Menjelang Pemilu, Selisih Dukungan Kandidat PM Australia Tipis
Pemilihan umum federal Australia tinggal dua hari lagi. Akan tetapi, dua kandidat perdana menteri belum memberi janji yang konkret.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
CANBERRA, RABU — Kampanye pemilihan umum Australia masih berlangsung. Ketua Partai Buruh yang merupakan oposisi pemerintah, Anthony Albanese, masih unggul dari Perdana Menteri Scott Morrison. Akan tetapi, belum ada yang bisa memperkirakan pemenang pemilu pada 21 Mei 2022. Masyarakat menilai janji para kandidat tidak terlalu jelas.
Morrison dari Partai Liberal yang berhaluan kanan berusaha terpilih untuk masa jabatan kedua. Jika ia memenangi pemilu, ini menjadi keempat kalinya Partai Liberal berkuasa. Sejumlah jajak pendapat melihat persaingan yang ketat antara Morrison dan Albanese dari Partai Buruh yang berhaluan kiri-tengah.
Surat kabar Sydney Morning Herald, Rabu (18/5/2022), mengeluarkan hasil jajak pendapat terbaru. Albanese unggul dengan 51 persen dibandingkan Morrison yang mendapat 49 persen. Dua pekan lalu, hasil jajak pendapat menunjukkan Albanese masih mengantongi 54 persen dan Morrison 46 persen. Artinya, masih banyak pemilih yang berisiko mengubah pendirian mereka sampai waktu pemungutan suara.
Terdapat 17 juta warga Australia yang dinyatakan layak memberi suara untuk pemilu tahun 2022. Sebanyak 6 juta warga telah mengirim surat suara mereka melalui pos. Komisi Pemilihan Umum Australia mengatakan, sejauh ini mereka telah menerima 1,1 juta surat suara. Selain itu, akan ada pemungutan suara langsung pada 21 Mei.
Apabila dilihat dari pola 11 pemilu terakhir Australia, oposisi memang selalu tampak unggul dibandingkan pemerintahan sampai pemilu selesai.
”Apabila dilihat dari pola 11 pemilu terakhir Australia, oposisi memang selalu tampak unggul dibandingkan pemerintahan sampai pemilu selesai. Akan tetapi, pemilu kali ini menarik karena selisih suara di jajak pendapat tipis sekali,” kata pengamat politik, Chris Wallace.
Ia menjelaskan, hal ini karena kedua kandidat sama-sama tidak memiliki rencana kerja yang jelas. Mereka berkutat pada hal-hal makro yang teknis penerapannya tidak diutarakan lebih lanjut. Misalnya, Albanese fokus kepada krisis iklim dan politik luar negeri, tetapi tidak membahas mengenai ekonomi dan daya beli masyarakat. Sebaliknya, Morrison berjanji memperbaiki ekonomi, tetapi tidak mengatakan apa pun soal lingkungan.
Albanese dalam jumpa pers mengatakan akan mengevaluasi ulang kebijakan terkait penanganan Covid-19. Di dalamnya mencakup pelacakan kontak erat dan memastikan terpenuhnya target vaksinasi. ”Selain itu, jika saya menjadi perdana menteri, saya akan perbaiki kekacauan hubungan luar negeri kita, baik dari segi politik maupun lingkungan,” tuturnya.
Menurut Albanese, Morrison mengacau karena sampai membiarkan China mendekat ke negara-negara di Kepulauan Pasifik. Contohnya, penandatanganan kerja sama pertahanan dan keamanan antara China dan Kepulauan Solomon. Albanese juga menuduh Morrison berbohong terkait pembentukan Pakta Pertahanan Australia, Inggris, dan AS (AUKUS).
Menurut dia, Morrison menyampaikan kepada Presiden AS Joe Biden bahwa Partai Buruh menyetujui pengadaan dan patroli kapal selam bertenaga nuklir dari AS. Padahal, tidak begitu kenyataannya. Gara-gara terbentuknya AUKUS, hubungan Australia dengan Perancis meregang karena sebelumnya ”Negeri Kanguru” berjanji membeli kapal selam dari Perancis. Tetangga terdekat Australia, Selandia Baru, juga melontarkan protes dan melarang kapal selam bertenaga nuklir itu beredar di sekitar wilayah mereka.
Kebijakan berikutnya yang diutamakan Albanese ialah penanganan krisis iklim. Australia merupakan penghasil dan pengekspor batubara terbesar di dunia. Berdasarkan data Pusat Pengembangan Kebijakan (CPD), ada 100.000-300.000 lapangan pekerjaan terkait eksploitasi dan perdagangan bahan bakar fosil.
Melihat suhu Bumi yang semakin panas, Pemerintah Australia hanya menargetkan penurunan emisi 26-28 persen pada tahun 2030. ”Ini rapor merah kita di tengah bukti kerusakan alam seperti kebakaran lahan, banjir akibat hujan ekstrem, dan pemutihan di taman laut Karang Penghalang Besar. Saya berjanji akan menurunkan emisi hingga 43 persen per tahun 2030,” ujar Albanese.
Morrison dalam kampanyenya mengatakan, janji-janji Albanese tidak relevan. Untuk penanganan Covid-19, misalnya, Australia sudah memutuskan untuk melangkah maju. Masyarakat tidak akan mau kembali kepada masa-masa mereka wajib melakukan tes, memakai masker, dan mengalami pembatasan sosial berskala besar.
Dilansir dari surat kabar The Guardian Australia, Morrison menyatakan fokus ke soal ekonomi. Upah di negara itu naik 2,4 persen pada 2021. Pada Maret 2022 terjadi lagi kenaikan 0,7 persen. Akan tetapi, hal itu tidak sepadan apabila dibandingkan dengan inflasi sebesar 5,1 persen. Daya beli masyarakat masih rendah.
”Keluarnya Australia dari pandemi Covid-19 akan menurunkan angka pengangguran. Secara otomatis, upah juga akan naik,” ucap Morrison.
Direktur Yayasan Konservasi Australia (ACF) Kelly O’Shanassy berpendapat, Albanese dan Morrison sama-sama luput membahas perihal krisis iklim dan ekonomi secara berkesinambungan. Kedua hal itu terkait erat karena komitmen Australia menurunkan emisi akan memengaruhi begitu banyak lapangan pekerjaan. Penanganan isu-isu tersebut harus bahu-membahu.
Ia mengungkapkan, perseroan-perseroan pertambangan, seperti Rio Tinto dan BHP, serta maskapai penerbangan Qantas sudah mengumumkan komitmen untuk membuat produksi dan layanan ramah lingkungan. ”Penerapannya lemah karena justru dari pemerintah yang tidak ada kebijakan, baik soal pelestarian lingkungan maupun teknis ketenagakerjaan,” kata O’Shanassy. (AP/AFP)