China-AS Saling Tuding soal Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Laporan terbaru mengenai pelanggaran hak asasi manusia di Xinjiang keluar dan kali ini berasal dari data yang diretas dari kepolisian setempat. China tetap menyangkal hal tersebut dan menampik segala tuduhan.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
KEMLU RRC
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Zhao Lijian menjawab pertanyaan dari media pada konferensi pers pada Senin (11/5/2020) di Beijing, China.
BEIJING, KAMIS — Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Zhao Lijian melayangkan protes, antara lain, ke Amerika Serikat, Selandia Baru, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Ketiga pihak ini mengkritik China mengenai kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia dan penggerusan asas demokrasi antara lain di Xinjiang, Hong Kong, dan Taiwan.
”Ini semua fitnah yang dilancarkan untuk mendiskreditkan China. Negara-negara Barat ini hendak ikut campur urusan dalam negeri Pemerintah China,” kata Zhao di Beijing, seperti dikutip kantor berita China, Xinhua, Rabu (1/6/2022).
Zhao balik mendiskreditkan penegakan hak asasi manusia oleh AS yang juga tidak sempurna. Ia mengungkit fakta bahwa sejak tahun 2001, AS terlibat operasi militer di 81 negara. Total ada 800.000 korban tewas dan 300.000 orang di antaranya warga sipil. AS juga menerapkan berbagai kemah tahanan maupun penjara yang tidak terdaftar secara legal, misalnya, di Teluk Guantanamo.
Amarah China ini diungkapkan setelah Presiden AS Joe Biden dan Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern, yang sedang berkunjung ke Washington, mengeluarkan pernyataan bersama. Isinya ialah meminta China menghentikan pelanggaran HAM di Xinjiang, Hong Kong, dan Taiwan.
AP PHOTO/NG HAN GUAN, FILE
Foto tanggal 4 November 2017 ini memperlihatkan aparat keamanan Uighur berpatroli di dekat Masjid Id Kah Mosque di Kashgar, Xinjiang, China bagian barat.
Di samping itu, Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken pekan lalu juga mengutarakan kritik terhadap China maupun Komisioner Tinggi HAM PBB Michelle Bachelet yang mengunjungi Xinjiang pada 23-28 Mei lalu. Menurut Blinken, Bachelet tidak akan mengeluarkan kecaman terhadap China karena semua tempat yang ia kunjungi di Xinjiang sudah diatur dan direkayasa oleh pemerintah negara tersebut.
Sindiran Blinken dapat dikatakan terbukti. Dalam jumpa pers daring setelah kembali dari Xinjiang, Bachelet tidak mengumumkan hal yang berarti. Ia hanya mengatakan, pihaknya masih memproses dan mengkaji semua temuan mereka. Sejumlah pihak menyayangkan hal tersebut. Namun, beberapa pihak memaklumi bahwa data serta fakta kasus tuduhan pelanggaran HAM harus dikaji saksama sebelum diumumkan.
Kebocoran data
Publik geram karena tidak ada tindakan berarti mengenai tuduhan kasus pelanggaran HAM di Xinjiang. Pada 24 Mei, ketika Bachelet berada di Xinjiang, Konsorsium Jurnalis Investigatif Internasional (ICIJ) mengeluarkan data yang diretas dari Kepolisian Xinjiang. Data itu sebelumnya diberikan informan lokal pada Adrian Zenz, antropolog dari Yayasan Peringatan Korban Komunisme (VCMF) di Washington.
Zenz adalah peneliti isu pelanggaran HAM di Xinjiang. Ia menerbitkan laporan terbaru tersebut pada Jurnal Asosiasi Eropa untuk Kajian China sebelum ia bagi dengan ICIJ. Di dalam data yang bocor itu terdapat 5.000 foto kamp-kamp indoktrinasi yang oleh Pemerintah China disebut sebagai lembaga pelatihan vokasi.
AFP PHOTO/THE VICTIMS OF COMMUNISM MEMORIAL FOUNDATION
Kepolisian Xinjiang sedang melakukan latihan penanganan tahanan yang berupaya kabur atau penanganan huru-hara di salah satu kemah indoktrinasi di Tekes, Xinjiang, China. Foto ini diduga berasal dari tahun 2018 dan diretas dari data Kepolisian China. Foto-foto tersebut lalu diakses oleh Yayasan Peringatan Korban Komunisme (VCMF) di Amerika Serikat dan dipublikasikan oleh Konsorsium Jurnalis Investigatif Internasional (ICIJ) pada 24 Mei 2022.
Ada foto-foto suasana interogasi yang menunjukkan tahanan duduk atau berjongkok dengan tangan dan kaki diborgol. Mereka dikelilingi petugas kepolisian. Ada pula foto para tahanan duduk rapi dan tampak seperti sedang menghafal sesuatu. Yang menggetarkan, menurut Zenz, adalah foto profil 2.884 tahanan, yang paling muda adalah perempuan berumur 15 tahun dan tahanan tertua adalah pria berusia 73 tahun.
Terdapat pula dokumen yang menjabarkan visi dan misi Pemerintah China untuk mengeradikasi identitas Uighur dan melesapkan mereka ke dalam masyarakat China secara umum. Beberapa contoh kasus genosida budaya ini ialah penahanan seorang laki-laki atas tuduhan bersimpati dengan terorisme. Indikator yang digunakan ialah laki-laki itu tidak merokok ataupun meminum alkohol. Ada juga laki-laki yang dicurigai sebagai teroris karena memiliki berewok.
”Dokumen ini membuka mata kita semua atas masalah kemanusiaan yang serius. Apa pun yang dilakukan Pemerintah China untuk menyangkalnya tidak akan berhasil. Faktanya sudah diketahui publik,” kata Zenz kepada ICIJ.
Zenz mengkaji, pada tahun 2018 di kota Konasheher, 12 persen penduduk dewasa atau setara 22.762 orang mengalami indoktrinasi dalam jangka waktu tertentu.
Foto-foto itu bertanda waktu tahun 2018. Pada tahun itu, PBB memperkirakan ada 1 juta warga Xinjiang berada di kamp indoktrinasi. Jumlah sebenarnya hingga kini tidak diketahui mengingat Pemerintah China selalu bersikap tertutup soal data.
”Dari kajian forensik pencitraan, tidak ada tanda-tanda bahwa foto-foto itu dipalsukan. Memang ada beberapa distorsi gambar, tetapi itu awam terjadi untuk jenis peralatan kamera yang dipakai memotret di kemah-kemah itu,” kata pakar forensik visual Universitas California Berkeley, Hany Farid. Ia diminta oleh BBC, salah satu anggota ICIJ, untuk memverifikasi keaslian foto-foto yang diberikan Zenz.
Media-media China, seperti kantor berita Xinhua dan China Daily, menangkis tuduhan dengan mengeluarkan tajuk rencana. Mereka mengatakan bahwa foto-foto itu adalah hasil rekayasa kelompok anti-China, yaitu teroris, separatis, dan ekstremis.
Zenz maupun media-media internasional, kata mereka, termakan umpan yang sengaja dilempar oleh tiga kelompok itu. Pembelaan China ialah dengan sistem tersebut, tidak ada serangan terorisme dan ekstremisme di negara itu selama lima tahun terakhir. Pembangunan bisa berjalan karena tidak ada gangguan keamanan. (REUTERS)