Awas! Serangan Balik Trump
Pemilihan umum Presiden AS masih dua tahun lagi, tetapi aromanya mulai kental terasa saat ini. Trump yang masih punya keinginan maju lagi sedang diserang habis-habisan oleh kompetitornya.
Presiden ke-45 Amerika Serikat Donald Trump memang dikenal kontroversial. Sosok pebisnis yang bertransformasi menjadi politisi itu dikecam banyak orang, tak hanya di negara sendiri, tetapi juga di belahan bumi lain. Upaya untuk menjauhkan Trump dari kursi kepresidenan 2024 nanti kian nyata setelah dia semakin tersudut sebagai dalang kerusuhan di Gedung Capitol pada 6 Januari 2021.
Trump ”dihabisi” di sidang dengar pendapat yang digelar tim panel penyelidikan DPR AS. Sidang memperlihatkan testimoni yang semakin menguatkan tuduhan bahwa Trump mengerahkan pendukungnya untuk kudeta kemenangan lawannya, Joe Biden.
Sidang sudah digelar dua kali dan masih menyisakan empat kali lagi. Sidang pertama digelar pada Kamis (9/6/2022) dan kedua pada Senin (13/6/2022). Isi persidangan kurang lebih sama, yakni mendengarkan video testimoni dari pendukung, tim sukses, dan orang-orang di sekitar Trump. Para perusuh pun ikut bersaksi, seperti kelompok perusuh Proud Boys dan Oath Keepers.
Dalam video itu, mereka mengatakan hal yang sama: Trump memberikan perintah dan menyerukan penolakan hasil pemilu yang tidak adil dan penuh kecurangan. Byung J Pak, pengacara kubu Trump saat itu, mempertanyakan hasil pemilihan di Negara Bagian Georgia. Namun, ia mengatakan tidak menemukan bukti penipuan di negara bagian itu.
Saat itu, lanjut Byung, terdapat isu koper hitam mencurigakan yang diduga berisi surat suara palsu. ”Dugaan koper hitam yang ditarik dari bawah meja itu hanyalah sebuah kotak kunci,” ujarnya.
Trump tak acuh terhadap pendapat tim suksesnya sendiri. Ia kukuh meminta para pendukungnya membatalkan hasil pemilu di Gedung Capitol.
Bentrok pun tidak terhindarkan. Para pendukung Trump menerobos perintang dan aparat penjaga. Tak hanya itu, fasilitas negara hingga karya seni sejarah AS juga dirusak. Empat orang tewas dan 52 orang ditangkap dalam kerusuhan tersebut.
Trump kemudian mengecam penyelidikan Kongres tersebut dan menyebutnya sebagai sebuah ejekan untuk keadilan. ”Pengadilan berharap mengalihkan perhatian rakyat Amerika dari rasa sakit yang mereka alami,” ujarnya.
Baca juga: Nama Trump Kian Tersudut sebagai Dalang Kerusuhan di Capitol
Trump tidak terima kejadian di Gedung Capitol dianggap sebagai kudeta. ”Yang benar, orang Amerika muncul di Washington dalam jumlah besar untuk meminta pertanggungjawaban pejabat terpilih atas indikasi kecurangan pemilu,” jelas Trump.
Trump diserang habis-habisan. Pada Senin petang waktu setempat atau Selasa (14/6/2022) dini hari WIB, Gedung Putih menyebut, selama kepemimpinannya, Presiden Trump mengenakan tarif hingga 25 persen pada barang-barang dari China dengan nilai ratusan miliar dollar AS, termasuk banyak barang konsumen mulai dari sepeda hingga perangkat bluetooth dan pakaian jadi.
”Kami sedang mendiskusikan ini dan bekerja untuk menyelaraskan tarif serampangan dan tidak bertanggung jawab ini. Prioritas kami untuk melindungi kepentingan pekerja dan industri penting kami,” kata Sekretaris Pers Gedung Putih Karine Jean-Pierre.
Menuju 2024
Serangan demi serangan agar Trump jatuh kian gencar, tetapi apakah berhasil? Belum tentu. Sama seperti ketika pemilihan presiden tahun 2016, kandidat presiden dari Partai Demokrat, Hillary Clinton, menuduh Trump rasis hingga melakukan kekerasan seksual. Namun, tuduhan semacam itu justru membuat Trump kian populer.
Trump berhasil mendominasi berita utama politik meski sudah satu setengah tahun meninggalkan Gedung Putih. Menurut jajak pendapat yang dilakukan NBC News selama persidangan dengar pendapat, sebanyak 55 persen orang Amerika percaya bahwa Trump tidak atau hanya sebagian bertanggung jawab atas para perusuh yang mengambil alih Gedung Capitol. Angka itu naik dari 47 persen pada Januari 2021. NBC News bahkan menyebut Trump lebih populer di kalangan Partai Republik ketimbang Biden di Partai Demokrat.
Momen seperti ini yang ditunggu-tunggu Trump. Ia tetap menjadi perbincangan politik di seluruh media di dalam dan luar negeri, bahkan setelah semua jaringan media sosialnya dibatasi atau diblokir.
Trump menyiapkan diri dan mesin politiknya untuk pemilihan presiden 2024. Trump menyatakan dukungan terhadap lebih dari 190 kandidat dalam pemilihan paruh waktu Partai Republik di 50 negara bagian. Ia memasang ”orang-orangnya” untuk pemilihan pendahuluan sebagai persiapan menuju 2024.
Di Pennsylvania, misalnya, Trump mendukung Mehmet Oz yang sudah sah mewakili Partai Republik setelah David McCormick menyerah. Oz akan berhadapan John Fetterman dari Partai Demokrat dalam pemilihan umum pendahuluan pada 8 November.
Lalu Trump mendukung Danau Kari di Negara Bagian Arizona. Di Nebraska, Trump mendukung Charles Herbster yang segera mendapat kritik keras terkait praktik bisnisnya dari gubernur yang berasal dari Partai Republik. Di Massachusetts, Trump mendukung Geoff Diehl.
Baca juga: Politik AS Menghambat Perdamaian Ukraina
Wilayah-wilayah itu sebagian merupakan wilayah abu-abu tempat Trump memenangi pemilu presiden AS pada 2016. Saat itu Trump yang tidak mempunyai pengalaman birokrasi dan berangkat dari calon yang tidak diunggulkan di Partai Republik bisa merebut 306 suara dewan pemilihan (electoral college). Ini pencapaian di luar dugaan dan jauh mengungguli Hillary yang hanya mendapat 232 suara.
Trump menang karena pernyataan-pernyataannya yang pedas, terminologi yang populis dan rasial, serta faktor-faktor lain yang memecah AS. Walakin, kondisi itu tidak berubah sampai sekarang. Lontaran Trump di media masih tetap pedas.
Demokrat atau Biden yang mungkin bakal maju pada 2024 pasti waspada. Banyak pihak menilai Biden bahkan tak lebih dari Trump. Kebijakannya sejauh ini untuk keamanan luar negeri adalah membentuk aliansi militer Quad bersama Jepang, India, dan Australia. AS bersama Inggris dan Australia juga membentuk AUKUS. Kedua lembaga itu dibentuk atas respons Biden terhadap ancaman keamanan. Berbeda dengan Trump yang memilih keluar dari sejumlah forum kerja sama multilateral. Ia juga langsung memberikan sanksi pada Iran atas program nuklirnya.
Belum lagi soal perang Ukraina-Rusia. Kebijakan AS yang menggelontorkan bantuan persenjataan kepada Ukraina berpotensi membuat perang makin panjang. AS dan sekutunya menjatuhkan sanksi bertubi-tubi kepada Rusia, tetapi seakan tak membuahkan hasil.
Baca juga: Trump Biden dan Iran
Penghibur
Trump masih terus diingat berkat kejadian pada 23 April 2007. Saat itu Trump dikenal sebagai pebisnis dunia hiburan. Seorang miliuner. Tiba-tiba ia muncul dalam sebuah adegan di acara gulat profesional World Wrestling Entertainment (WWE).
Pada duel malam itu, Bobby Lashley bertanding melawan Umaga. Trump mendukung Lashley, sedangkan Vince McMahon, pemilik WWE, mendukung Umaga. Keduanya saling bertaruh, pemenangnya akan mencukur rambut yang kalah sampai botak.
Trump merasa dicurangi karena anak McMahon menjadi wasit, tetapi ia tak kalah akal. Ia membayar Steve Austin yang dikenal dengan nama panggung Stone Cold untuk memukuli anak McMahon dan merebut posisi wasit saat Lashley tersudut hampir kalah. Bahkan, sebelum Lashley menang Trump sempat membanting McMahon dan memukulnya bertubi-tubi di lantai. Lashley dan Trump menang, McMahon menjadi botak.
Semua adegan itu direkayasa oleh Trump dan McMahon yang bersahabat lama. Keduanya ingin menggambarkan Lashley sebagai AS dan Umaga sebagai negara lain. Sama seperti yang mereka lakukan tahun 1980-an yang menjadikan Hulk Hogan, pegulat profesional, sebagai pahlawan AS. Hogan melawan Nikolai Volkoff yang saat bertanding membawa bendera Uni Soviet, juga The Iron Sheik yang membawa bendera Iran. Hogan memenangi sabuk gulatnya dan menyanyikan lagu The Real American. Semua itu rekayasa, bahkan Nikolai Volkoff bukan berasal dari Rusia melainkan Kroasia.
Trump memang dibenci banyak orang, tetapi ia selalu memiliki pendukung yang berpikir dia adalah The Real American seperti Hulk Hogan atau Lashley. Meski diserang bertubi-tubi, Trump selalu punya skenario. Trump yang tidak memulai karier politiknya dari birokrasi hanya punya satu tujuan kali ini: menang. Semua itu tergantung rakyat Amerika. (REUTERS)