Pergeseran sikap sejumlah pemimpin negara Eropa bisa menjadi indikator kelelahan yang dirasakan sekutu Ukraina. Sikap dan pernyataan tersebut memicu kritik dari Ukraina.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD, DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·5 menit baca
Agresi militer Rusia telah menyatukan negara-negara Eropa di belakang Ukraina, mulai dari menampung jutaan pengungsi hingga mengirimkan persenjataan dan artileri berat bagi militer Ukraina. Amerika Serikat, sekutu Eropa, juga telah menggelontorkan puluhan miliar dollar AS, baik persenjataan maupun keuangan. Mereka bahu-membahu menjatuhkan sanksi dan mengupayakan pengucilan Rusia dari pelbagai forum internasional.
Akan tetapi, setelah perang memasuki bulan keempat, sejumlah analis khawatir perang yang berkepanjangan bisa menjadi momok bagi negara-negara Barat sekutu Ukraina untuk ”menjaga api” perlawanan terhadap Moskwa. Volodymyr Fesenko, analis politik pada lembaga Penta yang berbasis di Kyiv, mengatakan, kebutuhan perang yang mencapai 5 miliar dollar AS (sekitar Rp 70 triliun) setiap bulan membuat negara itu sangat bergantung pada konsolidasi Barat.
Ukraina membutuhkan persenjataan yang lebih canggih dan dalam jumlah yang besar untuk bisa memenangi perang menghadapi Rusia. Pada saat yang sama, negara Barat sekutu Ukraina menginginkan Rusia menderita secara ekonomi sebagai upaya untuk melemahkan Kremlin.
”Sangat jelas keinginan Rusia untuk melemahkan negara-negara Barat. Rusia tengah membangun strategi menuju ke arah sana agar secara bertahap Barat mengubah retorika militan menjadi lebih akomodatif,” kata Fesenko.
Pergeseran sikap sejumlah pemimpin negara Eropa bisa menjadi indikator kelelahan yang telah dirasakan sekutu Ukraina. Perdana Menteri Italia Mario Draghi pada bulan lalu telah menggaungkan kemungkinan dibukanya perundingan damai Ukraina-Rusia. Bahkan, Draghi telah berbicara dengan Presiden Rusia Vladimir Putin tentang upaya untuk mengatasi krisis pangan global, yang salah satunya dipicu terganggunya ekspor biji-bijian dari Rusia dan Ukraina.
Pergeseran juga tampak dari pernyataan Presiden Perancis Emmanuel Macron agar dunia tidak mempermalukan Rusia ketika perang telah berakhir dan bersama-sama mencari jalan keluar secara diplomatik. Mantan Menteri Luar Negeri AS Henry Kissinger malah menyebutkan, Ukraina perlu mempertimbangkan pemberian konsesi teritorial bagi Rusia.
Sikap dan pernyataan tersebut memicu kritik dari Ukraina. Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy memandang, konsesi teritorial bagi Rusia sama seperti tindakan Eropa tahun 1938 ketika membiarkan Nazi mengklaim Cekoslowakia agar tidak memperluas agresi ke wilayah lain. Zelenskyy kesal dengan saran-saran tersebut, terutama ketika harus berkompromi dengan Rusia. Ukraina, menurut dia, akan memutuskan syarat-syaratnya sendiri untuk perdamaian.
”Kelelahan semakin besar, orang menginginkan semacam hasil (yang menguntungkan) bagi mereka sendiri. Kami menginginkan hasil (lain) untuk diri kami sendiri,” kata Zelenskyy.
Nigel Gould-Davies, analis senior Rusia dan Eurasia pada Institut Internasional Studi Strategis, belum melihat erosi signifikan atas dukungan terhadap Ukraina. Namun, dia melihat adanya ketegangan tentang apa yang seharusnya menjadi tujuan akhir negara-negara Barat dalam perang di Ukraina ini. ”Itu belum terdefinisikan dengan jelas,” ujarnya.
Dampak agresi militer Rusia ke Ukraina telah memicu kekhawatiran di sejumlah negara Eropa, terutama karena dampaknya telah dirasakan kalangan menengah. Pemimpin partai sayap kanan Italia, Matteo Salvini, mengatakan, meski partainya mendukung sanksi terhadap Rusia, dia berharap perang tidak berkepanjangan. Apalagi sanksi terhadap Rusia telah merugikan pemilik usaha kecil di wilayah Italia utara, yang menjadi basis pendukungnya.
”Italia sangat siap melakukan pengorbanan ekonomi pribadi untuk mendukung pertahanan Ukraina dan mencapai gencatan senjata. Yang tidak saya inginkan, mendapati kami kembali (dalam posisi sekarang) pada September nanti. Jika itu terjadi, akan menjadi bencana bagi Italia,” kata Salvini.
Matteo Villa, analis pada lembaga ISPI yang berbasis di Milan, mengatakan, terjadi keletihan di antara negara-negara anggota Uni Eropa untuk menemukan cara baru menjatuhkan Rusia. ”Jelas di dalam Uni Eropa ada beberapa negara yang semakin tidak mau melanjutkan penjatuhan sanksi,” ujarnya.
Menyatukan wilayah
Dari Moskwa dilaporkan, Presiden Putin, dalam peringatan ulang tahun ke-350 Tsar Peter yang Agung, menyiratkan keinginannya untuk memperluas wilayah Rusia dan mempersatukannya di bawah Kremlin. Putin terinspirasi dari tindakan Tsar Peter atau Peter I yang menguatkan dan mengembalikan bangsa Slavia saat menjadi kaisar Rusia.
”Banyak yang menilai, saat ia (Tsar Peter I) melawan Swedia, dia meraih sesuatu. Namun, tak ada yang ia ambil. Ia hanya ingin mengembalikan apa yang menjadi milik Rusia,” kata Putin.
Sejarah panjang itu digambarkan Putin seperti tindakan terhadap Ukraina saat ini. Ia menyebut operasi militer Rusia di Ukraina sebagai upaya menyelamatkan orang-orang Republik Donetsk yang selama ini tidak ingin menjadi bagian dari Ukraina. Putin ingin mengembalikan Donetsk ke Rusia, sama seperti Tsar Peter yang Agung menguasai Swedia dan wilayah lainnya untuk membangun Rusia yang utuh.
”Tanggung jawab kami untuk mengambil kembali dan memperkuat apa yang jadi milik Rusia. Ada saat-saat dalam sejarah negara ketika kita dipaksa mundur, tetapi mundur untuk mendapatkan kembali kekuatan kita, lalu bergerak maju,” kata Putin.
Sejarawan yang juga jurnalis di St Petersburg, Daniel Kotsubinsky, mengungkapkan bahwa Peter I merupakan sosok pendukung liberalisme gaya Eropa. Tsar Peter yang Agung begitu dikenal karena membuka jalan ke Eropa lewat Laut Hitam. Ia membuka jalan, bukan menutupnya.
Namun, serangan ke Ukraina saat ini, menurut Kotsubinsky, membuat Rusia dijauhi banyak negara. Rusia terisolasi karena begitu banyak sanksi yang dijatuhkan Barat.
Penasihat senior Presiden Zelenskyy, Mykhailo Podolyak, mengatakan, ucapan Putin hanyalah kedok untuk melegalkan tindakan Rusia guna menganeksasi Ukraina. ”Barat harus menarik garis merah yang jelas sehingga Kremlin memahami harga dari setiap langkah yang diambilnya. Kami akan secara brutal membebaskan wilayah kami,” kata Podolyak dalam unggahan di media sosial. (AP/Reuters)