Vonis bagi Maria Ressa, Ancaman bagi Kebebasan Pers di Filipina
Vonis pengadilan di Filipina terhadap wartawan senior Maria Ressa atas laporan berita di laman Rappler, yang dikelolanya, dinilai merupakan pukulan bagi demokrasi di Filipina.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
MANILA, SENIN — Para penggiat hak asasi manusia menyalakan alarm adanya ancaman bagi kebebasan pers dan demokrasi di Filipina. Alarm itu dikeluarkan menyusul vonis bersalah terhadap wartawan senior dan Direktur Eksekutif Rappler Maria Ressa (56) terkait artikel berita yang ditayangkan beberapa tahun lalu. Ressa terancam hukuman enam tahun penjara.
”Kami akan melawan semua jenis serangan terhadap kebebasan pers,” kata Ressa kepada wartawan seusai pembacaan vonis terhadap dirinya di Manila, Senin (15/6/2020).
”Saya sudah menjadi wartawan sejak 1986 dan bekerja di banyak negara. Saya pernah ditembak dan sering diancam, tetapi belum pernah separah ini,” tutur Ressa, yang pernah dinobatkan sebagai Person of the Year tahun 2018 oleh majalah Time itu.
Vonis bersalah juga diputuskan bagi Reynaldo Santos, mantan periset dan penulis di Rappler. Keputusan pengadilan di Filipina dalam kasus tersebut mencuatkan keprihatinan atas perkembangan hak asasi manusia di negara tersebut. Presiden Filipina Rodrigo Duterte menjadi sorotan publik internasional atas tindakannya melancarkan perang narkoba, yang menyebabkan ribuan orang tewas dalam operasi tersebut.
Meski menuai kecaman keras, termasuk dalam laporan PBB, Duterte belum lama ini melontarkan kembali ancaman untuk membunuh para bandar narkoba. Ia diperkirakan akan segera menandatangani undang-undang antiterorisme yang, dia sebut, dibutuhkan untuk memerangi ekstremisme. Para lawan politik khawatir undang-undang itu akan dijadikan alat untuk menarget mereka.
Ancaman bagi kebebasan pers di Filipina makin mengemuka dan mengejutkan banyak kalangan setelah lembaga penyiaran terkemuka, ABS-CBN Corp, terpaksa menghentikan siaran bulan lalu setelah masa berlaku izin operasionalnya habis. Sebelum itu, Duterte selama bertahun-tahun kerap mengancam untuk menutup lembaga penyiaran tersebut.
Rappler ataupun ABS-CBN sama-sama melaporkan secara luas dan kritis operasi perang Duterte melawan narkoba. Pengacara hak asasi manusia (HAM), Amal Clooney, anggota tim penasihat hukum Ressa, menyebut keputusan pengadilan itu ”penghinaan atas aturan hukum, peringatan keras bagi dunia pers, dan pukulan terhadap demokrasi di Filipina”.
”Saya berharap (putusan) ini bisa diperbaiki dalam pengadilan banding. Amerika Serikat pasti akan melindungi warganya dan nilai-nilai konstitusi,” kata Clooney dalam pernyataan tertulis, Senin.
Dalam putusannya, pengadilan di Manila memvonis Ressa karena terbukti bersalah dalam kasus pencemaran nama baik di dunia maya atas artikel terbitan situs berita Rappler, 29 Mei 2012. Artikel ini menghubungkan pengusaha Wilfredo Keng dengan kegiatan ilegal. Dalam laporan itu disebutkan, Keng terkait dengan pembunuhan, penanganan narkoba, perdagangan manusia, dan penyelundupan. Tulisan itu mengutip informasi laporan intelijen.
Dalam pengaduannya, Keng mengatakan, kisah Rappler itu termasuk ”tuduhan kejahatan, kejahatan, dan cacat yang dilakukan dengan buruk”. Kasus pencemaran nama baik siber adalah di antara banyak tuntutan hukum yang diajukan terhadap Ressa dan Rappler.
Izin operasi Rappler dibatalkan pada 2018 atas dugaan pelanggaran kepemilikan asing. Rappler juga berurusan dengan kasus dugaan penggelapan pajak. Proses atas kedua kasus itu sedang berlangsung.
Kebebasan pers mati
Organisasi pers di Filipina menyesalkan putusan terhadap Ressa. Putusan itu dinilai telah menjadi tanda matinya kebebasan pers di negara itu. ”Ini adalah hari yang gelap, bukan hanya untuk media independen Filipina, melainkan juga untuk semua warga Filipina. Vonis pada dasarnya membunuh kebebasan berbicara dan pers,” tulis Persatuan Wartawan Nasional Filipina dalam pernyataan yang diunggah di media sosial.
Kelompok-kelompok penggiat HAM dan media mengecam vonis terhadap Ressa yang berkewarganegaraan AS dan Filipina itu. Amnesty International menilai vonis itu dibuat atas dasar kasus yang dibuat-buat sehingga vonis harus dicabut.
”Dengan kejadian ini, catatan HAM Filipina bertambah buruk,” kata Nicholas Bequelin, Direktur Regional Asia Pasifik Amnesty International.
Posisi Filipina pada tahun ini turun dua peringkat dalam Indeks Kebebasan Pers Dunia dari posisi 134 menjadi 136 dari 180 negara. Ressa yang pernah bekerja di stasiun televisi CNN itu mulai diselidiki setelah situs beritanya, Rappler, menyelidiki dan memuat serangkaian liputan terkait kebijakan-kebijakan Presiden Rodrigo Duterte, termasuk perang melawan narkoba yang telah menewaskan ribuan orang.
Posisi Filipina pada tahun ini turun dua peringkat dalam Indeks Kebebasan Pers Dunia dari posisi 134 menjadi 136 dari 180 negara.
Pemerintahan Duterte menegaskan kasus itu tidak bermotif politik, tetapi semata-mata penegakan hukum. Juru bicara kepresidenan Harry Roque menegaskan, Duterte mendukung kebebasan berbicara dan berpendapat.
Duterte ditegaskan tidak pernah mengajukan kasus pencemaran nama baik terhadap wartawan. Aturan hukum terkait ”pencemaran nama baik di dunia maya” pun merupakan ide pemerintahan sebelumnya, bukan pemerintahan Duterte.
Namun, menurut kelompok penggiat HAM dan media, hal itu merupakan upaya pemerintah melucuti izin Rappler karena sering mengkritisi pemerintahan Duterte. Dua tahun lalu, Duterte pernah mengecam Rappler sebagai ”saluran berita palsu dan bohong” serta melarang Ressa dan rekan-rekannya datang ke acara-acara Duterte.
Human Rights Watch khawatir kasus ini akan terjadi bukan hanya di Filipina, melainkan juga di negara-negara lain yang selama ini dianggap mendukung kebebasan media. ”Vonis kepada Maria Ressa menunjukkan kemampuan pemimpin Filipina memanipulasi hukum untuk menindak suara-suara media yang kritis dan dapat dipercaya,” kata Phil Robertson dari Human Rights Watch.