Di Tengah Dinamika Perang Ukraina, Biden Ubah Haluan Hubungan dengan Arab Saudi
Presiden Joe Biden ingin memperbaiki hubungan AS-Arab Saudi yang rusak setelah kasus pembunuhan wartawan senior Jamal Khashoggi. Perubahan haluan ini terjadi di tengah dinamika global pascaserangan Rusia ke Ukraina.
Oleh
PASCAL S BIN SAJU
·6 menit baca
WASHINGTON, JUMAT — Presiden Amerika Serikat Joe Biden dilaporkan telah memutuskan untuk mengunjungi Arab Saudi dalam beberapa minggu mendatang. Ia diperkirakan akan bertemu dengan Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman. Kunjungannya nanti bakal menandai perubahan haluan dalam hubungan antara AS pada era pemerintahan Biden dan Arab Saudi, yang diwarnai ketegangan, terkait beberapa isu.
Ketika masih sebagai kandidat presiden, Biden pernah mengecam Riyadh terkait kasus pembunuhan wartawan senior koran AS, The Washington Post, Jamal Khashoggi. Setelah menjabat presiden, Biden juga memerintahkan deklasifikasi dokumen-dokumen investigasi keterlibatan warga Arab Saudi dalam serangan 11 September 2001 atau 9/11. Pemerintahan Biden juga menghapus penetapan kelompok Houthi, musuh Arab Saudi dalam perang Yaman, dalam daftar kelompok teroris yang ditetapkan pada era Presiden Donald Trump.
Kunjungan resmi pertama Biden sebagai Presiden AS ke Arab Saudi, menurut sumber yang mengetahui rencana itu, kemungkinan besar akan dilakukan pada akhir Juni 2022. Informasi rencana kunjungan Biden ke Arab Saudi muncul bersamaan dengan pengumuman Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak dan para mitranya, termasuk Rusia, yang dikenal dengan kelompok OPEC+, Kamis (2/6/2022), untuk menggenjot produksi di tengah meroketnya harga minyak dunia.
Pengamat yang disitir The New York Times menyebut perubahan relasi AS di era Biden dengan Arab Saudi mencerminkan kemenangan real politik atas kemarahan moral. Menyusul serangan Rusia terhadap Ukraina, Biden berupaya mengisolasi Rusia, termasuk minyak produksinya. Namun, posisi Rusia sebagai produsen terbesar kedua minyak dunia membuat keputusan isolasi itu berimbas pada meroketnya harga minyak. Hal ini memaksa Biden harus merekalibrasi hubungan dengan Arab Saudi, negara penghasil minyak terbesar dunia.
Gedung Putih, Kamis, memuji Arab Saudi atas perannya mengamankan janji OPEC+ untuk menaikkan produksi minyak lebih banyak. Biden juga memuji Riyadh karena menyetujui perpanjangan gencatan senjata dalam perang Yaman yang juga diumumkan, Kamis. Perang Yaman telah berlangsung sekitar delapan tahun.
”Arab Saudi menunjukkan kepemimpinan yang berani mengambil inisiatif sejak dini untuk mendukung dan menerapkan persyaratan gencatan senjata yang dipimpin PBB,” kata Biden dalam pernyataan seusai perpanjangan gencatan senjata selama 60 hari itu diumumkan, Kamis.
Kata-kata yang hangat dan ramah itu, menurut kantor berita Associated Press (AP), amat kontras dengan retorika Biden sebelumnya tentang Kerajaan Arab Saudi yang kaya minyak. Sebagai kandidat presiden AS, Biden pernah berjanji memperlakukan Riyadh sebagai ”paria”. Itu diucapkan Biden sebagai respons atas pembunuhan jurnalis Arab Saudi yang menetap di AS, Jamal Khashoggi, 12 Oktober 2018.
Khashoggi adalah wartawan yang kritis terhadap Pangeran Mohammed. Pejabat intelijen AS menetapkan bahwa Putra Mahkota Arab Saudi itu diduga kuat berada di balik kasus pembunuhan jurnalis senior Arab Saudi tersebut. Pembunuhan dan mutilasi Khashoggi dilakukan di kantor Konsulat Jenderal Arab Saudi di Istanbul, Turki, oleh beberapa orang yang dikirim oleh Riyadh.
Pertemuan Biden dengan Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz al-Saud dan Pangeran Mohammed nantinya dapat meredakan ketegangan dan ketakpastian dalam kemitraan antara AS dan Arab Saudi. AS adalah kekuatan ekonomi dan militer utama dunia, sementara Arab Saudi adalah pengekspor minyak utama dunia. Hubungan kedua negara itu telah terjalin dengan kokoh selama lebih dari tiga perempat abad.
Namun, rencana kunjungan Biden ke Arab Saudi bisa menyakiti publik AS. Pada 2019, Biden mengecam Riyadh atas kasus pembunuhan Khashoggi dan diharapkan bisa meminta pertanggungjawaban kepada orang yang diduga kuat menjadi otak pembunuhan Khashoggi.
Kepentingan strategis
Tampaknya para pejabat pemerintahan Biden telah bekerja di balik layar untuk memperbaiki hubungan yang rusak antara Washington dan Riyadh. Mereka membahas kepentingan strategis bersama dalam hal keamanan dan minyak dengan para mitranya di Arab Saudi.
Manuver baru tersebut dilakukan setelah AS dan sekutu Barat-nya terdampak invasi Rusia ke Ukraina dan sanksi Barat terhadap Moskwa. Rusia adalah pengekspor minyak mentah nomor dua setelah Arab Saudi. Pembatasan produksi minyak oleh Arab Saudi-Rusia di tengah permintaan tinggi di tengah upaya pemulihan ekonomi dunia dari pandemi Covid-19 telah memicu kenaikan harga minyak mentah. Gangguan rantai pasok akibat meletusnya perang Rusia-Ukraina semakin menaikkan harga minyak dunia, termasuk di AS.
Biden dan partainya, Partai Demokrat, dikecam oleh para pendukung dan simpatisannya karena laju harga minyak terus meroket. Para warga pemilih Biden telah menjadikan kelangkaan pasokan dan kenaikan harga minyak yang tajam sebagai isu politik dan menjadikan hal itu sebagai tanggung jawab politik utama Biden dan Demokrat.
Seruan dari AS dan sekutunya kepada kelompok OPEC+ untuk meningkatkan produksi minyak tampaknya membuahkan hasil, Kamis (2/6/2022). Negara-negara OPEC mengumumkan mereka akan meningkatkan produksi sebesar 648.000 barel per hari pada Juli dan Agustus 2022. Perkembangan ini diharapkan dapat meredakan tekanan bagi ekonomi global.
Namun, berita rencana penambahan produksi minyak oleh OPEC+ tidak serta-merta meredakan kekhawatiran tentang ketatnya pasokan. Harga minyak tetap naik setelah OPEC+ mengumumkan rencana penambahan produksi, Kamis. Dalam pernyataannya, Juru Bicara Gedung Putih Karine Jean-Pierre mengakui peran Arab Saudi di OPEC+ ”untuk mencapai konsensus” di dalam blok produsen minyak. Dia berterima kasih kepada Uni Emirat Arab, Kuwait, dan Irak.
Gedung Putih sedang mempertimbangkan kunjungan Biden yang juga akan mencakup pertemuan para pemimpin negara-negara Dewan Kerja Sama Teluk (GCC), yakni Bahrain, Kuwait, Oman, Qatar, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab, serta negara-negara kawasan Timur Tengah lainnya, seperti Mesir, Irak, dan Jordania. Namun, menurut sumber yang akrab dengan perencanaan Gedung Putih, rencana perjalanan Biden ke Arab Saudi dan kawasan Timur Tengah belum selesai dibahas.
Jean-Pierre juga secara langsung menyebutkan peran ”kepemimpinan Raja Salman dan Putra Mahkota” tentang perpanjangan gencatan senjata PBB di Yaman. Di negara paling miskin di Arab itu, koalisi yang dipimpin Riyadh gagal untuk mengalahkan Houthi, kelompok yang menguasai ibu kota Sana’a.
Merenda relasi Israel-Saudi
Biden diperkirakan akan melakukan perjalanan dinas ke Eropa pada akhir Juni, dengan terlebih dulu mengunjungi Arab Saudi. Jika akan mengunjungi Arab Saudi, kemungkinan besar juga Biden akan mengunjungi Israel.
Pejabat Israel dalam keterlibatan dengan Biden telah menekankan sudut pandang mereka bahwa hubungan AS dengan Arab Saudi sangat penting bagi keamanan Israel dan stabilitas keseluruhan di kawasan itu. Kunjungan tersebut juga dapat memberikan kesempatan untuk memulai pembicaraan tentang proyek jangka panjang untuk normalisasi hubungan Israel-Arab Saudi.
”Arab Saudi adalah mitra penting bagi kami dalam menangani ekstremisme di kawasan dalam menghadapi tantangan-tantangan yang dihadirkan oleh Iran, dan juga saya berharap melanjutkan upaya membangun hubungan antara Israel dan negara-negara tetangganya, yang dekat ataupun yang jauh, melalui keberlanjutan, peluasan Kesepakatan Abraham,” kata Antony Blinken, Menlu AS, dalam acara perayaan 100 tahun majalah Foreign Affairs.
Kesepakatan Abraham, yang ditorehkan pada era Trump, menandai normalisasi hubungan antara Israel dan beberapa negara Arab, termasuk Uni Emirat Arab dan Bahrain. Arab Saudi masih terus menjadi target idaman untuk diikat dalam Kesepakatan Abraham.
Selain itu, Biden juga telah berulang kali mengatakan bahwa dunia berada pada momen penting dalam sejarah di mana demokrasi harus dapat mengalahkan otokrasi. Pemerintah AS tidak ingin melihat negara-negara, seperti Mesir dan Arab Saudi dengan catatan HAM yang buruk, jatuh ke kubu Moskwa dan Beijing.
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mengatakan di Washington DC, Rabu, bahwa niat Biden menjadi presiden adalah untuk ”mengalibrasi ulang hubungan dengan Arab Saudi dan untuk memastikan bahwa hubungan itu melayani kepentingan AS dan melanggengkan hubungan dengan Arab Saudi. ”Itulah yang sebagian besar telah kami lakukan,” kata Blinken. (AP/AFP/REUTERS)