Bob Dylan dan Jagat Anarki
Bob Dylan bukan Nostradamus. Namun, pertanyaan retorikanya dalam lagu ”Blowin’ in The Wind”, layaknya quartrain Sang Peramal, menemukan ruang proyeksinya dalam perjalanan waktu.
Tahun ini genap 60 tahun ”Blowin’ in The Wind” sejak Bob Dylan membawakannya pertama kali di atas panggung. Lagu yang kabarnya ditulis dalam sepuluh menit itu awalnya dua bait tetapi kemudian berkembang menjadi tiga bait.
Lewat lagu tersebut, Dylan yang lahir di Kota Duluth, Negara Bagian Minnesota, Amerika Serikat (AS), 24 Mei 1941 itu, bertanya tentang manusia dalam relasinya dengan perang, perdamaian, keadilan, dan kebebasan. Pada baris akhir setiap bait, ia bersitkan sebuah misteri jawaban reflektif.
How many roads must a man walk down
before you call him a man?
Yes, and how many seas must a white dove sail
before she sleeps in the sand?
Yes, and how many times must the cannonballs fly
before they’re forever banned?
The answer, my friend, is blowin’ in the wind
The answer is blowin’ in the wind.
Bukan tanpa alasan jika seniman dalam budaya modern AS yang mulai muncul pada 1960-an itu lantas dinobatkan sebagai ”The Voice of a Generation”. Syair-syairnya, termasuk Blowin' in The Wind, dianggap telah menciptakan ekspresi puitis baru dalam tradisi lagu Amerika yang hebat sehingga membawanya menerima penghargaan Nobel bidang sastra pada 2016.
”Ini bukan lagu protes atau semacamnya karena saya tidak menulis lagu protes,” kata Dylan memberi pengantar sebelum membawakan ”Blowin’ in The Wind” untuk pertama kalinya di depan publik sebagaimana dikutip dari laman History.
Penampilan perdana Blowin’ in The Wind itu berlangsung pada musim semi di sebuah pub bernama Gerde's Folk City di Greenwich Village, Manhattan, New York, 16 April 1962. Dylan menyanyikan enam lagu dengan iringan guitar dan harmonika yang ia mainkan sendiri. Setelah Honey ; Just Allow Me One More Chance ; Talkin’ New York ; Corrina, Corrina ; dan Deep Ellem Blues, Dylan menutup repertoarnya dengan Blowin’ in the Wind.
Persis 60 tahun kemudian, 16 April 2022, peluru kendali Rusia masih beterbangan menghantam Kiev dan beberapa kota lainnya di Ukraina. Di Provinsi Khost dan Kunar di Afghanistan, 47 orang tewas dan 22 orang terluka akibat serangan udara militer Pakistan. Kebanyakan korban adalah perempuan dan anak-anak.
Di hari yang sama, bentrok antara pasukan Israel dan warga Palestina kembali terjadi di kompleks Masjid Al-Aqsa di Jerusalem. Ratusan orang, hampir semuanya warga Palestina, dilaporkan terluka. Dan masih banyak konflik dan kekerasan di belahan bumi lainnya di hari itu yang terekam media atau pun yang tidak.
Faktanya, sejak 1946, tiada tahun tanpa perang di berbagai belahan bumi, entah itu perang saudara ataupun perang antarnegara.
Selama 60 tahun sejak penampilan perdananya, ”Blowin’ in The Wind” menjadi saksi akan perang dan ketidakadilan yang tak kunjung berhenti mengobok-obok peradaban zaman. Perang Dunia (PD) I dan PD II yang menumpahkan horor, tragedi, dan malapetaka pun tak cukup membuat jera negara dan para pemimpin dunia.
Faktanya, sejak 1946, tiada tahun tanpa perang di berbagai belahan bumi, entah itu perang saudara ataupun perang antarnegara. Sampai hari ini, perang masih terus berkobar di berbagai belahan bumi hingga menyebabkan krisis kemanusiaan dalam berbagai bentuk. Salah satunya kelaparan dan pengungsian.
Mengutip World Food Program (WFP), 811 juta orang tidur dengan perut lapar setiap malam. Angka kerawanan pangan akut itu berlipat ganda dari 135 juta orang pada 2019 menjadi 276 juta orang pada 2021. Terdapat 44 juta orang di 38 negara di ambang bencana kelaparan.
Kombinasi beberapa faktor jadi penyebab kelaparan. Namun konflik dan kekerasan adalah yang utama. Sebanyak 60 persen penduduk dunia yang kelaparan berada di wilayah terdampak perang dan kekerasan.
Baca juga : Api Perang dan 50 Tahun Manifesto John Lennon
Konflik dan kekerasan adalah juga faktor dominan yang menyebabkan gelombang pengungsi besar-besaran. Berdasarkan data UNHCR per semester I-2021, jutaan manusia terpaksa meninggalkan rumah mereka akibat konflik bersenjata, kekerasan, dan pelanggaran hak asasi manusia. Banyak di antaranya menghadapi tantangan Covid-19, bencana, cuaca ekstrem, dan dampak perubahan iklim lainnya.
UNHCR memperkirakan total pengungsi sampai dengan periode itu mencapai 84 juta orang. Jumlah ini meningkat tajam dibanding akhir 2020 sebanyak 82,4 juta orang. Mereka terutama berasal dari Suriah, Venezuela, Afghanistan, Sudan Selatan, Myanmar, Congo, Sudan, Somalia, Afrika Tengah, dan Irak.
Perang menyebabkan krisis. Dan hari-hari ini, dunia tidak saja tengah mengalami perang, tetapi juga sedang menghadapi sejumlah tantangan besar lainnya. Semuanya saling berkelindan dan memengaruhi. Dunia misalnya dihadapkan pada ancaman krisis energi dan krisis pangan serta meroketnya harga-harga komoditas. Ini terjadi saat dunia sedang berusaha keluar dari krisis akibat pandemi Covid-19 dan bergegas mengantisipasi dampak perubahan iklim.
Perang Rusia-Ukraina menjadi variabel mutakhir yang menambah kompleksitas dan skala persoalan. Ini diperparah dengan adanya sanksi sepihak AS dan sekutu terhadap Rusia yang dengan cepat berkembang menjadi perang ekonomi.
Perang Rusia-Ukraina tidak semata pertempuran antara Rusia dan Ukraina, tetapi sudah menjadi perang proksi Rusia melawan AS dan sekutunya.
Apalagi, perang Rusia-Ukraina tidak semata pertempuran antara Rusia dan Ukraina, tetapi sudah menjadi perang proksi Rusia melawan AS dan sekutunya. Dengan demikian, implikasinya bersifat global dan amat menentukan dinamika politik-ekonomi internasional.
Akhirnya, perang dan berbagai tantangan itu beragregasi menjelma menjadi badai yang sempurna bagi warga dunia. Hantamannya mendekonstruksi tata dunia lama.
Baca juga : Globalisasi Luntur, Fragmentasi Menguat
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, dinamika yang berlangsung saat ini menyebabkan lunturnya kepercayaan antarnegara dan kepercayaan terhadap globalisasi. ”Apa yang terjadi? Dunia barangkali akan berubah sama sekali setelah ini,” kata Sri Mulyani.
Perubahan yang akan berlangsung, Sri Mulyani memberi catatan, akan mengandung risiko yang serius di bidang ekonomi, sosial, dan politik. Ini mesti diantisipasi dunia, termasuk Indonesia. "Saya bisa katakan (perubahannya) sangat rumit, sensitif, dan berbahaya,” katanya.
Pertanyaannya sekarang, seperti apa tata dunia baru yang akan terbentuk dari badai yang sempurna itu? Saat ini tak seorang pun tahu jawabannya karena semua variabel pembentuk terus berkembang dan beririsan dengan sangat dinamis ke arah yang serba samar. Namun, sistem politik internasional yang anarki sudah pasti akan jadi fundamentalnya.
Pakar politik internasional dari Universitas California, Kenneth Waltz, melalui bukunya yang berjudul, Manusia, Negara, dan Perang (1959), menyatakan, sistem politik internasional bersifat anarki. Anarki yang dimaksud bukan merujuk pada kekacauan, melainkan sebuah kondisi di mana tidak ada sistem berdaulat yang mengatasi negara-negara di dunia.
Sistem politik internasional bersifat anarki.
Dalam pemikiran kaum realis, sistem politik internasional yang anarki merupakan akar struktural terjadinya perang. Perang Rusia-Ukraina adalah contoh gamblang. Tak ada yang bisa menghentikan Rusia menyerang Ukraina sekalipun jelas-jelas Ukraina hancur.
Tak ada yang bisa menghentikan Barat membombardirkan sanksi terhadap Rusia sekalipun dampaknya menekan perekonomian berbagai negara. Tak ada pula pihak yang bisa ”ditelepon” untuk menghentikan semua agresi dan kegilaan itu. Dan ini berlaku pula untuk berbagai perang dan ketidakadilan yang terjadi di berbagai tempat lainnya selama ini.
Pakar hubungan internasional dari Universitas Chicago, John Mearsheimer, dalam bukunya, Tragedi Politik Adidaya (2001), menyebutkan, dalam sistem politik internasional yang anarki, negara-negara adidaya akan bertindak agresif satu sama lain. Masing-masing terus berupaya memperluas hegemoni sekaligus membendung ekspansi rivalnya. Ini ditempuh dengan berbagai strategi sekalipun menggiring situasi mendekati perang atau bahkan perang sekalipun.
Perang Rusia-Ukraina diproyeksikan akan berbuntut panjang sampai beberapa tahun mendatang meskipun, misalnya, konflik bersenjata jangka pendeknya selesai tahun ini. Sementara di cakrawala hubungan internasional, kompetisi AS-China sudah terbit sebagai lakon utama, setidaknya untuk satu dekade mendatang.
Baca juga : China Cegat Australia, AS Tempel Singapura
Belajar dari pengalaman empirik kelakuan para adidaya sejak PD I hingga kini, Mearsheimer memperkirakan, tumbuhnya China sebagai kekuatan global baru tak akan berlangsung damai. Alasannya, kepentingan ekspansi China berlawanan dengan kepentingan Washington. AS sebagai petahana adidaya global tak bisa menoleransi munculnya pesaing baru. Oleh sebab itu, konflik tidak terhindarkan.
Kalkulasi ini sekaligus menghidupkan lagi pertanyaan retorika dalam ”Blowin’ in The Wind” tentang kapan manusia menjadi dewasa dan bijak hingga tak lagi menempuh jalan perang, tetapi damai. Menafsir deskripsi Dylan, jawabannya sebenarnya dekat dan bisa dirasakan. Namun, entah bagaimana, manusia selalu gagal menggenggamnya. ”The answer, my friend, is blowin’ in the wind,” kata Dylan.