Dulu,Hari Kemenangan adalah perayaan yang membanggakan negara-negara lepasan Uni Soviet. Sekarang, Hari Kemenangan menjadi simbol penindasan antara bangsa bersaudara.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
KIEV, SENIN – Pada hari Senin (9/5/2022), Rusia merayakan Hari Kemenangan yang ke-77. Sejatinya, ini adalah perayaan yang memiliki makna mendalam bagi 15 negara pecahan Uni Soviet, termasuk Ukraina. Akan tetapi, Hari Kemenangan 2022 dinilai warga Ukraina tercemar dan rusak maknanya semenjak Rusia melangsungkan serangan ke negara tersebut.
Perayaan Hari Kemenangan teramat menyakitkan bagi Volodymyr Kostiuk (62), warga Kiev, Ukraina. Almarhum ayahnya merupakan anggota Tentara Merah Soviet yang berjuang melawan penjajahan Nazi Jerman pada masa Perang Dunia II. Di dalam peperangan itu, 27 juta penduduk Soviet yang mencakup tentara dan warga sipil tewas.
“Dulu, tidak ada segregasi dan semua berjuang melawan Nazi. Hari Kemenangan adalah milik semua bangsa bekas Soviet. Sekarang, Rusia menggunakannya untuk merayakan pembantaian kami semua,” tuturnya.
Kekecewaan serupa dengan Kostiuk juga diutarakan oleh Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy melalui akun media sosialnya. “Perayaan Hari Kemenangan kali ini adalah pencemaran dari makna peristiwa bersejarah 9 Mei 1945 ketika kita semua menang melawan Nazi,” katanya.
Lembaga jajak pendapat Rating bulan lalu mengadakan survey daring kepada warga Ukraina mengenai persepsi mereka terhadap Hari Kemenangan. Pada tahun 2021 dan sebelumnya, 80 persen warga Ukraina menganggap perayaan Hari Kemenangan itu penting karena melambangkan peristiwa penting dalam sejarah Soviet.
Akan tetapi, hasil terbaru survey mengungkapkan, sejak serangan Rusia ke Ukraina tanggal 24 Februari, hanya 30 persen warga Ukraina yang masih mementingkan Hari Kemenangan. Responden mengatakan, bagi rakyat Ukraina, Hari Kemenangan yang sekarang adalah ketika mereka berhasil mengusir pasukan Rusia dari tanah air.
Pemerintah Ukraina mengatakan bahwa ada 25.650 tentara Rusia yang tewas di medan pertempuran. Adapun Pemerintah Rusia hanya mengeluarkan data pada tanggal 25 Maret yang menyebutkan jumlah tentara mereka yang tewas ada 1.351 orang.
Rusia tercatat memiliki 1 juta personel militer di berbagai bidang. Intelijen negara-negara Barat menyebutkan, ada 180.000 tentara yang terlibat langsung dalam perang Rusia-Ukraina. Meskipun Pemerintah Rusia berusaha menutup-nutupi jumlah korban dari pihak mereka, Ukraina dan Barat mengatakan jumlahnya mencapai puluhan ribu karena Ukraina memberi perlawanan sengit.
Di Moskwa, perayaan Hari Kemenangan berlangsung relatif sederhana. Apabila biasanya dimeriahkan dengan baris-berbaris tentara dan parade persenjataan, jumlah yang turun di Lapangan Merah bisa dibilang sedikit. Hal ini karena arsenal Rusia tengah dikerahkan untuk menyerang Ukraina. Militer Ukraina menyebutkan pada pagi hari ada empat rudal Onyx Rusia yang ditembakkan dari Semenanjung Rusia meledak di kota Odessa.
“Membela tanah air adalah komitmen suci kita sebagai bangsa Rusia. Kali ini, kita berjuang membela saudara-saudara kita di Donbas yang dijajah oleh agenda NATO (Pertahanan Atlantik Utara),” kata Presiden Rusia Vladimir Putin dalam pidatonya.
Putin menggunakan perayaan ini untuk melegitimasi penyerangan ke Ukraina, terutama narasi denazifikasi Ukraina. Ia tidak mengklaim kemenangan atas Ukraina. Akan tetapi, ia mengklaim kemenangan atas kota Mariupol. Terutama dengan kekalahan Batalyon Azov yang oleh Putin diasosiasikan dengan perwujudan neo-Nazi.
Sementara itu, juru runding Rusia Vladimir Medinsky seperti dikutip oleh kantor berita Interfax mengungkapkan bahwa diskusi damai antara Rusia dengan Ukraina masih terus berlangsung. Perundingan diadakan di lokasi rahasia agar lepas dari pengaruh pihak luar.
Menteri Pertahanan Inggris Ben Wallace kepada BBC mengatakan justru kelakuan Putin sekarang ini sangat fasis. Persis seperti perbuatan Nazi yang diklaim dilawan Rusia sekarang. Hal ini bertentangan dengan narasi melawan neo-Nazi yang digaungkan Putin.
Sejumlah pakar mengkhawatirkan bahwa perayaan Hari Kemenangan ini merupakan simbol fase baru perang Rusia-Ukraina. “Kita tidak tahu apabila Putin ternyata hendak melipatgandakan serangan atau menurunkan lebih banyak pasukan lagi ke Ukraina,” tutur pakar sejarah Rusia di Universitas Miami, Amerika Serikat, Stephen Norris kepada Al Jazeera.
Meskipun demikian, Norris berpendapat bahwa kemungkinan besar masyarakat Rusia tidak menginginkan eskalasi konflik. Mayoritas rakyat Rusia memang secara garis besar mendukung penyerangan ke Ukraina. Akan tetapi, ini tidak berarti mereka mau terlibat langsung dan secara sukarela bergabung dengan militer untuk meneruskan invasi. (AFP/AP/Reuters)