Keputusan SEC Filipina untuk menutup Rappler, media yang salah satunya didirikan oleh peraih Nobel Perdamaian Maria Ressa, mendapat kritikan banyak pihak. Kebebasan pers di FIlipina semakin terancam.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·4 menit baca
MANILA, RABU – Harapan untuk adanya perubahan dalam kebijakan pemerintah terhadap media di Filipina, masih sangat suram. Komite Sekuritas dan Bursa Filipina, Selasa (28/6/2022), menegaskan pencabutan lisensi Rappler, media yang didirikan dan dikelola oleh pemenang Nobel Perdamaian Maria Ressa, karena melanggar larangan kepemilikan asing.
Manajemen Rappler menolak keputusan itu dan akan mencoba melakukan upaya hukum melawan penutupan, yang dilakukan sehari sebelum Presiden Rodrigo Duterte lengser dari kursi kekuasaannya.
Ressa, yang tengah berada di Hawaii, Amerika Serikat, Rabu (29/6/2022) mengatakan, Rappler akan terus membela hak-haknya. Redaksi Rappler juga akan tetap menjalankan kerja jurnalistiknya. “Ini adalah intimidasi. Ini adalah taktik politik. Kami menolak untuk menyerah pada mereka,” kata Ressa.
Keputusan yang dikeluarkan SEC Filipina, menurut pernyataan lembaga tersebut, Rabu, mengonfirmasi pencabutan akta pendirian Rappler karana dinilai melanggar konstitusi Filipina dan Undang-undang tentang Kepemilikan Asing di Media Massa. Tindakan ini mengonfirmasi tindakan yang dilakukan tahun 2018 yang membatalkan kredensial Rappler karena perusahaan dikendalikan oleh entitas asing.
Manajemen Rappler sendiri menentang keputusan itu dan menyangkal bahwa suntikan dana dari investor asal Amerika Serikat melanggar hukum Filipina. Suntikan dana yang dimaksud berasal dari Kelompok Omiydar, sebuah perusahaan investasi filantropi yang didirikan oleh Pierre Omiydar, salah satu pendiri eBay.
Meski mendapatkan suntikan dana dari kelompok ini, manajemen Rappler menolak tuduhan bahwa kendali pemberitaan berada di tangan non-redaksi. Tiga tahun kemudian, Omiydar menyerahkan seluruh investasinya kepada karyawan Rappler untuk membuktikan bahwa perusahaan tidak memiliki kendali terhadap ruang redaksi.
Kuasa hukum Rappler Francis Lim, dikutip dari laman Rappler mengatakan, kemungkinan terburuk adalah SEC bisa mengeksekusi putusannya untuk menutup Rappler. “Ada kemungkinan SEC bisa mengeksekusi putusannya. Akan tetapi berdasarkan pemahaman kami, SEC tidak bisa melakukannya selama masih ada upaya hukum lain,” kata Lim.
Glenda Gloria, editor eksekutif dan juga salah satu pendiri Rappler mengatakan, staf dan seluruh karyawan telah mendiskusikan berbagai kemungkinan dan skenario terburuk ketika keputusan SEC pertama kali keluar tahun 2018. “Tidak ada yang pernah cukup mempersiapkan organisisasi untuk sebuah perintah “pembunuhan” (penutupan),” kata Gloria.
Kebebasan Pers
Keputusan SEC itu sendiri diyakini tidak berdiri sendiri, akan tetapi memiliki motif politik yang lebih besar, terutama karena Ressa dan Rappler menjadi media yang cukup lugas dalam mengritik kebijakan pemerintahan Duterte. Kebijakan perang melawan narkoba yang dilancarkan Duterte sejak berkuasa dinilai banyak pihak sebagai kebijakan yang bertentangan dengan hukum, terutama karena diduga aparat keamanan dan polisi melakuka pembunuhan di luar hukum (extra judicial killing).
Duterte menolak bahwa keputusan SEC adalah bagian dari upaya pembungkaman terhadap media dan kebebasan pers, melainkan prosedur peradilan normal yang timbul karena dugaan adanya pelanggaran hukum oleh manajemen Rappler. Meski begitu, dia juga mengeluarkan yang menyebut bahwa Rappler adalah outlet berita-berita palsu.
Duterte secara terbuka mengecam kerja para jurnalis di Filipina karena bersikap kritis terhadap dirinya dan cara dia mengelola negara. Stasiun televisi ABS-CBN adalah salah satu korban lain, yang terpaksa ditutup karena parlemen menolak memperbarui lisensi siarannya.
Ressa sendiri telah divonis bersalah atas dugaan pencemaran nama baik tahun 2020 dan divonis enam tahun penjara. Tapi, dia bisa bebas dengan jaminan karena saat ini kasusnya masih dalam tahap banding.
Dukungan terhadap Ressa dan Rappler terus mengalir sejak kasus ini mencuat. Persatuan Nasional Jurnalis Filipina dalam pernyataannya, Rabu (29/6/2022) menyatakan, keputusan SEC untuk mengeksekusi putusan tahun 2018 dilakukan hampir bersamaan waktunya dengan putusan Komisi Telekomunikasi Nasional untuk memblokir situs media alternatif Bulatlat dan Pinoy Weekly. Menurut NUJP, pemerintahan Duterte menggunakan instrumen peraturan pemerintah yang karet untuk membungkam media dan kebebasan pers.
“Kita harus berdiri bersama melawan semua percobaan dan upaya untuk membungkam media,” demikian pernyataan NUJP.
Organisasi jurnalis internasional, ICFJ, mendesak pemerintah Filipina untuk membatalkan keputusan SEC menutup Rappler. “Tindakan ini memberi peluang kekerasan daring terus berlanjut tanpa henti yang dirancang untuk membungkam upaya jurnalis melaporkan secara independen,” tulis ICFJ dalam akun Twitter resminya.
Sementara, Komite untuk Perlindungan Jurnalis Jodie Ginsberg, dalam surat terbuka kepada pemimpin baru Filipina, Ferdinand Marcos Jr, mendesaknya untuk menghentikan tindakan dan kebijakan pemerintahan Duterte yang banyak mengkriminalisasi dan membungkam jurnalis serta media. Ginsberg mengatakan, untuk memberikan ruang kebebasan pers dan kebebasan berpendapat yang lebih luas bagi rakyat dan media di Filipina, Marcos Jr didesak untuk menghentikan kriminalisasi terhadap Maria Ressa dan Rappler.
Pertama-tama, pemerintahan Anda harus mengakhiri penganiayaan tanpa henti terhadap jurnalis dan peraih Nobel Perdamaian Maria Ressa, suar global kebebasan pers. CPJ meminta pemerintah Anda untuk segera membatalkan semua tuduhan terhadap Ressa, rekan-rekannya, dan grup media Rappler,” tulis Ginsberg. (AFP)