Trump, Biden, dan Iran
Pencopotan kamera pengawas program pengayaan nuklir Iran menjadi drama terbaru yang membuat situasi di kawasan semakin panas. Harus dicari cara lain untuk menyelesaikan permasalahan Iran dengan bermartabat.
Keputusan Pemerintah Iran untuk mencopot puluhan kamera
online encrichment monitor
(OLEM), yang berfungsi mengawasi secara langsung program pengayaan nuklir di sejumlah lokasi di Iran, semakin meningkatkan ketegangan antara Iran dan Amerika Serikat. Tindakan Iran juga memicu ketegangan baru di Timur Tengah.
Pencopotan kamera dilakukan tidak lama setelah Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) menegur Iran karena tidak bisa menjelaskan perihal temuan jejak uranium di tiga lokasi pengayaan yang dirahasiakan. Teguran itu disampaikan IAEA melalui resolusi yang diprakarsai, salah satunya, oleh AS.
Baca juga : AS-Rusia Hambat Kesepakatan Nuklir Iran
Sebelumnya, Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Khamenei mengakui Iran menyita dua kapal tanker berbendera Yunani. Alasannya, Pemerintah Yunani menyita kapal tanker Iran dan mengirimkan minyaknya ke AS.
Banyak pihak berharap Pemerintah AS di bawah Presiden Joe Biden akan bersikap lebih tenang dalam menyikapi persoalan dunia, khususnya mengenai Iran. Biden adalah sosok yang mendampingi mantan Presiden Barack Obama ketika Pemerintah AS menyepakati Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA), atau lebih dikenal sebagai Kesepakatan Nuklir Iran, tahun 2015.
Dibandingkan mantan Presiden Donald Trump yang berkuasa pada 2016-2021, banyak pihak berharap pada pemerintahan Biden. Dengan pemahamannya yang lebih dalam dan komprehensif, AS diharapkan bisa mengurangi suasana muram di Timur Tengah, terutama menyangkut program nuklir Iran.
Perundingan tidak langsung antara AS dan Iran untuk mengembalikan atau merevitalisasi Kesepakatan Nuklir Iran 2015 pun sebenarnya sudah mendekati tahap akhir. Pada pertengahan Februari 2022, dua draf rencana kesepakatan telah beredar. Isinya hak dan kewajiban para pihak untuk dilaksanakan apabila disepakati. Termasuk di dalamnya kewajiban Iran untuk kembali ke batas pengayaan uranium yang telah disepakati, yaitu 3,67 persen.
Baca juga : Revitalisi Kesepakatan Nuklir Iran Makin Sulit
Akan tetapi, kepentingan dua negara adidaya, yaitu AS dan Rusia, yang melingkupi proses perundingan, menghambat terjadinya kesepakatan. Tidak hanya itu, Biden dan para pembantunya minim dukungan politik di dalam negeri atas kebijakannya terhadap Iran.
Menilik rekam sejarah, sejak JCPOA ditandatangani tahun 2015, Iran telah mematuhi semua kewajiban yang disepakati dalam pembicaraan dengan negara-negara P5+1. Buah dari kepatuhan tersebut, banyak calon investor beramai-ramai melirik Iran, mulai dari Jerman hingga AS.
Bahkan, industri manufaktur pesawat AS, Boeing, sudah siap menandatangani perjanjian kerja sama pembelian 100 pesawat dengan Iran. Bagi rakyat Iran, ketika mendengar kabar negara mereka dinilai sudah memenuhi isi kesepakatan, fajar harapan merekah di ufuk timur. Harapan untuk hidup lebih baik seketika menyeruak.
Akan tetapi, harapan itu sirna setelah Trump berkuasa dan secara sepihak keluar dari kesepakatan. Bertubi-tubi Iran dijatuhi sanksi baru. Tidak semua negara sekutu AS sepakat. Bahkan, Mahkamah Internasional menilai sanksi baru AS atas Iran sama sekali tak berdasar. Tidak mengherankan jika Iran
mbalelo
.
Kini, situasi yang sama terjadi ketika Biden tidak bisa meyakinkan kolega-koleganya di dalam negeri, termasuk anggota partainya sendiri, Partai Demokrat. Tidak hanya oleh kalangan Republik Biden dinilai lembek, tetapi juga oleh kalangan Demokrat.
Baca juga : Terpecah, Tim Perunding AS soal Nuklir Iran
Pandangan itu masuk akal ketika melihat kebijakan Biden dalam menghadapi situasi dunia saat ini, terutama di Asia Pasifik. Bersama Jepang, India, dan Australia, AS mencoba memperkuat kukunya dengan membentuk Quad, sebuah aliansi militer. AS juga bersama Inggris dan Australia membentuk AUKUS, aliansi pertahanan.
Di Timur Tengah, AS, Israel, dan sekutu-sekutunya beberapa kali memperlihatkan sikap mereka siap menyerang instalasi nuklir Iran. Militer AS, Israel, dan sekutu-sekutunya beberapa kali terbang, memperlihatkan pesawat pengebom, dan kekuatan udara yang dimiliki, memicu ketegangan baru di Timur Tengah.
Melihat semua itu, tampaknya tidak ada perbedaan antara pandangan dan kebijakan Biden dan pemerintahan Trump. Hanya saja, Trump berani merealisasikan kebijakannya sendiri, sedangkan Biden memilih jalan memutar, mencari teman untuk mendapatkan persetujuan secara multilateral, menjustifikasi tindakannya menekan Iran.
Mungkin harus dipikirkan cara lain agar Iran bersepakat dengan masyarakat internasional, terutama untuk menunda atau bahkan mengurangi pengayaan uraniumnya dan kembali ke JCPOA 2015. Bersamaan dengan itu, masyarakat internasional dan khususnya AS harus memikirkan soal keringanan sanksi bagi Iran yang berdampak bagi rakyatnya.
Hal ini akan membuat pandangan atas Biden dan pemerintahannya berbeda dengan Trump. Sebuah hal yang mungkin harus dipikirkan tidak hanya oleh Biden, tetapi juga pendukungnya di Partai Demokrat.