Perundingan seperti ini ditunggu banyak pihak, terutama negara-negara importir gandum dunia, termasuk Indonesia dan negara di Afrika. Sejak invasi Rusia ke Ukraina, harga bahan pangan dunia melonjak.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·4 menit baca
ANKARA, RABU — Delegasi Rusia dan Ukraina, difasilitasi Pemerintah Turki dan Perserikatan Bangsa-Bangsa, berunding untuk membuka kemungkinan ekspor produk pertanian, terutama biji-bijian, Ukraina yang tengah dilanda perang. Sampai saat ini belum ada tanda-tanda perang akan berakhir. Situasi ini menghalangi ekspor 22 juta ton gandum milik petani Ukraina ke pasar global dan potensi 50 juta ton yang akan dipanen sepanjang tahun 2022.
Menteri Pertahanan Turki Hulusi Akar, dikutip dari kantor berita Anadolu, Selasa (12/7/2022), mengatakan, pertemuan melibatkan delegasi militer dari tiga negara dan PBB. Fokus yang ingin dicapai dalam pertemuan, kata Akar, adalah pengiriman produk pertanian Ukraina yang saat ini menumpuk di berbagai tempat penyimpanan dengan aman ke pasar internasional.
Perundingan seperti ini ditunggu banyak pihak, terutama negara-negara importir gandum dunia, termasuk Indonesia dan negara di Afrika. Akibat agresi Rusia ke Ukraina yang dimulai pada 24 Februari 2022, harga bahan pangan dunia melonjak dan menimbulkan potensi bencana kelaparan di negara-negara yang tengah berkonflik, terutama di Afrika.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres sejak awal mendorong dibukanya kemungkinan ekspor gandum Ukraina. Namun, ia memilih bersikap realistis terhadap kemungkinan terjadinya kesepakatan pada perundingan itu. ”Kami bekerja keras, tetapi masih ada jalan yang harus ditempuh,” kata Guterres.
Negosiasi menjadi rumit dengan meningkatnya kecurigaan bahwa Rusia sedang mencoba untuk mengekspor biji-bijian yang telah diambil dari petani Ukraina di daerah-daerah yang didudukinya selama invasi, sejak Februari hingga saat ini. Kecurigaan itu muncul setelah otoritas Turki menahan kapal logistik Zhibek Zholy milik Rusia yang diduga membawa gandum milik Ukraina, yang berangkat dari Pelabuhan Berdyansk.
Data Badan Penerbangan dan Antariksa AS (NASA) yang dirilis pekan lalu memperlihatkan 22 persen lahan pertanian Ukraina di bawah kendali militer Rusia.
PBB pernah mengusulkan agar kapal-kapal pengangkut gandum Ukraina membawa produk pertanian itu mengikuti koridor aman yang dibangun untuk menghindari jebakan ranjau laut di sekitar Laut Hitam. Namun, hal itu tidak mendapat respons cukup baik dari Kremlin maupun Kyiv. Tidak hanya itu, penghilangan ranjau di sekitar Laut Hitam adalah operasi pembersihan yang rumit dan membutuhkan waktu lama. Itu dinilai tidak cukup efektif untuk mengurangi tekanan pada harga pangan dunia yang terus melonjak.
Selain itu, Rusia mengajukan syarat agar militer bisa menggeledah setiap kapal yang hilir mudik dari dan ke pelabuhan-pelabuhan Ukraina. Alasannya, menutup peluang untuk penyelundupan persenjataan bagi Kyiv. Syarat itu ditolak Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy.
Sebelum invasi Rusia, Ukraina mengekspor 6 juta-7 juta ton produk biji-bijian ke pasar dunia. Biasanya, menurut data Asosiasi Biji-bijian Ukraina, 30 persen produk biji-bijian Ukraina dikirim ke Eropa, 30 persen ke Afrika utara, dan sekitar 40 persen ke Asia. Namun, berdasarkan data Juni lalu, ekspor merosot menjadi hanya 2,2 juta ton.
Jalur alternatif
Agar produk biji-bijian Ukraina tetap bisa dikirim ke pasar internasional, Kyiv terus mengupayakan jalur alternatif pengiriman melalui Sungai Danube yang terletak di barat daya Ukraina. Sebanyak 30 persen ekspor biji-bijian Ukraina dilakukan melalui jalur ini.
Wakil Menteri Infrastruktur Ukraina Yuriy Vaskov mengatakan, dalam empat hari terakhir, 16 kapal pengangkut telah melewati muara Sungai Bystre. ”Kami berupaya untuk mempertahankannya,” kata Vaskov.
Dalam pernyataan, kementerian mengungkapkan jumlah gandum yang dibawa 16 kapal itu tidak cukup untuk memenuhi kapal logistik yang tengah menunggu di kanal Sulina, Romania. Di sana telah menunggu setidaknya 90 kapal untuk mengangkut produk biji-bijian Ukraina.
Mykola Horbachov, Ketua Asosiasi Biji-bijian Ukraina, mengatakan, pihaknya tengah mencoba untuk mengirim gandum melalui 12 titik perbatasan lintas negara Eropa. Namun, hal itu tidak cukup efektif karena para sopir harus mengantre selama berhari-hari sebelum produk itu bisa diangkut truk-truk mereka.
Invasi Rusia juga menyebabkan biaya transportasi melambung. Biaya untuk mengirimkan jelai yang dipanen tahun ini ke pelabuhan terdekat Romania, Constanta, sekarang mencapai 160-180 dollar AS (Rp 2,3 juta-Rp 2,6 juta) per ton dari sebelumnya 40-45 dollar AS (Rp 599.000-Rp 674.000). Situasi itu merugikan petani karena mereka hanya mendapat kurang dari 100 dollar AS (Rp 1,5 juta) per ton jelai.
”Sebagian besar petani menghadapi risiko bangkrut dalam waktu dekat. Namun, mereka tidak punya pilihan lain selain menjual gandum mereka lebih murah daripada harganya,” kata Horbachov. (AFP/REUTERS)