Saat ini sekitar 60 persen buruh atau pekerja memiliki pendapatan riil lebih rendah daripada sebelum pandemi Covid-19. Itu salah satu dampak invasi Rusia di Ukraina.
Oleh
PASCAL S BIN SAJU
·5 menit baca
NEW YORK, KAMIS — Perang Rusia dan Ukraina, yang kini memasuki bulan keempat, telah meningkatkan penderitaan jutaan orang di dunia akibat lonjakan harga pangan dan energi. Bahkan, mungkin bakal terjadi ledakan krisis multidimensi yang disumbangkan krisis keuangan, dampak pandemi Covid-19, dan perubahan iklim secara bersamaan.
Demikian laporan Platform Respons Krisis Global (GCRP) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Rabu (8/6/2022) di New York atau Kamis pagi WIB. Perang Rusia-Ukraina telah memperburuk krisis biaya hidup global yang tidak pernah terjadi dalam setidaknya satu generasi. Itu merusak harapan PBB mengakhiri kemiskinan ekstrem di seluruh dunia dan mencapai dunia yang lebih baik pada 2030.
Kelompok itu dibentuk Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres untuk menilai dampak invasi Rusia ke Ukraina sejak 24 Februari. Menurut GCRP, saat ini sekitar 60 persen pekerja memiliki pendapatan riil yang lebih rendah daripada sebelum pandemi Covid-19. Selain itu, sekitar 60 persen negara termiskin di dunia justru terbelit utang atau berisiko tinggi untuk terlilit utang.
Guterres, yang memimpin kelompok itu, mengatakan pada konferensi pers, dampak perang terhadap ketahanan pangan, energi, dan keuangan bersifat sistemik, parah, dan semakin cepat. Perang, bersama krisis lainnya, dapat memicu gelombang kelaparan dan kemelaratan yang belum pernah terjadi sebelumnya ataupun kekacauan sosial dan krisis ekonomi.
”Orang-orang dan negara-negara yang rentan sudah sangat terpukul. Namun, jangan salah, tidak ada negara atau komunitas yang tidak akan tersentuh krisis biaya hidup ini,” kata Guterres.
Menurut Guterres, harga pangan mendekati rekor tertinggi dan harga pupuk berlipat ganda. ”Tanpa pupuk, kelangkaan akan menyebar dari jagung dan gandum ke semua tanaman pokok, termasuk beras, dengan dampak yang menghancurkan miliaran orang di Asia dan Amerika Selatan,” katanya. ”Krisis pangan tahun ini soal kurangnya akses; tahun depan bisa soal kekurangan makanan.”
Program Pangan Dunia (WFP) juga memperingatkan, banyak negara rentan yang menghadapi kenaikan harga. Di Lebanon, misalnya, inflasi pangan melonjak hingga 400 persen tahun lalu karena krisis mata uang, pandemi, dan efek samping ledakan pelabuhan Beirut. Kini situasinya semakin buruk akibat perang di Ukraina. Negara-negara seperti Suriah dan Sudan juga berjuang mengatasi inflasi lebih dari 200 persen.
Laporan PBB, seperti dikutip Associated Press, menyebutkan, sekitar 180 juta orang di 41 dari 53 negara yang datanya tersedia, diperkirakan akan menghadapi krisis pangan tahun ini. Bahkan, mereka mungkin akan menghadapi kondisi yang lebih buruk lagi. Sekitar 19 juta orang lagi diperkirakan akan menghadapi kekurangan gizi kronis secara global pada 2023.
Selain itu, menurut GCRP, harga energi yang mencapai rekor tinggi juga memicu kekurangan bahan bakar dan pemadaman listrik di semua bagian dunia, terutama Afrika. Banyak negara berkembang menghadapi tekanan keuangan yang berkelanjutan, yang menyebabkan mereka gagal membayar utang. Ekonomi juga hancur akibat pandemi Covid-19, pemulihan yang tidak merata, dan krisis iklim.
Rebeca Grynspan, Sekjen Konferensi PBB tentang Perdagangan dan Pembangunan, yang ikut memfasilitasi GCRP, mengatakan, makanan, energi, dan keuangan saling berhubungan. Ketiganya harus ditangani dengan baik untuk mengatasi krisis global.
Menurut PBB, satu dari dua negara di sub-Sahara Afrika tetap rentan secara signifikan. Mereka terpapar ketiga dimensi krisis tersebut. Wilayah Amerika Latin dan Karibia adalah kelompok terbesar kedua yang menghadapi krisis biaya hidup, dengan hampir 20 negara sangat terpengaruh.
Media Financial Times melaporkan, harga bahan pokok di Afrika Barat naik 40 persen selama rata-rata lima tahun, dengan negara, seperti Nigeria, mengalami inflasi makanan sebesar 23 persen, tingkat tertinggi dalam 15 tahun. Kondisi itu semakin parah sejak pandemi, dan kini diperburuk dampak perang di Ukraina.
Di AS, perusahaan barang konsumen kemungkinan akan menghadapi kenaikan biaya sebesar 6,1 persen tahun ini dibandingkan dengan 0,7 persen pada 2020. Tyson Foods, sebuah perusahaan daging terkemuka, mengatakan, harga bahan mentah naik lebih dari 15 persen. Ada kenaikan biaya logistik, pengemasan, dan tenaga kerja.
Grynspan memperingatkan, kerusuhan sosial dan ketidakstabilan politik sebagai akibat dari melemahnya kemampuan negara dan keluarga untuk mengatasi krisis global lainnya. ”Tidak ada solusi untuk krisis biaya hidup, tanpa solusi untuk krisis keuangan,” katanya.
Dia mendesak lembaga keuangan internasional, terutama Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional, untuk meningkatkan pencairan dana cepat guna meningkatkan sumber daya keuangan negara-negara yang membutuhkan. Ia mendesak anggota G20 menangguhkan pembayaran utang bagi negara-negara miskin dan mendorong lagi agar jatuh tempo utang ditambah 2-5 tahun.
Konsekuensi perang Rusia-Ukraina dirasakan hingga jauh di luar Eropa Timur, yakni dalam kenaikan harga bahan makanan atau pangan. Ukraina adalah salah satu eksportir gandum, jagung, dan minyak bunga matahari terbesar di dunia. Kini ekspornya terganggu akibat blokade Rusia di Laut Hitam.
Diperkirakan, 22 juta ton biji-bijian seperti gandum dan jagung masih tertahan di Ukraina dan belum bisa diekspor akibat blokade tersebut. Kegagalan dalam pengiriman akibat gangguan perang telah membahayakan pasokan makanan di banyak negara berkembang, terutama di Afrika. Namun, Rusia mendukung rencana PBB untuk menciptakan koridor yang aman bagi ekspor Ukraina.
Walau demikian, Moskwa berkeras memperbolehkan pasukannya masuk ke dalam kapal-kapal Ukraina untuk menggeledah kemungkinan pasokan senjata. Pejabat Ukraina mengatakan, jaminan Kremlin bahwa mereka tidak akan melakukan tindakan apa pun di kapal tidak dapat dipercaya.
Dari medan tempur di Ukraina dilaporkan, korban jiwa meningkat ketika para pekerja menemukan hingga 100 mayat dari setiap bangunan yang hancur di Mariupol. Penemuan itu, oleh seorang pejabat dilukiskan sebagai hal yang mengerikan: karavan kematian tanpa akhir. Seorang pembantu wali kota Mariupol, Petro Andryushchenko, mengatakan lewat aplikasi Telegram, mayat-mayat itu dibawa ke kamar mayat, tempat pembuangan sampah, dan tempat-tempat lain.
Menurut otoritas Ukraina, setidaknya 21.000 warga sipil Mariupol tewas akibat pengepungan Rusia selama berminggu-minggu. Sementara pasukan Rusia berjuang keras pada Rabu untuk menguasai Sievierodonestk, kota industri utama Ukraina di Provinsi Luhansk di wilayah Donbas. Pasukan Rusia, Kamis ini, melanjutkan ”operasi militer khusus” untuk merebut Luhansk. (REUTERS/AFP/AP)