Strategi Kekuatan Laut China Terinspirasi oleh MacArthur? (Bagian 2)
”Tanah air kita telah bertumbuh kuat, demikian juga PLA”, demikian pernyataan Presiden China Xi Jinping, dikutip Xinhua, 1 Agustus 2019.
Lepas dari polemik yang mengikutinya, strategi pertarungan geopolitik Amerika Serikat yang dirancang Jenderal Douglas MacArthur memang jitu. Salah satu usulannya, menekankan bahwa Formosa harus dikuasai atau berbalik jadi ancaman kuat bagi keamanan AS. Lebih keliru membiarkan Formosa berada di tangan musuh karena akan membuat perbatasan AS mundur ke daratannya.
Dalam pandangan MacArthur, Formosa sangat stategis melebihi strategisnya kawasan mana pun di daerah itu, termasuk lebih strategis dari Okinawa atau Filipina. Mendukung lokasi Formosa yang superstrategis, MacArthur berpendapat militer AS harus membentuk ”kekuatan penyerang” yang ditempatkan di kawasan berbentuk U mulai dari Aleutians, Midway, bekas pulau-pulau mandat Jepang, pangkalan udara Clark di Filipina, dan yang terpenting Okinawa. Strategi itu disebut sebagai islands chain, rantai kepulauan.
Dalam ”Message on Formosa” pada 17 Agustus 1950, MacArthur menggambarkan Taiwan sebagai ”kapal induk dan kapal selam yang tidak dapat tenggelam, yang berlokasi ideal untuk mencapai strategi ofensif dan pada saat yang sama melakukan operasi defensif dibantu serangan balasan skakmat oleh pasukan sahabat yang berbasis di Okinawa dan Filipina.”
Baca juga: Potensi Miskalkulasi Sangat Besar Terjadi di Selat Taiwan
”Dari rantai kepulauan ini, kita dapat mendominasi kekuatan laut dan udara atas setiap pelabuhan Asiatik, mulai dari Vladivostok hingga Singapura, dan mencegah pergerakan musuh ke Pasifik. Untuk alasan itu, saya sangat merekomendasikan di masa lalu bahwa ini masalah urgen secara militer. Dalam keadaan apa pun, Formosa tidak boleh jatuh di bawah kendali Komunis (China). Kemungkinan seperti itu sekaligus akan mengancam kebebasan Filipina dan hilangnya Jepang, dan mungkin akan memaksa perbatasan Barat kita kembali ke pantai California, Oregon, dan Washington,” demikian MacArthur.
Ide dikembangkan?
Ide MacArthur, terkait Formosa, tidak terwujud. AS kemudian memusatkan pertahanan di Filipina dan Okinawa dan beberapa lokasi lainnya, tetapi tidak menyangkut Formosa. Hal ini juga termasuk menjadi pemicu terbentuknya Pakta Pertahanan Asia Tenggara (SEATO) walau kemudian tidak bergema.
Namun, kemudian China disebutkan mengembangkan teori rantai kepulauan yang senada dengan ide MacArthur itu untuk kepentingan strategisnya. Teori rantai kepulauan ini juga sebenarnya bukan hal baru. Sebab, sudah diterapkan Jerman sebelum Perang Dunia II dan kekuatan Eropa lainnya di berbagai belahan dunia, termasuk di Asia Pasifik. MacArthur hanya melanjutkan atau memperkuat.
Baca juga: Asia Timur Semakin Membara
”Betapa pun kelirunya beberapa tindakan MacArthur, dan betapa pun terlalu-Taiwan-sentris, dilebih-lebihkan, atau tidak realistis, teori domino maritim di atas mungkin akan diterapkan sepenuhnya dalam praktik. Filosofi rantai kepulauan MacArthur memang merangkum beberapa pemikiran strategis penting pada zaman itu. Pemikiran seperti itu tidak diragukan lagi memengaruhi para ahli strategi China ketika mereka berusaha memahami posisi geostrategisnya, tantangan keamanan yang dihadapinya, dan apa yang mungkin dilakukan untuk mengatasinya,” demikian disebutkan dalam artikel berjudul ”Why Islands Still Matter in Asia: The enduring significance of the Pacific ’island chains’” di situs The National Interest, 5 Februari 2016. Artikel itu disajikan oleh Joel Wuthnow dari Center for the Study of Chinese Military Affairs at National Defense University bersama Andrew S. Erickson, profesor strategi di Naval War College dan dosen tamu di Harvard’s Fairbank Center.
Menurut Wuthnow dan Erickson, ”Dalam merumuskan pandangan mereka sendiri tentang rantai kepulauan, ahli teori militer China sering melihat kembali ide-ide strategis Amerika dari pertengahan abad ke-20. Banyak sumber China merujuk pada pernyataan AS di awal era Perang Dingin yang mengartikulasikan perlunya garis pertahanan untuk menahan Uni Soviet dan sekutunya, China,” demikian Wuthnow dan Erickson.
”Tulisan-tulisan militer China sering merujuk pada rantai kepulauan sebagai penghalang yang diberlakukan oleh Amerika Serikat untuk membatasi kemampuan China menuju kekuatan maritim sejati dengan kebebasan manuver di seluruh Pasifik Barat. Sebuah artikel tahun 2007 di majalah resmi Angkatan Laut Cina, misalnya, menyatakan rantai kepulauan memiliki kekuatan untuk menahan Cina dan Angkatan Laut Cina,” lanjut Wuthnow dan Erickson.
”Dua ahli strategi Angkatan Laut China juga berpendapat, sifat wilayah maritim China yang tertutup sebagian telah jelas membawa efek negatif pada keamanan maritim China. Selain itu, mengingat kembali aktivitas Amerika pada 1950-an, tulisan-tulisan China kontemporer sering menggambarkan pengerahan pasukan AS di daerah-daerah seperti Guam, Filipina, dan Okinawa sebagai hasil dari pemikiran Perang Dingin yang dirancang untuk menahan China.”
Aliran pemikiran militer China yang serupa memahami rantai kepulauan itu sebagai ”papan loncatan” dari mana militer AS dapat melakukan operasi yang dekat dengan klaim wilayah kedaulatan China. Misalnya, pensiunan Laksamana Muda Angkatan Laut China (PLAN) Zhang Zhaozhong telah mengidentifikasi Guam sebagai lokasi strategis tempat Amerika Serikat dapat ”segera mengirim pesawat atau mengirim kapal selam untuk menempatkan kekuatan ke zona perang,” mengacu pada Selat Taiwan.
Pandangan China itu tidak keliru. AS memang menjadikan Guam sebagai salah satu basis terpenting kekuatan militer, termasuk menghadapi ketegangan yang mungkin terjadi dengan China.
Rancangan China
Kemudian, beberapa ahli militer China melihat teori rantai kepulauan sebagai tolok ukur operasi militernya. China tidak lagi melihat teori itu sebagai hambatan, tetapi balik membuka sekat bagi kekuatannya dengan memanfaatkan teori rantai kepulauan. Cara berpikir baru ini paling menonjol di antara ahli strategi Angkatan Laut China.
”Laksamana Liu Huaqing berpendapat, untuk masa mendatang, sebagian besar operasi Angkatan Laut akan terbatas pada Rantai Kepulauan Pertama, yang ia definisikan termasuk Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Kepulauan Filipina, dan Kepulauan Sunda Besar. Namun, sebagai tujuan jangka panjang, Liu berpendapat China harus siap untuk akhirnya beroperasi ke Rantai Kepulauan Kedua, termasuk Kepulauan Mariana, Guam, dan Palau,” demikian dituliskan Wuthnow dan Erickson.
Liu Huaqing dianggap sebagai arsitek militer China menuju kekuatan samudra. Liu, yang wafat pada 2011, merupakan figur yang mendapat respek dari Presiden Xi Jinping.
”Media China sering merinci kemajuan menuju perairan yang lebih jauh. Untuk beberapa waktu kemudian, rantai kepulauan telah menjadi penanda dalam upaya China untuk mengembangkan Angkatan Laut ’air biru’ (blue water) yang mampu melakukan misi di masa perang dan di masa damai.”
Menuju samudra
Sajian berita di situs CGTN edisi 23 April 2019 mendukung teori perkembangan pemikiran China itu dengan melihat perkembangan yang terlihat sejak 2012. ”Pasukan Angkatan Laut Mendorong Aspirasi China Menuju Blue Water,” demikian CGTN. Dibeberkan sekaligus peristiwa bersejarah Angkatan Laut China (PLAN) yang pada 25 September 2012 berhasil meluncurkan pengoperasian pertama kali kapal induk berukuran 74.406 ton, Liaoning. ”Ini menandai awal transformasi PLAN menuju blue-water navy,” lanjut situs televisi Pemerintah China berjangkauan global itu.
Dua bulan kemudian, pilot PLAN, Dai Mingmeng, mendaratkan pesawat tempur J-15 di Liaoning untuk pertama kali. Ini loncatan lanjutan pengembangan PLAN. Kekuatan ini dudukung PLA Naval Air Force (PLANAF), salah satu dari lima cabang PLAN. ”Menjadi pilot angkatan laut adalah pilihan terbaik bagi mereka yang ingin menjadi pahlawan di udara dan laut,” demikian kata pejabat dari Kantor Perekrutan Pilot PLAN.
”Tujuan jangka Panjang PLAN dan konsep operasionalnya telah berubah,” kata Yang Zhen, peneliti dari Fudan Institute of Belt and Road and Global Governance. ”Kapal induk memengaruhi kemampuan angkatan laut dalam aksinya di laut. Ini isu strategi yang penting,” lanjut Yang. ”Pengembangan kekuatan laut dan beranjak ke samudra yang jauh tidak terhindarkan,” kata Yang.
Baca juga: Taiwan, Kapal Induk yang Tak Tertenggelamkan (Bagian 1)
China sudah mengerahkan penggunaan DF-26, rudal balistik berjarak menengah. Seorang pejabat PLA (Tentara China), yang tak mau disebutkan namanya, juga memakai julukan Barat terhadap DF-26 itu, yakni ”Guam Killer”.
Guam, yang dulu dianggap mengancam, kini bisa terancam oleh China. Kini, China bahkan sudah memiliki tiga kapal induk setelah Fujian, kapal induk ketiga, diluncurkan pada 17 Juni 2022. Kapal induk kedua adalah Shandong.
”Tanah air kita telah bertumbuh kuat, demikian juga PLA,” demikian pernyataan Presiden Xi, dikutip Xinhua, 1 Agustus 2019. Kutipan itu sekaligus memajang foto Presiden Xi saat parade militer di Qingdao, Provinsi Shandong, 23 April 23 2019.
Hal yang wajar
Langkah China itu tidak mengherankan. Kekuatan Eropa, misalnya, telah melakukan hal serupa sejak 1600-an, termasuk di kawasan Asia. ”Saya sudah lama mengatakan, semakin China kuat, semakin ia ingin menegaskan kekuatan di kawasannya. Jika AS memiliki Doktrin Monroe, mengapa China tidak boleh memiliki keinginan serupa,” demikian ucapan pakar hubungan internasional dari University of Chicago, John Mearsheimer, dalam sejumlah kesempatan.
Doktrin Monroe merujuk pada penegasan AS terhadap kekuatan Eropa, bahwa Benua Amerika adalah kekuasaan AS, tidak boleh dikuasai kekuatan lain. Ini kala Eropa adalah kekuatan yang mampu mengimbangi AS. Doktrin ini merujuk pada penyataan Presiden AS James Monroe pada Desember 1823 di Kongres AS.
”Mengapa saya mengatakan itu? Argumen saya, seperti yang saya tekankan kepada Anda sebelumnya, adalah semua negara kuat suka menjadi kekuatan hegemoni regional, mereka suka mendominasi halaman belakang mereka (backyard) dan memastikan tidak ada negara lain yang bisa ikut campur di halaman belakang mereka. Ini cara Amerika Serikat yang telah lama berlaku di belahan Barat, itulah yang dimaksud dengan Doktrin Monroe. Nah, jika China terus tumbuh secara ekonomi dan militer, mengapa kita berharap China tidak meniru Amerika Serikat? Mengapa kita harus berharap China tidak ingin mendominasi halaman belakang seperti kita mendominasi halaman belakang kita? Mengapa kita harus berharap China tidak akan memiliki Doktrin Monroe ketika kita memiliki Doktrin Monroe?” demikian Mearsheimer pada 8 Februari 2008.
”Sebagai kekuatan ekonomi global nomor dua, China diharapkan akan membangun satu atau dua kapal induk untuk melindungi hak-haknya dan AS tidak perlu heran,” demikian Jin Canrong, Wakil Dekan School of International Studies di Renmin University, 27 Juli 2011. Ini dia sebutkan ketika China masih dalam pemikiran untuk membangun kekuatan berbasis kapal induk.