengalami kekeringan ekstrem akibat gelombang panas beberapa bulan terakhir.
Menteri Lingkungan Duarte Cordeiro mengatakan, dari 61 waduk di Portugal, 10 waduk di antaranya kritis karena hanya punya cadangan air di bawah 20 persen kapasitas. Padahal waduk-waduk itu menyuplai air untuk 40 kota di bagian tengah dan utara.
ni belum termasuk kebakaran hutan yang melanda wilayah selatan Eropa akibat kekeringan tersebut. Selain Portugal, Inggris dan Perancis melaporkan kebakaran hutan di sebagian wilayahnya.
Menurut para ilmuwan, fenomena seperti ini menjadi semakin sering dan intens akibat perubahan iklim. Daniel Swain, ilmuwan iklim pada University of California at Los Angeles, tidak terkejut. “Iklim yang lebih hangat mendorong pengendapan menjadi semakin ekstrem baik kekeringan maupun banjir,” katanya, seperti dikutip Foreign Policy.
Negara-negara pun memiliki kemampuan beragam dalam merespons dampak perubahan iklim seperti terjadi sekarang ini. Meski demikian, dengan semakin seringnya cuaca ekstrem dan alam yang tidak bisa diprediksi, nyaris tak ada negara yang terhindar.
“Saya tidak yakin pemerintah negara-negara siap berhadapan dengan kerentanan yang dibawa perubahan iklim,” ujar Gleick.
Lantas, kepada siapa masyarakat paling rentan mesti berharap?