Kebijakan Luar Negeri AS Menohok Kantong Warga Dunia
Situasi dunia baru memunculkan pemikiran tentang perlunya strategi baru oleh Biden. Biden memerlukan arsitek, bukan mekanik, untuk memperbaiki kebijakan luar negeri AS.
”Tidak tidak pernah ada ujian tentang kualitas nasional AS yang lebih adil dari Rusia. Mengingat keadaan ini, pengamat saksama dan bijaksana tentang hubungan Rusia-Amerika tidak layak mengeluh dalam menghadapi tantangan dari Kremlin. Amerika harus bisa bersyukur dengan takdir ini karena telah membuat seluruh keamanan mereka sebagai bangsa bergantung pada upaya mereka untuk bersatu sebagai negara dan menerima tanggung jawab kepemimpinan moral dan politik yang diberikan sejarah kepada Amerika.” – George Kennan
Ketika Pemerintah Indonesia berencana mengefektifkan alokasi pertalite bersubsidi, spontan terpikir pada penyebabnya. Harga minyak yang relatif tinggi pada kisaran 100 dollar AS per barrel sekarang ini adalah pasalnya. Demikian juga harga gas turut naik. Ada lagi, harga pupuk di kalangan petani yang juga naik.
Kenaikan harga-harga juga menjadi perhatian utama warga di negara lain, bahkan menjadi keluhan terberat sekarang ini. ”Orang Amerika, yang sejak awal terpaku pada liputan langsung konflik Rusia-Ukraina, kini berubah menjadi kurang memerhatikan konflik, lebih fokus pada harga gas yang tinggi, kekurangan susu formula bayi, dan penembakan massal,” demikian kutipan di harian AS The Los Angeles Times, edisi 13 Juni 2022.
Mengapa harga-harga itu naik? Kalimat seragam hingga pernyataan Dana Moneter Internasional (IMF) menyebutkan, semua itu juga efek dari invasi Rusia ke Ukraina.
Baca Juga: Perang Ukraina-Rusia, Cermin Senjakala Era Dominasi Barat
Dan, dengan kukuh, pengamat hubungan internasional terkemuka dari University of Chicago, John Mearsheimer, mengatakan, isu perluasan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) adalah pemicu invasi Rusia. Argumentasi itu terus-menerus menjadi penekanan Mearsheimer, jauh sebelum hingga setelah invasi terjadi.
Presiden AS Joe Biden tetap berkata lain. ”Dia (Biden) menolak setiap penilaian bahwa kegagalan pengintegrasian Rusia terhadap alur AS adalah akibat peluasan NATO ke timur. Sikap paranoia Rusia, dalam pandangan (Biden) tidak boleh dimaafkan,” demikian dituliskan pada 19 November 2020 dalam artikel berjudul ”Joe Biden’s Foreign Policy and Russia” oleh Dmitri Trenin, mantan Direktur Carnegie Moscow Center, bagian dari Carnegie Endowment for International Peace yang berbasis di Washington, DC.
Tulisan Trenin itu muncul sebelum Biden terpilih jadi presiden AS. Trenin memotret Biden sebagai pihak yang bersikap tanpa kompromi terhadap Rusia, khususnya Vladimir Putin. Ia memperkirakan terpilihnya Biden sebagai presiden AS dan keberadaan Vladimir Putin sebagai presiden Rusia akan menciptakan hubungan paling dingin.
Prediksi Trenin benar. Setelah invasi terjadi pada 24 Februari 2022, Biden mengorganisasi sanksi terhadap Rusia. Sanksi ekonomi Barat setelah invasi dan efek invasi itu sendiri telah mengganggu mobilitas komoditas global. Hal inilah juga penyebab kenaikan harga-harga.
Menambah rumit
Semua ini terjadi di tengah gangguan jaringan produksi global, yang sudah terjadi akibat program ”America First” oleh mantan Presiden AS Donald Trump dan terwujud lewat perang dagang, khususnya dengan China. Kenaikan harga komoditas global dan gangguan jaringan produksi global juga terjadi di tengah kenaikan inflasi, efek ”uang helikopter”, merujuk pada efek inflatoir stimulus keuangan pada era Covid-19 di seluruh dunia.
Baca Juga: Amerika Si ”Jealous Guy” Versus China (1)
Terpilihnya Biden pada pemilu 2020 sebenarnya amat melegakan dunia yang melihat Trump adalah presiden tanpa strategi global yang baik. Biden diharapkan menjadi oase di tengah dunia yang limbung di era Trump. Akan tetapi, Biden tidak juga memiliki strategi yang jelas setelah kepergian Trump. Ia tidak menuntaskan warisan perang dagang AS-China, yang membuat konsumen AS ketiban harga tinggi akibat pengenaan tarif impor asal China.
Lagi, Biden tidak memiliki strategi kuat menghadapi Presiden Putin yang sudah lama berniat menjadikan Ukraina sebagai perang proksi dalam urusannya dengan pertarungan geopolitik Rusia versus AS.
Fokus pada sekutu
Setelah terpilih, Biden secara kaku fokus pada sekutu demokratisnya, yakni Eropa, Jepang, Australia. Biden fokus pada penegakan demokrasi dan menisbikan negara-negara nondemokrasi yang justru sangat dibutuhkan dalam banyak hal tentang urusan global. Biden persuasif dan bersahabat pada sekutu tetapi retorikanya terhadap musuh yang nondemokrasi justru menjadi sangat menganggu programnya.
Ironisnya, justru sekutu-sekutunya sedang tidak dalam posisi menentukan dalam percaturan politik global. Jangankan Rusia yang menganggap aliansi Barat sedang lemah, bahkan negara-negara dunia yang tidak berpihak ke Rusia dan China juga tidak tergerak pada jalur AS, yang tetap dianggap tidak jelas di bawah Biden.
”Kunjungan lima hari (Biden) ke Asia pada Mei 2022 lalu tidak beranjak lebih jauh kecuali hanya sekadar foto bersama dan kehilangan komitmen untuk membentuk pakta perdagangan Indo-Pasifik sebab tidak ada negara yang serius mengikutinya. Dan, pertemuan puncak Amerika di Los Angeles juga tidak diikuti oleh semua pemimpin negara-negara di Benua Amerika,” demikian The Los Angeles Times edisi 13 Juni 2022.
Baca Juga: Perebutan Pengaruh di Indo-Pasifik
Tidak banyak yang bisa diharapkan dunia dari AS sekarang ini. Benua Afrika, Timur Tengah (kecuali Israel), Amerika Latin tidak terkesima pada strategi Biden. ”Amerika Latin dan Karibia tidak pernah menjadi prioritas dalam kebijakan luar negeri AS, kecuali saat krisis besar. Kebijakan Biden terhadap kawasan mengikuti pola ini,” kata Heraldo Munoz, mantan Menteri Luar Negeri Chile, di Foreign Policy, 20 Januari 2022.
Keadaan yang berubah
Sebenarnya tidak terlalu banyak yang berubah dalam kebijakan luar negeri AS. Kelebihan di era Biden hanyalah pengembalian profesionalisme yang sempat dibuat kacau oleh Trump. Kelebihan lain adalah penekanan lebih serius ke Asia. Akan tetapi, langkah ini tidak meyakinkan, sebagaimana dikatakan Michel Duclos, mantan Duta Besar Perancis untuk Suriah (Foreign Policy, 20 Januari 2022). ”Sebagai tambahan, para pemimpin dunia tidak melihat akhir dari perang dingin domestik AS,” kata Duclos.
Perpecahan kubu Republikan dan Demokrat telah menyita energi Gedung Putih. Biden hanya terlihat hebat dari retorika. Mantan Presiden Estonia Toomas Hendrik Ilves melihat tidak ada substansi di balik retorika jika dilihat dalam strategi Biden tentang Ukraina. Retorika tidak diiringi kekuatan materi, efek berkurangnya kemakmuran ekonomi Barat. Kurangnya materi dan potensi pertumbuhan, membuat janji kerja sama ekonomi Barat dan sekutunya terasa menjadi hambar.
Dunia akan berada setidaknya dalam posisi bipolar dan kemungkinan multipolar. Perubahan geopolitik terbesar pada abad ini akan datang dari China, bukan Rusia.
Mantan Perdana Inggris Tony Blair, seperti dituliskan Reuters pada 17 Juli 2022, menyebutkan, dominasi Barat sedang menuju akhir di tengah kebangkitan China. Kemitraan China dengan Rusia menambah signifikasi dalam perubahan kekuatan global. Blair menyetarakan perubahan historis terbaru itu dengan akhir Perang Dunia II dan juga pecahnya Uni Soviet. ”Sekarang ini Barat jelas tidak sedang dalam keadaan menanjak. Kita melihat berakhirnya era dominasi Barat secara politik dan ekonomi,” kata Blair.
”Dunia akan berada setidaknya dalam posisi bipolar dan kemungkinan multipolar. Perubahan geopolitik terbesar pada abad ini akan datang dari China, bukan Rusia,” lanjut Blair.
Situasi yang berubah, ditambah kolaborasi China-Rusia, membuat sanksi Barat terhadap Rusia tidak kunjung mampu melemahkan ekonomi Rusia. Biden di sisi lain masih memercayai Rusia akan melemah dan menuju ambruk. Akan tetapi, tidak demikian dalam perkiraan banyak pengamat seiring dengan solidnya relasi Rusia-China.
Angan Biden untuk meruntuhkan Rusia dengan mengajak kerja sama China, seperti ketika AS meruntuhkan Soviet lewat kolaborasi Richard Nixon dengan China, tidak terwujud. Henry Kissinger, dikutip Bloomberg pada 20 Juli, mengingatkan efek konfrontasi Biden terhadap China. Konfrontasi itu tidak akan menghasilkan kebaikan, bahkan berpotensi memunculkan bencana seperti terjadi pada PD I.
Kissinger menyarankan agar Biden meniru Nixon dengan menjadi diri sendiri, menepis tuntutan domestik dan berkolaborasi dengan China seperti Nixon.
Strategi baru dan efektif
Situasi baru seperti postulat Blair memunculkan pemikiran tentang perlunya strategi baru oleh Biden. ”Biden memerlukan para arsitek, bukan para mekanik, untuk memperbaiki kebijakan luar negeri,” demikian saran dari Stephen M Walt, profesor hubungan internasional dari Harvard University yang menuliskan artikel pada 12 Juli 2022 di situs Foreign Policy.
Baca Juga: Era Baru Amerika Serikat
Dalam pandangan Walt, para penyusun strategi di AS sekarang ini bertindak seakan AS sekarang ini masih dalam posisi kuat seperti di masa keemasannya. Hal itu memunculkan para mekanik, bukan para arsitek. Bisa dikatakan, retorika Biden itu sendiri dan media utama AS juga masih memosisikan AS seakan dalam posisi paling kuat. Dengan posisi yang sudah berubah, menurut Walt, kini dibutuhkan strategi merangkul kubu nondemokratis.
”Hal lebih penting, mengapa AS berharap negara lain mengejar nilai-nilai demokrasi di saat AS sendiri begitu terpecah tentang perhatian pada kelompok minoritasnya dan di saat Mahkamah Agung AS tampaknya berpikir kepentingan perusahaan pembuat senjata dan korporasi jauh lebih penting dari hak-hak perempuan. Jika Biden ingin menyebarkan demokrasi, tempat terbaik untuk memulainya adalah dengan melakukan hal itu secara lebih baik di dalam negeri AS sendiri,” tutur Walt.
Di tengah posisi China dan Rusia yang tidak demokratis, tetapi bisa menurunkan angka kemiskinan absolut rakyatnya, mengapa Biden melulu hanya melihat sisi pemerintahan otokratik Rusia dan China ketimbang mendekati Rusia dan China agar tetap peduli pada nilai-nilai demokrasi?
Akhirnya, seperti kata arsitek kebijakan luar negeri terkenal AS di masa lalu, George F Kennan, AS ditakdirkan mengusung nilai moral dengan penuh kesabaran. Meluluhkan musuh, dalam pandangan Kennan, dalam konteks Rusia, misalnya, dibutuhkan strategi pembendungan, bukan konfrontasi langsung. Strategi serupa yang pada dekade 1970-an telah dijalankan AS terbukti berhasil menjatuhkan Uni Soviet.
Akhirnya, dalam posisi ini, berlaku seruan lama dan berulang dari Presiden China Xi Jinping: dunia ini memerlukan solusi yang saling menguntungkan dengan sikap saling menghargai. Seruan ini amat mengena sekarang ketimbang membawa dunia pada potensi katastrofa. Jika sekarang invasi Rusia ke Ukraina belum menemukan titik terang, dengan sikap konfrontatif Biden, tidak mustahil potensi katastrofa juga terjadi di belahan lain dunia ini.
”Dunia ini tempat yang keras. Geopolitik memiliki aturannya sendiri. Amerika dan sekutu demokratisnya, meski dalam posisi terbaiknya, tidak cukup kuat untuk mengatasi tantangan geopolitik itu sendirian. Nasib pemerintahan Biden terletak pada seberapa cepat menyadari kenyataan ini,” demikian dituliskan Walter Russell Mead, kolumnis The Wall Street Journal, edisi 15 Maret 2022.