”Di mana para pemimpin? Mengapa para presiden tidak berperang sendiri? Mengapa mereka selalu mengirim rakyat miskin?” Demikian gugatan System of A Down, band metal asal Amerika Serikat, terhadap ironi perang.
Oleh
FX LAKSANA AGUNG SAPUTRA
·6 menit baca
Bagi elite, perang adalah keputusan politik. Sementara, bagi rakyat, perang adalah tragedi kemanusiaan dan malapetaka peradaban dalam bentuknya yang paling buruk. Paradoks ini tampaknya selalu menjadi karakter perang sepanjang sejarah manusia. Perang Irak pada 2003-2011 dan perang Rusia-Ukraina yang mulai berkobar pada 24 Februari 2022 adalah contohnya. Berjarak hampir dua dekade, kedua perang menampilkan paradoks itu.
Pada perang Irak, berbekal narasi bahwa Saddam Hussein sedang mengembangkan proyek senjata pemusnah massal atau weapons of mass destruction (WMD) yang membahayakan dunia, AS bersama sekutu menginvasi Irak. Merujuk penelitian berjudul ”Partisipasi Sekutu dalam Operasi Pembebasan Irak” yang disusun Stephen A Carney dari Pusat Sejarah Militer Angkatan Bersenjata AS pada 2011, sekutu yang dimaksud mencakup 37 negara. Di antaranya adalah Inggris, Australia, Denmark, Polandia, dan Ukraina.
Di kemudian hari, narasi WMD itu, sebagaimana dilaporkan berbagai sumber, termasuk The New York Times, terbukti hanya mbelgedesh alias omong kosong belaka. Sementara lebih dari 100.000 warga sipil Irak sudah telanjur tewas. Berbagai bangunan dan infrastruktur di Negeri 1001 Malam itu pun luluh lantak.
Sedikitnya 4.700 tentara AS dan sekutu pulang dalam peti mati. Data ini diambil dari Council on Foreign Relations atau Dewan Hubungan Luar Negeri, lembaga pemikir di AS.
Kajian lain menunjukkan angka yang jauh lebih mengerikan. Kajian dari empat universitas, yakni University of Washington, Johns Hopkins University, Simon Fraser University, dan Mustansiriya University, misalnya, menaksir angka kematian mencapai sekitar 461.000 kasus selama Maret 2003-Juni 2011. Sebanyak 60 persen kasus di antaranya akibat kekerasan langsung.
Sisanya adalah kematian akibat faktor di luar kekerasan langsung. Penyebab paling umum adalah serangan jantung atau kondisi kardiovaskular, diikuti oleh kematian bayi atau anak-anak, cedera, penyakit kronis, dan kanker. Dalam kondisi perang, akses kebutuhan dasar dan layanan hidup dasar acap kali nihil sehingga banyak menyebabkan kematian penduduk sipil.
Kehancuran, kematian, dan persoalan kemanusiaan juga terjadi dalam pertempuran Rusia-Ukraina yang sudah memasuki bulan kelima pada akhir Juli ini. Sebagaimana perang di palagan mana pun, perang di Eropa timur itu telah menyebabkan gelombang pengungsi serta menyebabkan ribuan korban tewas dan terluka. Perang juga menghancurkan permukiman dan infrastruktur di berbagai kota.
Berdasarkan data UNHCR per 16 Juni, 7,7 juta warga Ukraina mengungsi ke luar negeri sejak pecah perang. Jumlah pengungsi di dalam negeri diperkirakan juga mencapai jutaan jiwa. Sementara terkait korban sipil meninggal, sampai dengan 19 Juni, Komisioner Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) mencatat, jumlahnya mencapai 4.569 orang, termasuk 304 anak-anak. Sebanyak 5.691 orang terluka, termasuk 467 anak-anak.
Angka faktualnya, menurut OHCHR, bisa lebih banyak lagi. Presiden Ukraina Volodymyr Zelenksyy bahkan memperkirakan angka kematian bisa mencapai puluhan ribu orang, termasuk tentara.
Jika ditarik ke belakang sampai perang di Donbas sejak 2014, jumlah korban meninggal makin banyak lagi. Pertempuran antara pasukan Ukraina melawan milisi di Donbas yang didukung Moskwa selama 2014-2021 itu diperkirakan menewaskan lebih dari 14.000 orang, termasuk 3.404 warga sipil.
Dengan semua tragedi itu, alih-alih mengupayakan jalan menuju meja perundingan, para pemimpin dalam perang Rusia-Ukraina justru kian getol mengobarkan perang. Tak terdengar lagi upaya diplomasi. Semua pihak justru semakin konfrontatif dan kian mengedepankan pendekatan perang, baik militer maupun ekonomi.
Presiden Rusia Vladimir Putin tidak banyak bicara soal operasi militernya di Ukraina. Namun, pasukan Rusia kian gencar membombardir kota-kota di Ukraina timur. ”Usaha-usaha ini akan terus berlanjut hingga semua target tercapai dalam operasi militer khusus ini,” kata juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov, sebagaimana dikutip dari kantor berita Rusia, TASS.
Presiden Zelenskyy dalam pidato virtual per 13 Juni kepada Forum Global Komite Yahudi Amerika meminta bantuan pasokan senjata. ”Bantu kami mempercepat pasokan senjata ke Ukraina sehingga kami dapat membebaskan wilayah pendudukan. Kami membutuhkan senjata yang kuat untuk menyerang, yang tanpanya perang hanya akan berlarut-larut dan jumlah korban akan meningkat,” kata Zelensky sebagaiman dikutip dari kantor berita Ukraina, Ukrinform.
Presiden AS Joe Biden, dalam keterangan pers 15 Juni, menyatakan, AS akan menggelontorkan lagi bantuan militer senilai 1 miliar dollar AS untuk Ukraina. Wujudnya antara lain adalah artileri, senjata pertahanan pantai, amunisi untuk artileri, dan sistem roket modern. Janji itu merupkan tambahan dari komitmen bantuan militer senilai 4,6 miliar dollar AS yang telah dinyatakan sebelumnya.
Tak mau ketinggalan, Perdana Menteri (PM) Inggris Boris Johnson, yang baru saja mengundurkan diri, juga menjanjikan pasokan senjata ke Ukraina. Dalam artikel di The Times per 18 Juni, ia yang saat itu masih menjabat PM Inggris menyebutkan, Inggris akan memastikan Ukraina menerima persenjataan, peralatan, amunisi, dan pelatihan lebih cepat ketimbang Rusia.
”Jadi, kita butuh bergerak dan memberikan pelatihan lebih cepat dalam beberapa bulan,” kata Johnson.
Fokus kami dalam mendukung Ukraina sekarang adalah menyediakan dukungan militer yang sifatnya mematikan dan yang tidak mematikan, dari negara-negara anggota dan dari NATO.
Sementara Sekretaris Jenderal Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) Jens Stoltenberg dalam konferensi pers di Brussels, 16 Juni, menyatakan, NATO telah mengumumkan tambahan bantuan militer untuk Ukraina, termasuk senjata berat dan sistem jarak jauh. NATO juga sedang mendiskusikan rencana dukungan jangka panjang dalam paket komprehensif.
”Fokus kami dalam mendukung Ukraina sekarang adalah menyediakan dukungan militer yang sifatnya mematikan dan yang tidak mematikan, dari negara-negara anggota dan dari NATO. Kami juga mendukung pembangunan kapasitas guna modernisasi untuk jangka panjang, institusi pertahanan dan keamanan Ukraina,” katanya.
Peter Hitchens, wartawan asal Inggris yang pernah menjadi koresponen di Moskwa di era Uni Soviet serta pernah ke Donbas dan Crimea, dalam wawancara dengan salah satu stasiun televisi pada awal Juni mempertanyakan berbagai pihak yang justru mengeskalasi perang. Sampai pada titik ini, menurut dia, sulit memperkirakan kapan perang akan berhenti.
”Hal ganjil tentang perang Ukraina ini adalah bahwa hampir tidak ada upaya nyata, baik untuk mencegahnya ketika perang sepenuhnya dapat diperkirakan maupun untuk segera mengakhirinya saat awal-awal perang terjadi,” tutur Hitchen.
Hal ganjil tentang perang Ukraina ini adalah bahwa hampir tidak ada upaya nyata, baik untuk mencegahnya ketika perang sepenuhnya dapat diperkirakan maupun untuk segera mengakhirinya saat awal-awal perang terjadi.
Pemimpin Gereja Katolik Sedunia Paus Fransiskus, dalam wawancara dengan La Civiltà Cattolica pada 19 Mei 2022, berpendapat, Perang Dunia III sebenarnya telah dideklarasikan. Ini menjadi tragedi bagi kemanusiaan.
”Apa yang terjadi terhadap umat manusia sehingga kita mengalami tiga perang dunia dalam satu abad? Saya menjalani perang pertama melalui pengalaman kakek saya di Sungai Piave (Italia). Lalu yang kedua, dan sekarang yang ketiga. Dalam satu abad telah terjadi tiga perang dunia, berikut semua perdagangan senjata di belakangnya. Ini buruk bagi kemanusiaan, sebuah bencana,” papar Paus.
Perang, sekali lagi, adalah paradoks. Bagi elite, perang adalah keputusan politik. Perang adalah tentang rapat-rapat di dalam ruang ber-AC, kadang sambil makan malam bersama.
Sementara, bagi masyarakat, perang adalah tragedi kemanusiaan dan malapetaka peradaban dalam bentuknya yang paling buruk. Perang membawa maut dan kehancuran, tidak hanya ke depan pintu rumah rakyat, tetapi masuk ke dalam rumah rakyat.
System of A Dawn, band metal Amerika Serikat (AS) yang semua awaknya keturunan Armenia, lewat lagu ”BYOB”, mengungkapkan paradoks perang itu. Mengambil konteks perang Irak, lagu dengan judul yang sering diidentifikasikan sebagai akronim dari bring your own bomb itu dirilis pada 2005 dan berisi gugatan terhadap dewa-dewa perang.
”Di mana gerangan para pemimpin? Mengapa para presiden tidak berperang sendiri? Mengapa mereka selalu mengirim rakyat miskin (tentara)? Mengapa selalu rakyat miskin (tentara) yang berperang?” Demikian terjemahan bebas bridge lagu ”BYOB”.