Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara atau ASEAN harus memberikan tekanan yang tegas dan kuat untuk memulihkan pemerintahan demokratis Myanmar.
Oleh
PASCAL S BIN SAJU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara atau ASEAN harus memberikan tekanan yang tegas dan kuat untuk memulihkan pemerintahan demokratis Myanmar. Krisis yang berlarut dan terus meminta korban jiwa di bawah rezim junta militer yang otoriter harus ditangani bersama, tidak cukup lagi dilihat sebagai persoalan internal Myanmar.
Di bawah keketuaan Indonesia pada 2023, ASEAN didorong harus memperkuat organisasi, seperti Sekretariat ASEAN dan semua organnya agar berfungsi lebih baik dan berdampak. Demikian rangkuman pendapat dua pengamat ASEAN yang dihubungi secara terpisah, yakni Dinna Prapto Raharja dari lembaga kajian Synergy Policies dan Randy Wirasta Nandyatama dari Departemen Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Sabtu (13/8/2022) malam.
Mereka juga berpendapat bahwa ASEAN harus terus mempromosikan prinsip-prinsip demokrasi, menolak semua bentuk kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia seperti terjadi di Myanmar. Pendapat itu mereka sampaikan menanggapi perkembangan terkini di Myanmar.
Myanmar jatuh ke dalam kekacauan politik sejak kudeta dilakukan oleh militer pada Februari 2021. Ribuan orang tewas dan banyak aktivis prodemokrasi ditangkap. Terakhir, empat di antara mereka dijatuhi hukuman mati.
Dalam pertemuan tingkat menteri luar negeri di Phnom Penh, beberapa waktu lalu, ASEAN kecewa dengan sikap Myanmar. Naypyidaw sama sekali tidak mengindahkan lima poin kesepakatan yang diputuskan di Jakarta.
Kini junta bahkan melarang 92 partai politik di Myanmar bertemu orang asing atau organisasi internasional menjelang pemilihan umum yang dirancang junta militer. Pemilu itu disebut akan digelar tahun depan.
”Partai politik harus menghormati hukum. Jika mereka gagal melakukannya, pendaftaran partai mereka akan dibubarkan,” kata komisi pemilu bentukan junta, Sabtu.
Tentu saja partai-partai politik di Myanmar mengecamnya. Soe Thura Tun, mantan anggota parlemen dari Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), mengatakan, langkah itu tidak demokratis dan tidak menghormati hak kebebasan berserikat.
Pekan lalu, di sela-sela pertemuan menlu ASEAN di Phnom Penh, Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mendesak masyarakat internasional untuk menolak ”pemilihan palsu” junta yang direncanakan tahun depan itu. ”Mereka tidak bisa bebas atau adil dalam kondisi saat ini,” katanya.
Otoriter
Menyikapi perkembangan terkini itu, Randy dan Dinna mengakui, Myanmar telah kembali ke pangkuan pemerintahan otoriter. Situasi Myanmar kini mundur ke lima dekade lalu, jauh sebelum demokrasi sipil tumbuh di bawah pemerintahan NLD.
Namun, menurut Dinna, krisis Myanmar bukan semata-mata urusan internal Myanmar atau Tatmadaw (sebutan untuk militer Myanmar). Krisis di Myanmar telah terjadi sejak kekerasan terhadap etnis minoritas, seperti Rohingya, terjadi. Selain kekerasan bersenjata, Myanmar juga dihadapkan pada krisis kemanusiaan serta tidak ada penghormatan pada hak-hak dasar warga negara dan pemajuan keadilan sosial.
”Ini jelas melanggar prinsip utama ASEAN dan Piagam ASEAN,” kata Dinna.
Menurut Dinna, persoalan itu tidak bisa diselesaikan sendiri oleh Myanmar. Dinna dan Randy berpendapat, peran Indonesia, dengan semua modal politik yang besar, harus bisa membawa ASEAN lebih kuat dan berpengaruh dalam menyelesaikan krisis di Myanmar.
Indonesia dapat berkolaborasi, misalnya, dengan negara-negara yang berada dalam satu frekuensi, seperti Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Filipina, dan mungkin Thailand.
Kelompok masyarakat sipil juga perlu dilibatkan, termasuk untuk memberi tekanan yang kuat kepada Myanmar. Lebih lanjut Randy mengatakan, Indonesia sebagai pencetus lima poin konsensus ASEAN harus kembali menggunakan modal politiknya yang besar untuk memperkuat institusi ASEAN. ”Sekretariat ASEAN dan semua organnya harus berfungsi lebih baik dan lebih berdampak dalam menangani konflik atau masalah di kawasan atau di setiap negara anggota,” kata Randy.
ASEAN sebenarnya sudah memiliki Institute for Peace and Reconciliation (ASEAN- IPR) dan AHA Center. Dalam kasus Rohingya, ASEAN-IPR, misalnya, dapat dioptimalkan perannya sebagai unit untuk menjawab krisis di Myanmar berdasarkan prinsip-prinsip utama ASEAN dan Piagam ASEAN. Seiring dengan itu, Randy berpendapat, ASEAN perlu memperhatikan peran Tatmadaw dalam pemerintahan Myanmar. (AFP)