Kesepakatan mengerem laju perubahan iklim sudah ada, tetapi pemerintah di dunia masih belum cukup berbuat. Konsekuensinya jelas, cuaca ekstrem.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Harian ini, Minggu (25/7/2021), mengangkat berita tentang banjir di India, China, dan Jerman pada halaman satu. Banjir menyebabkan jatuhnya ratusan korban jiwa.
Bencana itu melahirkan gugatan besar atas kesiapan bangsa di dunia ini menghadapi cuaca ekstrem. Hingga Sabtu (24/7), regu penyelamat di India mengevakuasi 129 korban tewas, tetapi puluhan orang lainnya belum ditemukan.
Korban banjir besar di kota Zhengzhou, Provinsi Henan, China, bertambah menjadi 58 orang. Di media sosial beredar video bagaimana penumpang kereta bawah tanah dicekam kengerian tatkala banjir datang melanda. Kerugian ekonomi akibat banjir di Henan mencapai 2 miliar dollar AS, lebih dari 3.800 rumah rusak, dan 920.000 orang harus mengungsi.
Di Jerman, banjir melanda wilayah barat dan menelan 177 korban jiwa. Di Eropa, negara lain yang dilanda banjir antara lain Belgia.
Ada sejumlah catatan melihat bencana di berbagai belahan dunia itu. Meski di masa lalu hujan bisa datang pada musim panas di Indonesia, sehingga melahirkan syair indah ”Hujan Bulan Juni” karya mendiang Sapardi Djoko Damono, levelnya belum pernah seekstrem seperti terjadi sekarang.
Menanggapi banjir di negaranya, Kanselir Jerman Angela Merkel menekankan perlunya (negara-negara) mempercepat penanganan dampak perubahan iklim. Ia menilai Jerman dan negara lain belum cukup berbuat untuk membatasi pemanasan global sebesar 1,5 derajat celsius seperti ditetapkan dalam Kesepakatan Iklim Paris (2015).
Sebagai negara maju, Jerman, seperti diutarakan warganya, perlu mempertanyakan, mengapa sistem peringatan dini tidak berfungsi seperti seharusnya. Sirene di sejumlah kota berhenti saat listrik padam. Bisa jadi, Jerman pun tak mengira akan dilanda bencana banjir sedahsyat itu.
Para ahli iklim memperingatkan, banjir di Zhengzhou menjadi cermin rapuhnya tata kota China di tengah fenomena perubahan iklim. Banyak kota besar di China mengandalkan tanggul untuk menghadapi banjir. Kini, perlu bagi China untuk melakukan perubahan mendasar dalam perencanaan kota.
Di Amerika Serikat (AS) lain lagi. Meski fenomenanya lain, ekstremitasnya senada. Di Oregon terjadi kebakaran hutan terparah dan berisiko mengancam permukiman. Kebakaran hutan di wilayah barat AS ini sulit dikendalikan karena musim kemarau sangat kering, seiring terjadinya gelombang panas akibat perubahan iklim. Salah satu tandanya, wilayah barat jadi lebih panas dan lebih kering dalam kurun 30 tahun terakhir.
Lewat buku dan film An Inconvenient Truth (2006), mantan Wakil Presiden AS Al Gore mengingatkan manusia tentang pemanasan global dan dampaknya. Futuris James Canton dalam buku The Extreme Future (2007) menulis di salah satu bab tentang perubahan iklim.
Banyak peringatan disuarakan. Kesepakatan mengerem laju perubahan iklim juga sudah ada, tetapi pemerintah di dunia ini masih belum cukup berbuat, mengerjakan komitmennya. Konsekuensinya jelas: ekstrem cuacanya, ekstrem pula masa depan. Konsekuensi perubahan iklim amatlah mengerikan.