Joe Biden diyakini akan mengubah kebijakan Pemerintah AS terhadap Arab Saudi terkait masih banyaknya pelanggaran HAM di negara itu. Namun, mereka harus berhitung dengan situasi kawasan, terutama soal Iran dan China.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
RIYADH, SELASA — Persoalan hak asasi manusia di Arab Saudi menjadi tantangan bagi pemerintahan presiden Amerika Serikat terpilih Joe Biden dan kabinetnya. Meski Arab Saudi, di bawah kendali putra mahkota Pangeran Mohammed bin Salman mencoba melonggarkan beberapa batasan bagi warganya, termasuk salah satunya memberikan hak bagi kaum perempuan untuk mengemudikan mobil, persoalan pelanggaran hak asasi manusia masih menjadi persoalan tersendiri.
Persoalan HAM ini kembali mengemuka setelah pengadilan Arab Saudi, Senin (28/12/2020), menjatuhkan hukuman penjara lima tahun delapan bulan kepada aktivis perempuan terkemuka, Loujain al-Hathloul. Jaksa mendakwa Hathloul (31) dengan dugaan tindak pidana terorisme, bekerja dengan entitas asing yang bermusuhan dengan Pemerintah Arab Saudi, mengobarkan semangat perubahan rezim pemerintahan, hingga berusaha mengganggu ketertiban umum.
Pengadilan terorisme menjatuhkan Hathloul hukuman penjara lima tahun delapan bulan dari maksimal 20 tahun penjara jika mengacu pada undang-undang antiterorisme Arab Saudi. Namun, pengadilan menangguhkan hukumannya menjadi hanya dua tahun 10 bulan dengan syarat Hathloul tidak melakukan kejahatan apa pun selama masa percobaan tiga tahun ke depan. Pengadilan juga melarang Hathloul bepergian ke luar wilayah negara itu selama lima tahun ke depan.
”Penangguhan 2 tahun dan 10 bulan selain waktu yang sudah dijalani akan membuatnya (dibebaskan) dalam waktu sekitar dua bulan," tulis Lina al-Hathloul, saudara perempuan aktivis tersebut, di Twitter.
Hathloul ditangkap oleh otoritas keamanan pada Mei 2018 bersama dengan beberapa aktivis perempuan lainnya. Menteri Luar Negeri Arab Saudi Pangeran Faisal bin Farhan, dikutip dari The New York Times, mengatakan, Hathloul ditangkap karena dia berurusan dengan negara-negara yang tidak bersahabat dengan Pemerintah Arab Saudi dan memberikan informasi rahasia kepada mereka. Namun, dia menolak memberikan detail tuduhan yang dialamatkan pada Hathloul.
Menurut keluarganya, dia ditangkap karena menuntut perubahan atas hak perempuan, termasuk di dalamnya penghapusan sistem perwalian, mencoba melamar pekerjaan di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), hingga berbicara dengan jurnalis, diplomat dan organisasi HAM.
Kampanye yang dilakukan Hathloul dan beberapa aktivis perempuan lainnya membuahkan hasil. Berselang beberapa pekan setelah penangkapan Hathloul, pemerintah mengizinkan kaum perempuan mengemudi. Di bawah Pangeran MBS, Arab Saudi juga telah melakukan sejumlah reformasi sosial, seperti mendorong perempuan untuk bekerja, pelonggaran terhadap sistem perwalian yang memberi kekuasaan kepada ayah, suami atau saudara laki-laki untuk memberi keputusan akhir atas rencana perjalanan, pekerjaan, dan pernikahan.
Kebijakan AS
Keluarga Hathloul berharap dapat memperoleh manfaat pergantian kekuasaan di Amerika Serikat dari Presiden Donald Trump kepada Joe Biden yang memenangi pemilu November lalu. Biden, saat kampanye, telah menjanjikan sikap yang lebih keras terhadap Arab Saudi atas kebijakan-kebijakannya yang tidak sejalan dengan AS, seperti persoalan hak asasi manusia dan peperangan di Yaman.
Pemerintah AS sendiri ”hanya” menyuarakan keprihatinannya atas hukuman penjara yang dijatuhkan pengadilan Arab Saudi kepada Hathloul. Wakil Juru Bicara Departemen Luar Negeri AS Cale Brown menyatakan prihatin dengan pelaporan soal hukuman yang dijatuhkan pada Hathloul.
”Kami telah menekankan pentingnya kebebasan berekspresi dan aktivisme damai di Arab Saudi karena mempromosikan hak-hak perempuan. Kami menantikan pembebasannya pada 2021,” tulis Brown di Twitter.
Jake Sullivan, yang akan didapuk sebagai penasihat keamanan nasional kabinet Biden, mengeluarkan pernyataan sedikit keras. Dia menyebut vonis itu sebagai tidak adil dan meresahkan. ”Seperti yang telah kami katakan, pemerintahan Biden-Harris akan melawan pelanggaran hak asasi manusia di mana pun itu terjadi,” cuitnya.
Biden, ketika berada di atas panggung debat pemilihan bakal calon kandidat presiden Partai Demokrat pada November lalu, menyatakan, akan bersikap keras pada para pejabat Arab Saudi yang diduga melakukan pelanggaran HAM. Saat ditanya soal itu, konteksnya adalah tewasnya jurnalis Jamal Khashoggi. Biden memercayai laporan CIA yang menyebutkan bahwa Pangeran MBS berada di balik pembunuhan Khasoggi.
”Saya akan memastikan bahwa kita tidak akan menjual lagi persenjataan pada mereka. Kami akan memastikan menghapus subsidi bagi mereka. Saya akan pastikan bahwa mereka (Arab Saudi) membayarnya,” kata Biden saat itu.
John Spacapan, analis urusan publik Wohlstetter pada Pusat Pendidikan Kebijakan Nonproliferasi, dikutip dari laman Foreign Policy, menilai, Biden tidak akan serta merta bersikap kaku dan keras terhadap Arab Saudi. Biden dan kabinetnya, menurut Spacapan, harus berhitung dengan cermat soal untung rugi jika langsung bersikap keras, terutama terkait keamanan kawasan, terutama menyangkut hubungan dengan Iran dan China.
Menurut Spacapan, perjanjian JCPOA yang diikuti Amerika Serikat pada tahun 2015, saat masih dipimpin Barack Obama, dinilai sebagai upaya mengkhianati hubungan baik AS-Arab Saudi selama ini. Itu sebabnya Arab Saudi membuka pintu lebar-lebar ketika Trump memimpin AS dan mendukung kebijakan Arab Saudi yang lebih keras terhadap Iran. Pada saat yang sama, Obama juga dinilai mendukung gerakan prodemokrasi di Mesir yang menjalar menjadi gerakan Musim Semi Arab. Tindakan itu dinilai penguasa Arab Saudi sebagai rongrongan atas pemerintahan konservatif mereka.
Spacapan menilai, langkah yang mungkin dilakukan Biden adalah membentuk semacam koalisi kecil, terdiri atas negara-negara sekutu utama mereka, seperti Inggris, Uni Eropa, serta beberapa negara Arab kecil (Jordania, Oman, Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Tunisia) untuk melakukan kerja sama multilateral yang menguntungkan. Pada saat yang sama, AS juga akan menekankan pentingnya penghormatan terhadap HAM dan reformasi kehidupan sosial lainnya. (AFP/Reuters)