Perbaikan Sistem Pertahanan Kolektif Dorong Anggota Berburu Perlengkapan Militer
Penguatan sistem pertahanan kolektif NATO dan persepsi risiko ancaman yang meningkat membuat sejumlah negara berancang-ancang membeli persenjataan untuk perkuatan pertahanannya. Turki dan Yunani memulainya.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·4 menit baca
MADRID, JUMAT – Rencana perkuatan sistem pertahanan NATO di sisi timur Eropa yang akan menjadi tembok tebal pemisah kekuatan negara-negara Barat dan Rusia telah memancing sejumlah negara untuk bersikap waspada. Yunani dan Turki, dua anggota NATO, berniat memperkuat pertahanan udaranya dengan membeli puluhan jet tempur Amerika Serikat, yaitu F-16 dan F-35.
Pemerintah Yunani telah mengirim surat permintaan atau LoR kepada Pemerintah Amerika Serikat untuk bisa membeli satu skuadron jet tempur siluman tercanggih, F-35. Akan tetapi, pemerintah Yunani juga berharap bisa memperoleh opsi pembelian satu skuadron pesawat yang sama usai paket pertama selesai.
Perdana Menteri Yunani Kyriakos Mitsotakis, disela-sela KTT NATO di Madrid, Kamis (30/6/2022), mengonfirmasi rencana tahap pertama pembelian satu skuadron jet tempur F-35 produksi Lockheed Martin itu. Dia menambahkan, rencana pembelian ini merupakan rencana pembelian jangka panjang. Bahkan, dia memerkirakan pesawat itu baru akan tiba di Yunani paling cepat pada tahun 2027.
"Ini adalah proses yang panjang dan saya mengatakan ini karena itu berarti kami memiliki ruang fiskal yang memungkinkan kami melakukan pembelian," kata Mitsotakis.
Mitsotakis sendiri telah beberapa kali membicarakan mengenai rencananya memperkuat sistem pertahanan udaranya. Jet tempur F-35 adalah salah satu peralatan tempur yang diincarnya.
Sebelumnya, Yunani pada tahun 2021 lalu, telah memesan 24 jet tempur Rafale buatan Perancis senilai 2,8 miliar dollar AS. Tidak hanya jet tempur Rafale yang mereka beli dari Perancis, tapi mereka juga membeli tiga kapal fregat untuk memperkuat Angkatan Lautnya. Bahkan, mereka juga berencana menambah satu kapal fregat lagi untuk melengkapi kebutuhan AL-nya.
Menurut stasiun televisi milik pemerintah, ERT, Kementerian Pertahanan Yunani juga berambisi untuk membeli jet tempur F-16. Jumlahnya tidak tanggung-tanggung, hampir dua skuadron atau sekitar 40 pesawat.
Mitsotakis tidak menjelaskan tujuan pembelian peralatan pertahanan udara, seperti F-35 dan F-16, itu dalam jumlah besar. Namun, dalam beberapa tahun terakhir mereka sering berkonflik dengan tetangga dan juga sesama anggota NATO, Turki, termasuk klaim teritorial di Laut Aegea dan hak eksplorasi energi di Laut Mediterania Timur.
Turki sendiri mendapat angin segar setelah keputusan Presiden Recep Tayyip Erdogan memberi lampu hijau keanggotaan Finlandia dan Swedia di NATO. Presiden AS Joe Biden menyatakan bahwa AS harus melanjutkan penjualan pesawat tempur F-16 kepada Turki.
“Kita harus menjual jet F-16 kepada mereka dan memodernisasi jet-jet itu juga,” kata Biden, seraya membantah bahwa persetujuannya itu adalah bagian dari “quid pro quo” atau imbal balik dari persetujuan Erdogan.
Biden mengatakan, dirinya memerlukan persetujuan kongres untuk bisa melanjutkan penjualan jet tempur itu ke Turki. Hal itu, katanya, bisa segera dilakukan.
Erdogan dan Turki, yang hubungannya seringkali tidak harmonis dengan sekutu-sekutunya di NATO, dengan sigap merespon “lampu hijau” dari Biden itu. Dia menyatakan akan segera mengirimkan delegasi ke AS secepat mungkin untuk meyakinkan anggota parlemen AS agar menyetujui rencana penjualan tersebut.
“Penting untuk mendapatkan dukungan dari Demokrat dan Republik. Terlepas dari semua ini, Tuan Biden yakin. Saya berharap kami akan mendapatkan hasil yang sesuai dengan persahabatan dan solidaritas kami,” kata Erdogan pada konferensi pers di Madrid.
Hubungan Turki dan negara-negara anggota NATO sempat memanas setelah turki, yang ikut dalam program pengembangan jet tempur NATO, memilih membeli sistem rudal antipesawat S-400 dari Rusia. AS, yang semula berencana menjual jet tempur teranyarnya, F-35, membatalkan secara sepihak setelah menilai bahwa pembelian itu mengancam keamanan program F-35.
Erdogan mengatakan, dalam politik, selalu terbuka kemungkinan terjadi sesuatu hal yang mengejutkan. "Dalam politik, kemarin adalah kemarin, hari ini adalah hari ini. Dalam politik, banyak yang bisa berubah dalam 24 jam. Ada hari-hari baik dan hari-hari buruk tetapi hubungan Turki-AS terus berlanjut," katanya.
Terrence Guay, profesor bidang bisnis internasional dan Direktur Pusat Studi Bisnis Global Universitas Penn State, Amerika Serikat, dikutip dari laman The Converstion, mengatakan, industri persenjataan AS dipastikan akan mendominasi industri persenjataan dan perlengkapan militer global pascaperang Ukraina setidaknya selama beberapa tahun ke depan.
“Sejumlah besar senjata yang dikirim dari AS ke Ukraina akan membuat para produsen senjata AS sibuk untuk beberapa waktu ke depan,” katanya.
Dia mencontohkan soal pasokan rudal anti-tank Javelin ke Ukraina. Saat ini, menurutnya, telah mengirimkan setidaknya sepertiga stok Javelinnya ke Ukraina. “Butuh tiga atau empat tahun bagi perusahaan patungan Raytheon-Lockheed Martin untuk memproduksi kembali Javelin dalam jumlah yang sama atau bahkan lebih banyak lagi,’ katanya. (AP/AFP/Reuters)