Dampak perang di Ukraina menimbulkan ancaman krisis baru di tengah upaya dunia pulih dari krisis akibat pandemi Covid-19. G20, sekalipun penuh tantangan, menjadi platform paling realistis untuk mencari solusi.
Oleh
KRIS MADA, DIMAS WARADITYA NUGRAHA, M FAJAR MARTA, FX LAKSANA AGUNG SAPUTRA
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Dunia sedang mengalami perubahan besar penuh risiko menuju tatanan baru. Sebab, alih-alih sebagai buah transformasi dan perencanaan, perubahan itu terjadi akibat krisis di atas krisis. Variabel awal adalah pandemi Covid-19 dan persoalan iklim. Belakangan, muncul ancaman multikrisis dan fragmentasi negara-negara yang membuat perubahan itu semakin kompleks dan mengandung bahaya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi video dengan Harian Kompas dari Washington DC, Amerika Serikat, Jumat (22/4/2022), menyatakan, perang Rusia-Ukraina dan sanksi ekonomi Barat terhadap Rusia telah menimbulkan dampak ekonomi berantai secara global. Respon berbagai negara saat ini adalah mencari cara untuk mengurangi risiko demi kepentingan domestik masing-masing.
”Akan ada fenomena yang kita lihat di ekonomi global. Selama ini, globalisasi dianggap mekanisme yang diterima di semua negara sebagai cara untuk meningkatkan kemakmuran masyarakat,” kata Sri Mulyani.
Namun perang Rusia-Ukraina berikut sanksi Barat terhadap Rusia yang terjadi belakangan memunculkan sentimen akan datangnya Perang Dingin baru. Ini menimbulkan hilangnya kepercayaan antarnegara dan kepercayaan terhadap globalisasi. ”Apa yang terjadi? Dunia barangkali akan berubah sama sekali setelah ini,” kata Sri Mulyani.
Sebelum pecah perang Rusia-Ukraina berikut sanksi Barat terhadap Rusia, sejumlah kajian menyebutkan bahwa dunia akan menuju ke tatanan baru. Setidaknya ada empat faktor utama yang akan membentuk tata dunia baru itu.
Pertama, krisis kesehatan akibat pandemi. Kedua, krisis ekonomi akibat pandemi. Ketiga, perubahan iklim. Keempat, kompetisi Amerika Serikat-China yang akan banyak memengaruhi peta geopolitik kawasan dan dunia. Khusus untuk Indonesia, ada satu faktor tambahan lagi yang akan amat menentukan, yakni stabilitas politik-keamanan menjelang dan pada pemilihan umum 2024.
Secara historis, pandemi selalu memaksa umat manusia memutus masa lalunya sekaligus mengimajinasikan sebuah dunia baru.
Dalam buku berjudul ”Pandemi Adalah Sebuah Portal”, Arundhati Roy menulis bahwa secara historis, pandemi selalu memaksa umat manusia memutus masa lalunya sekaligus mengimajinasikan sebuah dunia baru. Pandemi Covid-19 ini, tidak ada bedanya. Situasi mutakhir di Eropa timur, menambah kompleksitas perubahan dan mengandung risiko.
Pertanyaannya, menurut Sri Mulyani, apakah dunia akan melanjutkan jalur globalisasi yang telah berlangsung selama 40 tahun terakhir atau terpecah-pecah seperti sebelum Perang Dunia II. Jika polarisasi dunia yang terjadi, maka ekonomi akan terdampak. Masyarakat misalnya tidak bisa berdagang dan berinvestasi leluasa seperti sekarang.
Oleh sebab itu, ia menekankan, Indonesia harus bisa memahami tren perubahan besar tersebut. Indonesia sebagai pemegang presidensi G20 tahun ini berkesempatan berinteraksi intensif dengan negara-negara anggota G20 sehingga memperoleh informasi langsung. ”Kita jadi tahu mereka (negara-negara) sedang berpikir apa. Ini yang harus membuat kita mampu mendudukkan. Namun situasinya tidak mudah,” katanya.
Perang ekonomi, menurut Sri Mulyani, membuat harga barang-barang dunia meroket. Bukan kebetulan barang-barang itu, seperti energi dan pangan, sangat sensitif terhadap gejolak sosial. Risikonya, gejolak sosial-politik akan banyak bermunculan di berbagai negara, terutama negara-negara demokratis. Dengan demikian, dinamikanya intensif dan kompleks sekali.
"Saya bisa katakan sangat rumit, sensitif, dan berbahaya. Indonesia harus benar-benar bekerja sangat serius untuk menjaga kepentingan domestik. Tapi karena Indonesia dalam mandat konstitusi diminta menjaga ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, jadi Indonesia punya tanggung-jawab besar sekali dalam suasana dunia yang makin rumit.
G20 menjadi platform paling konkret bagi Indonesia untuk mengambil tanggung-jawab tersebut. Di sisi lain, G20 adalah forum kerjsama ekonomi terbesar yang melibatkan 85 persen produk domestik bruto dunia di mana negara-negara adidaya yang terlibat konflik menjadi anggotanya. Artinya, G20 potensial men jadi solusi.
Tantangannya, G20 sempat dan masih dikhawatirkan tidak akan efektif mencetuskan inisatif yang solutif bagi tantangan dunia mutakhir menyusul fragmentasi yang muncul sebagai dampak dari perang Rusia-Ukraina. Namun ternyata, Pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 di Washington DC, 20 April, sebagai tolok ukur bagi rangkaian kegiatan G20 selanjutnya, menunjukkan dinamika yang membersitkan harapan meskipun fragmentasinya masih sangat keras.
"Di samping semua huru-hara dan berita-berita ini, semua negara, termasuk yang sedang perang, semua mendukung presidensi Indonesia dan semua mendukung agenda presidensi Indonesia. Dan itu sangat jelas," katanya.
Terus terang ini sangat intens. Butuh banyak waktu untuk berkomunikasi ke semua anggota G20. Saya bersama tim akan intensif berkomunikasi terus untuk melihat perkembangan dan fokus untuk mencapai agenda yang ingin kita capai.
Namun Sri Mulyani mengingatkan, bahwa tidak serta merta kegiatan G20 berikutnya bisa seperti itu. Sebab, ada variabel yang akan menentukan dinamika G20 ke depan. Jika perang berlanjut serta situasi dan dampaknya memburuk, tantangan G20 makin berat. Namun sebaliknya, jika perang berhenti dalam waktu dekat, maka G20 akan lebih mudah menjalankan agenda-agendanya.
"Saya tidak ingin jumawa. Terus terang ini sangat intens. Butuh banyak waktu untuk berkomunikasi ke semua anggota G20. Saya bersama tim akan intensif berkomunikasi terus untuk melihat perkembangan dan fokus untuk mencapai agenda yang ingin kita capai," kata Sri Mulyani.
Pakar hubungan internasional dari Universitas Chicago, John Joseph Mearsheimer pada sejumlah seminar berpendapat, tatanan dunia dibangun atas anarkisme. Inilah realitas dunia sampai hari ini. Tidak ada sistem hukum dan lembaga yang bisa efektif mengatur kelakuan negara-negara.
Hal paling rasional yang dilakukan oleh tiap-tiap negara untuk bertahan dan mengamankan kepentingan nasionalnya secara efektif adalah menjadi negara sekuat-kuatnya.
Jika tidak ada konflik antara kepentingan nasional dan nilai-nilai global, menurut Mearsheimer, maka semuanya akan berjalan beriringan. Namun jika ada konflik di antara keduanya, maka yang selalu didahulukan oleh negara adalah kepentingan nasional.
Dalam situasi demikian, Mearsheimer melanjutkan, hal paling rasional yang dilakukan oleh tiap-tiap negara untuk bertahan dan mengamankan kepentingan nasionalnya secara efektif adalah menjadi negara sekuat-kuatnya. Ini mencakup minimal aspek politik, ekonomi, dan militer.
Sementara itu, Sri Mulyani juga mengatakan bahwa invasi militer Rusia ke Ukraina dengan berbagai tindakan yang menyertainya telah memicu kenaikan hambatan rantai pasok global yang memicu lonjakan harga komoditas energi dan pangan. Seluruh menteri keuangan dalam forum G20 menyadari jika potensi tersebut tidak diantisipasi secara dini, maka akan menimbulkan krisis pangan dan energi terutama di negara-negara dengan kapasitas fiskal terbatas. Untuk itu, G20 menyiapkan rekomendasi untuk mengatasi dampak buruk gangguan perdagangan internasional yang menghambat aliran pasokan pangan dan energi di pasar global.
“Nanti akan ada beberapa tindak lanjut, seperti AS sudah mengundang beberapa delegasi untuk bicara soal ketahanan pangan. Sementara energi, nanti akan dikaitkan dengan sejumlah agenda G20 terkait pembiayaan berkelanjutan,” ujarnya.
Sri Mulyani memastikan kedua isu, baik soal pangan maupun energi, akan terakomodasi di sepanjang rangkaian pertemuan G20 di bawah Presidensi Indonesia. Khusus untuk isu ketahanan pangan, G20 akan fokus pada upaya-upaya untuk meningkatkan produksi bahan pangan dunia serta upaya untuk mengatasi lonjakan harga pupuk.
Adapun dalam sesi Pertemuan Kedua Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral (FMCBG) G20, para delegasi telah menyepakati pembentukan fasilitas pembiayaan untuk pencegahan, kesiapsiagaan, dan penanganan pandemi masa depan sebagai bagian dari penguatan arsitektur kesehatan internasional. Mekanisme ini disebut Financial Intermediary Fund (FIF).
“Teknis pelaksanaannya sedang dimatangkan dengan melibatkan organisasi dan lembaga dunia lainnya. Hal yang pasti, seluruh delegasi G20 telah sepakat adanya kesenjangan pembiayaan untuk mengantisipasi dampak pandemi perlu ditambal dengan FIF yang dananya dikelola oleh Bank Dunia,” ujar Sri Mulyani. (DIM/RAZ/FAJ/LAS)