Rusia Jadi Ancaman Paling Signifikan, NATO Perkuat Diri di Sisi Timur Eropa
Para pemimpin NATO menyatakan, Rusia adalah ancaman paling signifikan dan langsung terhadap keamanan negara-negara anggota NATO serta perdamaian dan stabilitas kawasan Euro-Atlantik.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·4 menit baca
MADRID, RABU — Para pemimpin negara-negara anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) tengah melakukan perombakan besar pada sistem pertahanan kolektif mereka sejak berakhirnya Perang Dingin. Persepsi dan risiko ancaman terbaru, yang kini jangkauannya lebih luas, membutuhkan tanggapan segera dan tepat pada sasaran. Hal ini menjadi tantangan bagi sistem pertahanan kolektif NATO.
Persepsi risiko dan ancaman terbaru semakin mendesak untuk mendapat tanggapan negara-negara anggota NATO, terutama setelah Rusia melancarkan invasi ke Ukraina sejak akhir Februari. Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg di tengah penyelenggaraan KTT NATO di Madrid, Spanyol, Selasa (28/6/2022), mengatakan, NATO tengah berada di tengah situasi krisis keamanan paling serius yang dihadapi sejak Perang Dunia II.
Dalam pernyataan bersama, Rabu (29/6/2022), para pemimpin NATO menyatakan, Rusia adalah ancaman paling signifikan dan langsung terhadap keamanan negara-negara anggota NATO serta perdamaian dan stabilitas kawasan Euro-Atlantik.
Selain dihadapkan pada ancaman teror, keamanan siber, luar angkasa, hingga ancaman asimetris lainnya, NATO menyatakan bahwa mereka juga menghadapi persaingan sistemik, termasuk dari China. Persaingan sistemik yang dimunculkan oleh Beijing, menurut NATO, menantang keamanan, nilai-nilai ideologi negara sekutu, serta merusak tatanan internasional yang dilandasi aturan yang telah disepakati bersama.
”Untuk itu, kami mendukung Konsep Strategis baru yang akan menegaskan tujuan utama dan tanggung jawab NATO untuk memastikan sistem pertahanan kolektif kita berdasarkan pendekatan 360 derajat,” demikian pernyataan NATO. ”Ini berlanjut pada tiga tugas inti NATO, yaitu untuk pencegahan dan pertahanan, pencegahan dan manajemen krisis, serta keamanan kerja sama (keamanan dan pertahanan).”
Untuk itu, dalam KTT kali ini, negara-negara NATO diharapkan setuju meningkatkan kekuatan pasukan reaksi cepat hingga delapan kali lipat, dari semula hanya berjumlah sekitar 40.000 personel menjadi sekitar 320.000 personel pada tahun depan. Pasukan-pasukan itu akan bermarkas di negara asal mereka, tetapi bisa ditempatkan sewaktu-waktu di sisi timur wilayah NATO. Wilayah timur, yang menjadi perbatasan langsung negara-negara NATO dengan Rusia, akan jadi fokus pembangunan kekuatan dan perlengkapan militer NATO.
Amerika Serikat telah memastikan akan memperkuat kehadiran pasukannya di sejumlah wilayah di Eropa. Selain meningkatkan kehadiran armada kapal perusak Angkatan Laut AS di Rota, Spanyol, AS juga akan menambah kehadiran dua skuadron F-35 di Inggris, pasukan darat di Romania, serta unit pertahanan udara ke Jerman dan Italia. Tidak ketinggalan, di kawasan Baltik, AS akan menyebarkan aset keamanan dan pertahanan di kawasan tersebut.
”NATO akan diperkuat ke segala arah dan di setiap domain: darat, laut, dan udara. Bersama dengan sekutu, kami akan memastikan bahwa NATO siap menghadapi ancaman dari segala arah di setiap domain,” kata Presiden AS Joe Biden.
Isu Swedia-Finlandia
Sementara itu, Swedia dan Finlandia memperoleh ”restu” Turki untuk bergabung dengan NATO seusai memastikan kedua negara itu sepakat memperbarui perjanjian ekstradisinya. Situasi ini dianggap sebagai kemenangan besar bagi Turki, khususnya bagi Presiden Recep Tayyip Erdogan.
Sebaliknya, bagi sebagian politisi Swedia dan Finlandia, ini adalah sebuah kekalahan dan penaklukan. Ketiga negara, yakni Turki, Swedia, dan Finlandia, menandatangani nota kesepahaman (MOU) bersama. Turki sepakat untuk tidak menentang rencana masuknya kedua negara itu sebagai anggota NATO. Imbalannya, Swedia-Finlandia berjanji untuk tidak mendukung kelompok militan Kurdi (PKK dan YPG) serta jaringan ulama yang berbasis di AS, Fethullah Gulen.
Pemerintah Turki juga dikabarkan telah mengirimkan berkas orang-orang yang dianggap menentang pemerintahan Erdogan ke Swedia dan Finlandia. “Berkas enam anggota PKK, enam anggota FETO telah menunggu di Finlandia. Sementara berkas 10 anggota FETO dan 11 anggota PKK juga sudah menunggu di Swedia. Kami akan mengingatkan mereka lagi setelah ini,” kata Menteri Kehakiman Turki Bekir Bozdag, dikutip dari kantor berita Anadolu.
Akan tetapi, Presiden Finlandia Sauli Niisto di Madrid menyatakan, mereka belum mengajukan klaim apa pun. Sehari sebelumnya, Niisto mengatakan, nota kesepahaman (MoU) yang ditandatangani tidak mencantumkan individu untuk diekstradisi. Finlandia, katanya, menghormati aturan Eropa soal ekstradisi seperti yang dituntut Turki.
”Kami sebenarnya tidak memiliki permintaan ekstradisi yang belum diselesaikan saat ini. Kami telah memproses 14 dari 16 (permintaan oleh Turki) dan dua keputusan telah diblokir oleh fakta bahwa target belum ditemukan,” kata Niinisto kepada wartawan.
Sementara Perdana Menteri Swedia Magdalena Andersson mengatakan bahwa Swedia akan terus mengikuti hukum lokal dan internasional dalam ekstradisinya. ”Itu tergantung pada informasi apa yang kami dapatkan dari Turki di daerah ini,” katanya kepada kantor berita Reuters.
Amineh Kakabaveh, seorang anggota parlemen independen Swedia dan mantan pejuang Kurdi yang berulang kali diandalkan oleh pemerintahan Sosial Demokrat untuk bertahan dalam pemungutan suara parlemen, mengatakan bahwa pernyataan PM Andersson itu menandai hari hitam bagi kebijakan luar negeri Swedia.
”Ini juga memberi banyak tekanan pada orang-orang yang mencari suaka dan perlindungan di negara ini, tetapi sekarang tidak lagi merasa aman karena Swedia menjual hak-hak dasar mereka,” kata Kakabaveh.
Pemimpin Partai Kiri Nooshi Dadgostar, di Twitter, memperingatkan Pemerintah Swedia tentang bahaya menempatkan kebijakan luar negeri Swedia di bawah Erdogan. ”Apakah kita akan mempersenjatai Turki dalam perang serangannya di Suriah? Pembangkang mana yang akan diekstradisi?” katanya. (AP/AFP/REUTERS)