Ukraina Apresiasi Dukungan Indonesia, Gugat Netralitas Asia-Afrika
Menlu Ukraina Dmytro Kuleba mengapresiasi dukungan Indonesia terhadap negaranya. Namun, ia juga menyoroti posisi netral yang diambil negara-negara Asia-Afrika dalam konflik Ukraina-Rusia.
JAKARTA, KOMPAS — Ukraina kembali menggugat netralitas sejumlah negara di Asia dan Afrika terhadap perang Rusia-Ukraina. Di sisi lain, Ukraina mengapresiasi dukungan Indonesia, bahkan Kyiv menyebut Jakarta menunjukkan simbol dukungan tertinggi.
Menteri Luar Negeri Ukraina Dmytro Kuleba mengatakan, Kyiv menghormati pilihan masing-masing atas penderitaan Ukraina. Meski demikian, ia mengajak negara-negara mempertimbangkan ulang sikap masing-masing.
”Mereka yang berpikir netralitas sebagai (sikap) terbaik, netral pada apa? Pada kekejaman? Pada pembunuhan orang tua dan anak-anak? Pelanggaran kedaulatan negara lain?” ujar Kuleba dalam konferensi pers secara daring di hadapan sejumlah jurnalis Asia, Rabu (17/8/2022).
Bangsa-bangsa Asia dan Afrika seharusnya paham betul pada makna pelanggaran kedaulatan dan penjajahan. Apalagi, pada Agustus ini banyak bangsa-bangsa Asia merayakan kemerdekaan dari penjajah. ”Saya mengucapkan selamat atas peringatan kemerdekaan Indonesia hari ini,” katanya.
Baca Juga: Senjata untuk Ukraina, Rumit sejak Pangkal
Kuleba juga sangat mengapresiasi Presiden RI Joko Widodo karena menjadi kepala negara Asia pertama yang bertandang ke Ukraina di tengah perang. Lawatan itu bukti dukungan politik yang penting bagi Ukraina.
Dalam lawatan pada akhir Juni 2022, Jokowi kembali mengajak Rusia-Ukraina berdamai. Kuleba menegaskan, Kyiv selalu siap berdamai dan mencari solusi diplomatik dengan Mokswa. ”Masalahnya, Rusia memandang perundingan dengan cara berbeda,” kata Kuleba.
Bagi Kyiv, perundingan berarti pembicaraan dua pihak dalam posisi setara untuk mencari solusi terbaik. Mokswa dinilai menganggap perundingan sebagai sarana memaksakan keinginannya kepada Kyiv. ”Menjelang perang, kami sudah mencoba semua solusi. Sayangnya, ditolak Rusia,” kata Kuleba.
Terkait isu perundingan itu, mantan Kanselir Jerman Gerhard Schröder menyebut, Presiden Rusia Vladimir Putin berkali-kali menyatakan siap berunding. Putin antara lain menyampaikan hal itu kala menjamu Schröder di Rusia, Juli lalu. ”Kremlin mau solusi yang dirundingkan,” ujarnya kepada media Jerman, Stern, awal Agustus 2022.
Salah satu bukti kesediaan Rusia berunding adalah pembukaan koridor ekspor produk pangan Ukraina. Meski melibatkan berbagai pihak lain, Rusia tetap mau berunding dan jalur ekspor produk pangan Ukraina terbuka. ”Dari sana, mungkin bisa berkembang ke arah lain,” kata Schröder.
Apresiasi dukungan
Kuleba mengatakan, Kyiv sangat mengapresiasi dukungan politik, kemanusiaan, dan keuangan dari berbagai negara. Di atas semua itu, Ukraina sangat mengharapkan bantuan persenjataan dari semua mitra dan sekutunya.
Sejauh ini, selain belum semua dikirimkan, persenjataan yang dijanjikan ke Ukraina belum mencukupi. ”Ada 2.000 kilometer garis depan, 1.300 kilometer di antaranya berstatus palagan aktif. Bayangkan berapa banyak senjata diperlukan untuk garis depan sepanjang itu? Di setiap meter garis depan, kami bertahan. Bukan menyerang,” kata Kuleba.
Terpisah, Panglima Angkatan Bersenjata Ukraina Jenderal Valerii Zaluzhyi kembali menyinggung kekurangan persenjataan itu. Rusia semakin menggencarkan serangan. Setiap hari, paling sedikit 600 serangan dilancarkan Rusia ke berbagai penjuru Ukraina. ”Mereka menggunakan 40.000 hingga 60.000 amunisi setiap hari,” katanya, sebagaimana dikutip media Pravda Ukraina.
Sumy hingga Kherson jadi sasaran utama serangan itu. Odesa melaporkan dua rudal X-22 ditembakkan pada Rabu pagi. Sementara di Mykolaiv, total enam rudal Rusia meledakkan sejumlah lokasi.
Baca Juga: Baru Terima 10 Persen Senjata NATO, Ukraina Sulit Imbangi Rusia
Daerah lain di Ukraina juga tidak aman dari serangan Rusia. ”Setiap selepas tengah malam saya masih terus terbangun karena peringatan serangan udara. Peringatan itu menunjukkan Kyiv belum aman dari serangan Rusia,” kata Kuleba.
Di sisi lain, ia menolak menjawab secara tegas soal serangan Ukraina ke Semenanjung Crimea. Zaluzhyi dan Menteri Pertahanan Ukraina Oleksii Reznikov menunjukkan hal senada. ”Hal yang harus diingat, Crimea adalah bagian dari Ukraina dan komunitas internasional mengakui itu,” ujar Kuleba.
Reznikov mengatakan, tidak ada larangan bagi Ukraina menggunakan senjata pasokan Barat ke pasukan dan persenjataan Rusia di Ukraina. Sejauh ini, Barat hanya melarang Ukraina menggunakan senjata dari mereka untuk menyerang wilayah Rusia. Adapun untuk wilayah Ukraina yang dikendalikan Rusia tak ada aturannya.
”Tidak ada pembahasan soal upaya pembebasan wilayah yang diduduki musuh,” kata Reznikov.
Barat menyebut, pada 2014 Rusia mencaplok Crimea dari Ukraina. Moskwa membantah telah mencaplok Crimea dengan alasan bergabungnya Crimea—yang secara faktual diakui menjadi bagian dari Ukraina setelah runtuhnya Uni Soviet pada 1991—ke Rusia didasarkan pada hasil referendum 16 Maret 2014.
Pada Selasa (16/8/2022), ada dua ledakan di dua lokasi terpisah di Crimea yang diduduki Rusia sejak 2014. Pada Selasa pagi, gudang peluru di Dzhankoi meledak. Beberapa jam setelah itu, giliran pangkalan udara Simferopol menjadi lokasi ledakan. Di pangkalan itu paling tidak ada 12 jet SU-24 dan 12 jet SU-25.
Kementerian Pertahanan Rusia menyebut, ada sabotase pada insiden di Dzhankoi. Sementara untuk Simferopol belum ada kejelasan. Wali Kota Melitopol Ivan Fedorov mengatakan, ada dua ledakan di markas tentara Rusia di kota itu pada Selasa dan Rabu.
Sejumlah pihak menduga Ukraina menggunakan peluncur roket gerak cepat (HIMARS) dari Amerika Serikat untuk menyerang Crimea. Kyiv tidak pernah menanggapi dugaan tersebut.
Baca Juga: Ukraina, Palagan Penulisan Buku Perang Baru
Dugaan itu sulit dibuktikan, antara lain, karena jangkauan amunisi HIMARS yang diberikan ke Ukraina. Sejumlah pihak memang mengingatkan amunisi HIMARS bisa menjangkau sampai 300 kilometer. Walakin, menurut Kyiv, Washington hanya memberikan amunisi yang bisa menjangkau paling jauh 80 kilometer. Sementara perbatasan Crimea dengan Kherson berjarak hampir 150 kilometer dari wilayah Kherson dan Mykolaiv yang masih dikendalikan Ukraina.
Bagi Kuleba, kesuksesan Ukraina menyerang berbagai persenjataan Rusia bisa dijadikan pelajaran bagi negara lain. ”Apakah Anda mau menghabiskan miliaran dollar AS untuk persenjataan yang hanya bagus di pameran dan tidak bisa bertahan 10 menit di medan perang?” ujarnya.
Alasan itu perlu dipertimbangkan oleh negara yang masih mau membeli senjata dari Rusia. Selain alasan itu, ada persoalan moral yang perlu ditimbangkan bagi yang mau membeli persenjataan atau komoditas lain dari Rusia.
Ia secara spesifik menyinggung soal ekspor energi. Sejumlah negara mendapat potongan harga kala membeli komoditas energi Rusia. ”Potongan itu dibayar dengan darah warga Ukraina dan kehancuran kota-kota Ukraina. Setiap barel minyak Rusia mengandung darah orang Ukraina yang menjadi korban perang ini,” ujar Kuleba.
India adalah salah satu negara yang mendapat potongan harga dari Rusia. Menteri Luar Negeri India S Jaishankar mengatakan, harga minyak melonjak tinggi dan New Delhi berusaha memastikan warga India tetap bisa mendapatkan energi dengan harga terjangkau. ”Di negara kami, pendapatan per kapita hanya 2.000 dollar AS. Mereka tidak akan mampu membayar energi lebih tinggi,” ujarnya di Bangkok
Kini banyak pemasok energi mengalihkan kiriman ke Eropa. Eropa berani membayar lebih tinggi dibandingkan kebanyakan negara Asia dan Eropa.
Baca Juga: Ukraina Ribut dengan Jerman Lagi
Dosen pada Leeds Beckett University, Olayinka Ajala, mengatakan, Asia-Afrika bukan tidak peduli pada Ukraina. Di awal perang, Afrika menyaksikan diskriminasi besar-besaran terhadap warganya yang berusaha mengungsi.
Masalah lain, banyak negara Asia-Afrika lebih sering dibantu Rusia dibandingkan AS dan sekutu serta mitranya. Moskwa memasok energi, pangan, hingga persenjataan untuk banyak negara Asia-Afrika kala Washington dan sekutunya malah menjatuhkan sanksi.
AS dan sekutunya juga dianggap tidak memperhatikan kebutuhan dan kondisi Asia-Afrika. Sanksi AS dan sekutunya kepada Rusia berperan penting dalam kenaikan harga pangan dan energi. Seperti India, mayoritas Asia-Afrika tidak sanggup menanggung lonjakan itu.
Para pemimpin Asia-Afrika tidak hanya khawatir pada lonjakan harga. Mereka juga khawatir pada gejolak sosial politik yang dipicu ketidakmampuan warga membeli pangan, energi, dan aneka kebutuhan lain. (REUTERS/AFP)