Presiden Amerika Serikat Joe Biden tiba di Jepang dan akan meluncurkan paket kerja sama ekonominya, IPEF, sebagai upaya menghadang pengaruh China. Sayangnya, program ekonomi ini tidak cukup menarik.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·3 menit baca
TOKYO, MINGGU – Presiden Joe Biden dipastikan akan meluncurkan program ekonomi Indo-Pasific Economic Framework for Prosperity (IPEF), di Tokyo, Jepang, Senin (23/5/2022), untuk meningkatkan keterlibatan AS secara ekonomi dengan negara-negara di kawasan Indo-Pasifik. Akan tetapi, banyak pihak menilai, program itu menawarkan sedikit manfaat bagi negara-negara di kawasan dibanding dengan rival AS, China.
Biden dan rombongan tiba di Tokyo, Jepang, Minggu (22/5/2022), setelah melakukan lawatan kerja ke Korea Selatan sejak Jumat (20/5/2022). Selain mencoba memperkuat pengaruhnya dalam bidang ekonomi di kawasan ini, Biden juga akan meneguhkan kerja sama pertahanannya dengan tiga negara sekutunya di kawasan, yaitu Australia, Jepang dan India, di bawah bendera Quad.
Bagi Biden, IPEF menjadi upaya pemerintahannya untuk mengikat negara-negara di kawasan dengan AS, terutama untuk menjaga rantai pasok (termasuk pasokan semikonduktor), energi bersih dan terbarukan, pengembangan infrastruktur hingga kerja sama ekonomi digital. Sejak mantan Presiden AS Donald Trump memutuskan keluar dari perjanjian perdagangan multinasional CPTPP, AS kehilangan pengaruh dalam bidang ekonomi di kawasan. Mundurnya AS membuat pengaruh China semakin besar.
Gedung Putih menginginkan agar pengumuman IPEF menjadi awal bagi AS untuk memperluas kembali pengaruhnya di kawasan, terutama dengan negara-negara yang memiliki pandangan yang sama dengan mereka. Menurut seorang sumber di kalangan pemerintah AS, peluncuran IPEF pada Senin besok ingin memasukkan sebanyak mungkin keterlibatan negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Hal yang sama juga diinginkan oleh Pemerintah Jepang. Menurut sumber, Jepang ingin sebanyak mungkin negara hadir dalam peluncuran itu dan AS ingin segera melakukan dialog inklusif setelah peluncuran.
Sumber ini mengatakan peluncuran itu diharapkan akan dihadiri secara langsung oleh Perdana Menteri India Narendra Modi, Biden dan Kishida, dan oleh para pemimpin lainnya secara virtual. Biden juga direncanakan akan bertemu dengan Kaisar Naruhito sebelum melakukan pembicaraan dengan Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida. Pertemuan kedua pemimpin itu diperkirakan membahas rencana Jepang memperluas kemampuan dan jangkauan militernya sebagai tanggapan atas kekuatan China yang semakin besar.
Kurang Insentif
Kunjungan kerja Biden di Asia Timur di saat inflasi tinggi dan ketidakpuasan atas kerja pemerintahannya, membuat prioritas misi adalah perkuatan ekonomi AS dengan meyakinkan sejumlah perusahaan asing untuk berinvestasi di AS. Saat bertemu CEO Hyundai Eusiun Chung di Korea Selatan dan berbicara tentang perluasan investasi di Georgia, AS, Biden mengatakan, pabrik kendaraan listrik dan baterai itu adalah hal yang dinanti. Menurut Biden, selain bagus untuk tujuan iklim, kendaraan listrik juga menjanjikan untuk kelangsungan bisnis.
Namun, seorang pejabat Kementerian Keuangan Jepang mengatakan, negara-negara Asia Tenggara berpikir ulang mengenai IPEF karena kurangya insentif praktis yang bisa ditawarkan oleh AS seperti pengurangan tarif. “Ini bukan keputusan yang kejam. Akan tetapi, keputusan yang praktis karena tidak benar-benar memiliki substansi yang signifikan,” katanya.
Dalam Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN-AS yang berlangsung dua pekan lalu, Perdana Menteri Malaysia Ismail Sabri Yaakob secara terbuka menyatakan rasa frustrasi sejumlah kepala negara ASEAN ketika AS, saat dipimpin Trump, mundur dari sejumlah kerja sama ekonomi di kawasan tersebut. Posisi AS sebagai mitra dagang di kawasan kemudian diisi oleh China.
Janji bantuan ekonomi yang disampaikan Biden di hadapan para pemimpin ASEAN pada KTT itu juga dinilai sangat kecil, yaitu hanya 150 juta dollar AS atau sekitar Rp 2,191 triliun. Angka itu jelas jauh dibawah bantuan China yang mencapai 1,5 miliar dollar AS atau sekitar Rp 21 triliun.
PM Ismail lantas mendesak agar AS mengadopsi agenda perdagangan dan investasi yang lebih aktif dengan ASEAN. (Kompas.id, 13 Mei 2022)
Matthew Goodman, pakar perdagangan di Pusat Strategis dan Studi Internasional di Washington mengatakan, Pemerintahan Biden harus menawarkan manfaat yang lebih riil jika ingin memperkuat hubungan dengan negara-negara di kawasan. (AP/Reuters)