Awalnya AS tidak memasukkan Taiwan dalam Kerangka Ekonomi Indo-Pasifik. Itulah sebabnya China menilai perjanjian AS-Taiwan kental unsur politik untuk menghadang pamor China di kawasan.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
TAIPEI, KAMIS — Amerika Serikat dan Taiwan menandatangani perjanjian dagang dan ekonomi terbaru yang semakin mempererat hubungan kedua negara. China yang menganggap Taiwan sebagai bagian dari negaranya keberatan dengan perjanjian ini karena sangat kental unsur politik dan tidak sesuai dengan kesepakatan Satu China yang diakui secara internasional.
Perjanjian itu ditandatangani di Taipei, Taiwan, Rabu (1/6/2022), oleh John Deng, pelobi Otoritas Taiwan sekaligus menteri tanpa portofolio, dengan Ketua Kantor Dagang AS di Taiwan Sarah Bianchi. Perjanjian itu dikenal dengan nama resmi ”Inisiatif Perdagangan Abad ke-21 AS-Taiwan”. Turut hadir dalam acara tersebut, Menteri Luar Negeri Taiwan Joseph Wu dan Menteri Perekonomian Taiwan Wang Mei-hua.
Presiden Taiwan Tsai Ing-wen, Kamis (2/6), memberi tanggapan positif atas perjanjian itu. ”Semoga ini semakin memperlancar niat kita untuk bisa memasuki berbagai perjanjian pasar bebas global,” katanya, dikutip kantor berita nasional Taiwan, Central News Agency.
Tsai mengutarakan bahwa Taiwan layak untuk berkiprah di dalam perdagangan bebas karena memiliki kemampuan produksi yang baik dan menghasilkan komoditas bermutu. Taiwan sedang menunggu hasil dari pendaftaran ke Perjanjian Komprehensif dan Progresif untuk Kemitraan Trans-Pasifik (CPTPP). China juga mendaftar ke kemitraan yang sama.
Sebelumnya, Taiwan tidak dimasukkan ke dalam Kerangka Ekonomi Indo-Pasifik (IPEF) besutan Presiden AS Joe Biden yang diluncurkan pada 24 Mei. Selain AS, negara-negara yang masuk IPEF ialah Indonesia, Malaysia, Singapura, Vietnam, Thailand, Filipina, Brunei Darussalam, Jepang, Korea Selatan, India, Australia, dan Selandia Baru. IPEF bukan perjanjian perdagangan bebas, melainkan upaya AS mengamankan rantai pasok agar tidak tergantung pada China.
Perjanjian terbaru AS-Taiwan ini juga bukan mengenai perdagangan bebas karena sama sekali tidak mengungkit soal tarif. Ada sebelas sektor yang diulas di dalamnya, antara lain kerja sama perekonomian, kemitraan perdagangan, penetapan aturan perdagangan, pengembangan inovasi, dan jaminan inklusivitas di sektor-sektor terkait.
Menurut John Deng, fokus tahap awal ialah pengembangan keterlibatan usaha mikro, kecil, dan menengah di kedua wilayah agar produk-produknya bisa masuk ke komoditas ekspor. Selain itu, juga ada pengembangan teknologi produksi di sektor pertanian serta pengalihan metode produksi dan perdagangan yang ramah lingkungan.
”Pertemuan pertama yang spesifik di bawah perjanjian ini akan dilakukan di Washington, akhir Juni. Walaupun ini perjanjian ekonomi dan perdagangan, isu-isu yang dibahas dan negosiasinya bisa berkembang sesuai dengan situasi di Taiwan ataupun AS,” tutur Deng.
Ekonom dari Institut Kajian Ekonomi Chung Hua, Roy Lee, menjelaskan, meskipun ini bukan perjanjian perdagangan bebas, wujudnya serupa dengan perjanjian-perjanjian yang ditawarkan oleh AS ke Jepang dan Uni Eropa. Menurut dia, ini hal positif karena menunjukkan bahwa AS menganggap posisi Taiwan sama pentingnya dengan kedua wilayah itu.
Taiwan menempati posisi kesepuluh dalam daftar mitra dagang AS. Wilayah ini merupakan penghasil semikonduktor nomor satu untuk Negara Paman Sam. Pandemi Covid-19 yang melambatkan perekonomian global mengakibatkan menurunnya jumlah semikonduktor dan mikrocip yang diimpor dari Taiwan. Imbasnya, AS mengalami inflasi karena produksi teknologi, mulai dari kendaraan sampai telepon genggam, terhambat.
Pemerintah China langsung mengeluarkan penolakan atas perjanjian AS-Taiwan tersebut. China menolak segala bentuk perjanjian bilateral yang terjadi langsung dengan Taiwan. Alasannya, dalam prinsip Satu China, Taiwan adalah bagian dari China.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Zhao Lijian kepada kantor berita nasional, Xinhua, mengatakan, semestinya AS menerapkan prinsip saling menghormati, bersanding dalam perdamaian, dan mencari solusi demi keuntungan bersama.
”China tidak akan mencampuri urusan dalam negeri ataupun hubungan bilateral negara lain, kecuali apabila hubungan itu bermaksud untuk menghadang dan merugikan China,” tutur Zhao. Ia melanjutkan, membuat berbagai skema untuk menghalangi langkah China akan kontraproduktif karena mengakibatkan kerugian secara global.
Juru Bicara Kementerian Perdagangan China Gao Feng menjelaskan, keberatan tersebut karena China mengerti betul bahwa perjanjian AS-Taiwan itu tidak sebatas di isu ekonomi. Ada agenda politik yang menyusup di dalamnya. Hal ini karena Pemerintah AS, baik eksekutif maupun legislatif, ingin memperkuat pengaruh mereka di Taiwan demi menurunkan pamor China. (AFP)