RI Dorong Semangat Inklusivitas untuk Antisipasi Pandemi Berikutnya
Indonesia mengajak negara anggota G20 mengedepankan semangat inklusivitas untuk mengantisipasi pandemi di masa depan. Salah satu yang dibahas pembentukan Dana Perantara Keuangan dalam menghadapi pandemi di masa depan.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·4 menit baca
SLEMAN, KOMPAS — Indonesia mengajak negara-negara anggota G20 mengedepankan semangat inklusivitas untuk menyiapkan langkah-langkah guna mengantisipasi pandemi di masa mendatang. Semangat inklusivitas itu bisa diwujudkan melalui kerja sama antara negara maju dan berkembang serta institusi kesehatan dan keuangan.
”Yang paling penting adalah inklusivitas karena pandemi tidak mendiskriminasikan negara dan kawasan mana pun,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam pembukaan Pertemuan Gabungan Menteri Keuangan dan Kesehatan G20, Selasa (21/6/2022) malam, di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Pertemuan Gabungan Menteri Keuangan dan Kesehatan G20 dihadiri perwakilan negara-negara anggota G20 serta lembaga internasional. Selain Sri Mulyani, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin juga hadir. Sehari sebelumnya, Budi memimpin Pertemuan Menteri Kesehatan G20 yang juga digelar di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sri Mulyani memaparkan, pandemi Covid-19 telah menghadirkan tantangan terbesar dalam bidang kesehatan, ekonomi, dan sosial pada abad ini. Saat ini, kasus Covid-19 secara global memang cenderung menurun. Namun, sejumlah kawasan seperti Asia Tenggara, termasuk Indonesia, justru sedang kembali mengalami kenaikan kasus. ”Jadi, jelas pandemi belum selesai,” ujarnya.
Selain Covid-19, ada beberapa wabah penyakit lain yang baru-baru ini merebak di sejumlah negara. Kondisi ini menunjukkan pentingnya upaya bersama untuk menyiapkan diri menghadapi pandemi pada masa depan.
Apalagi, sejumlah pakar memprediksi pandemi Covid-19 bukanlah pandemi terakhir yang akan dihadapi dunia. ”Kita semua tahu pasti, ini (Covid-19) bukanlah pandemi terakhir,” ungkap Sri Mulyani.
Oleh karena itu, negara-negara anggota G20 harus melakukan langkah konkret secara bersama-sama dalam hal pencegahan, kesiapsiagaan, dan penanggulangan pandemi. Agar langkah antisipasi itu bisa efektif, Sri Mulyani menyebut, dibutuhkan semangat inklusivitas dengan melibatkan kerja sama antara negara maju dan berkembang.
Selain itu, kerja sama antara lembaga keuangan dan kesehatan juga sangat dibutuhkan. ”Upaya kita adalah menggabungkan menteri keuangan dan menteri kesehatan dan juga perlu menyertakan negara maju dan berkembang. Hanya dengan itu, kita bisa secara efektif untuk bersiap mengatasi pandemi global berikutnya,” papar Sri Mulyani.
Dalam kesempatan itu, Sri Mulyani juga mengapresiasi peran sentral Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam penanganan pandemi. WHO dinilai telah menyertakan aspirasi dari negara-negara berkembang dalam pengaturan kelembagaan untuk menciptakan sistem pencegahan dan kesiapsiagaan pandemi yang efektif.
Pembentukan FIF
Salah satu agenda yang dibahas dalam Pertemuan Gabungan Menteri Keuangan dan Kesehatan G20 serta Pertemuan Menteri Kesehatan G20 adalah pembentukan Financial Intermediary Fund (FIF) atau Dana Perantara Keuangan. FIF dibentuk untuk pencegahan, kesiapsiagaan, dan penanggulangan pandemi.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, sudah ada sejumlah negara dan satu lembaga internasional yang berkomitmen mengucurkan dana dengan nilai total sekitar 1,1 miliar dollar AS untuk FIF. Salah satu negara yang telah memberikan komitmen itu adalah Indonesia.
Indonesia telah berkomitmen untuk berkontribusi 50 juta dollar AS untuk FIF, Singapura berkomitmen sebesar 10 juta dollar AS, Amerika Serikat 450 juta dollar AS, Uni Eropa 450 juta dollar AS, Jerman 52,7 juta dollar AS, dan lembaga Wellcome Trust 12,3 juta dollar AS.
FIF akan berada di bawah Bank Dunia. Namun, hingga sekarang, pembentukannya masih dalam proses finalisasi. ”Itu sedang dalam proses di Bank Dunia. Dokumen pembentukan FIF sudah diserahkan,” ujarnya dalam konferensi pers setelah Pertemuan Gabungan Menteri Keuangan dan Kesehatan G20.
Sri Mulyani menyebut, selain negara-negara yang sudah menyebutkan komitmen besaran dana untuk FIF, ada pula beberapa menteri dari negara lain yang juga menyampaikan komitmen untuk mendukung FIF.
”Beberapa menteri lainnya menyatakan komitmen untuk berkontribusi (terhadap FIF), tapi mereka akan membutuhkan beberapa proses. Mereka juga menyebut beberapa elemen yang perlu ditangani,” ujarnya.
Budi Gunadi Sadikin mengatakan, selain pembentukan FIF, Pertemuan Gabungan Menteri Keuangan dan Kesehatan G20 juga membahas tentang mekanisme penggunaan dana yang terkumpul dalam FIF. Hal itu penting karena uang saja tidak cukup untuk mengatasi masalah yang muncul saat terjadinya krisis kesehatan.
Selain uang, dibutuhkan juga akses terhadap vaksin, obat-obatan, dan peralatan yang dibutuhkan saat krisis kesehatan terjadi. ”Uang hanya separuh solusi untuk krisis kesehatan. Kita harus bisa menggunakan uang itu untuk mengakses vaksin, obat-obatan, dan peralatan,” tutur Budi.
Dalam kesempatan sebelumnya, Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus juga menyebut pentingnya pembentukan FIF. Tedros menyebut, WHO dan Bank Dunia memperkirakan, dibutuhkan sekitar 31 miliar dollar AS atau sekitar Rp 451 triliun per tahun untuk memperkuat keamanan kesehatan global.
”Dua pertiga dari kebutuhan itu bisa dipenuhi dari sumber daya yang ada, tetapi masih ada kekurangan 10 miliar dollar AS per tahun,” ungkap Tedros.
Oleh karena itu, pembentukan FIF diharapkan bisa memenuhi kekurangan itu. Tedros menambahkan, WHO dan Bank Dunia sedang bekerja sama untuk menentukan bagaimana bentuk FIF. Selain itu, WHO juga mendengarkan masukan-masukan dari negara-negara G20 dalam prosesnya.