Darfur Kembali Bergolak, 168 Orang Etnis Minoritas Tewas
Kekerasan sektarian pecah lagi di Darfur, Sudan barat, sehingga menyebabkan sedikitnya 168 orang warga minoritas non-Arab tewas.
Oleh
PASCAL S BIN SAJU
·4 menit baca
KHARTOUM, SENIN – Setelah relatif tenang sejak akhir Desember 2021, gurun Darfur, wilayah paling bergolak di Sudan barat jauh, kembali menelan korban jiwa. Menurut kelompok bantuan, kekerasan terbaru antarmilisi dan antarsuku yang bersaing di sana menewaskan sedikitnya 168 orang etnis minoritas non-Arab, Minggu (24/4/2022).
"Setidaknya 168 orang tewas pada hari Minggu dan 98 orang lainnya terluka," kata Adam Regal, juru bicara General Coordination for Refugees and Displaced, sebuah lembaga bantuan kemanusiaan independen, di Darfur. Dia menyuarakan kekhawatiran bahwa jumlah korban tewas mungkin saja bisa bertambah.
Darfur dilanda perang saudara yang meletus pada tahun 2003. Sempat mereda, namun eskalasi konflik kembali meningkat sejak Oktober 2021 karena dipicu oleh perselisihan terutama karena sengketa tanah, ternak, akses ke air, dan wilayah penggembalaan. Darfur sebagaimana wilayah lain di Afrika adalah wilayah yang kering, yang sebagian diantaranya bergurun pasir.
Regal mengatakan, pertempuran terakhir dimulai pada Jumat (22/4/2022) di wilayah Krink, Darfur Barat. Kekerasan pecah ketika anggota milisi suku menyerang desa-desa etnis minoritas Massalit sebagai pembalasan atas pembunuhan dua anggota suku mereka. Sedikitnya delapan orang tewas, Jumat itu.
General Coordination for Refugees and Displaced mencatat, seorang pemimpin suku Massalit, Minggu (24/4/2022), melihat banyak mayat di desa-desa di Krink, sekitar 80 kilometer dari Geneina, ibu kota Provinsi Darfur Barat. Perwakilan Khusus PBB Volker Perthes mengecam keras pembunuhan itu dan menyerukan penyelidikan.
Petugas medis dari Komite Pusat Dokter Sudan (CCSD) menyebut kondisi kesehatan di Darfur Barat sebagai “bencana”. Dia melaporkan, beberapa rumah sakit diserang. Komite Palang Merah Internasional meminta pihak berwenang untuk memastikan proses evakuasi korban aman.
Gambar yang diunggah di media sosial, Minggu, menunjukkan rumah-rumah yang terbakar. Gumpalan asap hitam pekat membubung ke angkasa dari desa-desa itu. Sementara di beberapa desa lainnya tampak hamparan bekas gubuk-gubuk yang telah dibumihanguskan oleh kelompok penyerang.
Namun, wartawan tidak dapat memverifikasi keaslian gambar tersebut. Lembaga bantuan menuduh milisi Janjaweed sebagai dalang penyerbuan. Milisi bersenjata itu mulai terkenal pada awal 2000-an karena berperan dalam penindasan pada pemberontakan etnis minoritas di Darfur.
Kelompok HAM mengatakan, sejak tahun 2000-an, banyak anggota Janjaweed diintegrasikan ke dalam Pasukan Pendukung Cepat paramiliter. Pasukan dipimpin Jenderal Mohamed Hamdan Daglo, wakil pemimpin de facto Sudan. Dalam sepekan ini milisi itu telah melakukan pembunuhan, pembakaran, penjarahan, dan penyiksaan.
Kekerasan mematikan terakhir yang memakan korban jiwa sekitar 100 orang di wilayah Darfur terjadi pada November-Desember 2021. Saat itu, daerah Jabal Moon, Darfur Barat menjadi pusat kekerasan. Puluhan desa diserang dan dibakar. Dewan Pengungsi Norwegia (NRC) sangat prihatin dengan meningkatnya kekerasan itu.
Dalam serangan selama tiga minggu hingga 8 Desember 2021, ratusan ribu orang mengungsi. Konflik bersenjata yang mengerikan di Darfur itu menyebabkan sekitar 100 tewas dan 15 desa atau tempat pengungsian di Jabal Moon dibakar.
Sampai pada Desember 2021, setidaknya lebih dari 430.000 orang mengungsi karena konflik di Sudan. Sebagian besar gelombang pengungsian terjadi antara Januari hingga Oktober tahun itu. Pengungsian akibat kekerasan terhadap warga sipil ini adalah yang tertinggi sejak puncak konflik Darfur pada 2003.
Konflik yang meletus pada tahun 2003 mempertemukan pemberontak etnis minoritas yang mengeluhkan diskriminasi terhadap pemerintahan Presiden Omar al-Bashir yang didominasi Arab. Rezim Bashir menanggapi dengan membiarkan Janjaweed - yang sebagian besar direkrut dari suku-suku nomaden penggembala Arab - melakukan berbagai kekerasan mematikan.
Pertempuran pada saat itu, menurut angka Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), menewaskan 300.000 orang dan menyebabkan sekitar 2,5 juta orang mengungsi. Konflik utama telah mereda di sebagian besar Darfur tetapi wilayah itu tetap dibanjiri senjata. Bentrokan mematikan sering meletus terutama karena perebutan akses ke padang rumput atau sumber air.
Bashir digulingkan pada April 2019 setelah protes massal selama berbulan-bulan terhadap pemerintahannya. Dalam catatan PBB, dalam beberapa bulan terakhir, puluhan orang tewas dan ratusan rumah dibakar di tengah kekerasan yang beberapa kali meletus di Darfur.
Kekerasan terbaru mencerminkan gangguan keamanan yang lebih luas di Darfur setelah kudeta militer yang dipimpin oleh panglima militer Abdel Fattah al-Burhan tahun lalu. Dia menggagalkan transisi ke pemerintahan sipil penuh setelah penggulingan Bashir.
Sebelum kekerasan terbaru, Ali Muhammad Ali Abd-Al-Rahman, pria yang dituduh memimpin milisi Janjaweed mengaku tidak bersalah atas berbagai tuduhan kejahatan perang. Pada awal persidangan pertama di Mahkamah Kriminal Internasional atas konflik Darfur, dia mengaku tak bersalah.
Abd-Al-Rahman ditugaskan untuk mengawasi ribuan pejuang Janjaweed pro-pemerintah selama puncak pertempuran pada 2003-2004. "Saya tidak bersalah atas semua tuduhan ini," katanya kepada hakim. Dia secara sukarela menyerahkan diri ke pengadilan yang berbasis di Den Haag pada Juni 2020. (AFP/REUTERS)