Politik Inklusif Diperlukan untuk Akhiri Krisis di Sudan
Runtuhnya transisi demokrasi di Sudan bisa menjadi bencana kawasan. Proses politik inklusif yang difasilitasi secara internasional diperlukan untuk mengakhiri krisis.
Warga Sudan kembali turun ke jalan-jalan ibu kota Khartum dan kota-kota besar lainnya di negara itu untuk memprotes penggulingan pemerintahan transisi oleh militer. Dinamika politik terbaru dilaporkan semakin membuat Sudan terjerumus ke dalam kekacauan panjang yang ruwet.
Apa yang terjadi di Sudan bukan hanya masalah Afrika. Kebuntuan politik ini telah menyentuh pusaran persaingan global antara tatanan demokrasi berbasis hukum dan kekuatan yang menawarkan pola asuh otoriter alternatif. Runtuhnya transisi demokrasi Sudan dapat memperkuat kehadiran Rusia di kawasan itu.
Kantor berita Associated Press, Rabu (5/1/2022), melaporkan, bentrokan antara pasukan keamanan dan massa pengunjuk rasa prodemokrasi—sejak kudeta terjadi pada 25 Oktober 2021—menyebabkan sekitar 60 orang tewas dan ratusan orang terluka. Bentrokan terbaru terjadi pada Selasa (4/1/2022), dua hari setelah Perdana Menteri Sudan Abdalla Hamdok mengundurkan diri, Minggu (2/1/2022).
Baca juga: Transisi Demokrasi Sudan di Ujung Tanduk
Krisis politik Sudan diawali protes besar-besaran generasi muda Sudan pada tahun 2018-2019. Mereka menuntut Presiden Omar al-Bashir, tokoh militer yang telah berkuasa dengan tangan besi selama 30 tahun, mundur. Di tengah aksi protes berdarah yang meningkat, militer Sudan mengudeta Bashir pada 11 April 2019.
Setelah tumbangnya Bashir, pemerintahan transisi dibentuk pada Juli 2019 untuk menghadirkan pemerintahan yang lebih demokratis di Sudan. Pemerintahan transisi yang merupakan hasil kesepakatan pihak prodemokrasi dan militer diproyeksikan untuk masa kerja 39 bulan. Para petinggi militer bersama koalisi prodemokrasi dan oposisi bersepakat untuk berbagi kekuasaan selama masa transisi dan mengakhiri kebuntuan politik sejak penggulingan Bashir. Hamdok dilantik menjadi PM Interim Sudan, 21 Agustus 2019.
Tugas utama pemerintahan transisi di bawah dewan kedaulatan bersama sipil-militer itu, antara lain, mempersiapkan pemilu dan menyelidiki pembantaian di Khartum. Namun, di tengah upaya politik yang alot, panglima militer Sudan, Abdel Fattah al-Burhan, mengudeta pemerintahan transisi yang dipimpin Hamdok pada 25 Oktober 2021.
Lihat foto: Warga Sudan Turun ke Jalan Menentang Kudeta Militer
Sudan yang relatif tenang sejak terbentuknya pemerintahan transisi kembali bergolak. Demi menenangkan massa antikudeta, Burhan memulihkan kekuasaan PM Hamdok pada 21 November 2021.
Namun, situasi tidak kunjung membaik. Militer tidak ingin kehilangan pengaruh kekuasaannya, sebaliknya gerakan prodemokrasi tidak menginginkan militer berkuasa lagi. Di tengah kebuntuan itu, Hamdok pun mundur. Gejolak politik membuat Sudan ada dalam tarikan kuat sipil versus militer.
Baca juga: Militer Kudeta Lagi, Transisi Demokrasi Sudan Terhenti
Kekacauan terbaru terjadi tepat di saat Sudan memperingati 66 tahun kemerdekaannya, 1 Januari 2021. Setahun silam, rakyat Sudan memimpikan hari jadi kemerdekaan tahun ini dirayakan dengan meriah karena negara itu tampak semakin dekat pada pemerintahan demokrasi yang dipimpin sipil.
Sejak Bashir tumbang, Sudan sejatinya telah melihat titik terang. Saat masa transisi, Sudan mulai terbuka kepada dunia luar dan secara bertahap memulihkan hubungan diplomatik dengan komunitas internasional. Amerika Serikat mengeluarkan Sudan dari daftar negara sponsor terorisme pada Desember 2020 dan menjanjikan pemulihan reputasi Sudan di dunia.
Sudan, yang sering dikaitkan dengan perang saudara dan kudeta militer, mulai meraih kepercayaan internasional dan bersiap maju menuju negara yang stabil di Afrika. Transisi politik Sudan mewakili secercah harapan baru untuk pembentukan demokrasi dan stabilitas di kawasan itu.
Sayangnya, pemerintahan transisi yang baru berusia 13 bulan kembali dikudeta pada Oktober 2021, membuat Sudan berbalik menjadi tidak stabil. Bertindak di luar kesepakatan konstitusional, Burhan selaku Ketua Dewan Kedaulatan Transisi membubarkan kabinet, menangkap para menteri dan politisi senior, termasuk Hamdok.
Baca juga: Kudeta Militer Akhiri Transisi Demokrasi Sudan dengan Kekacauan
Pemulihan jabatan Hamdok pada 21 November 2021 ternyata tak disertai pengembalian tatanan konstitusional yang sebelumnya telah dibangun. Dampaknya terus memburuk yang berpuncak pada pengunduran diri Hamdok pada Minggu lalu.
Hamdok mengajukan pengunduran dirinya karena inisiatifnya yang berulang untuk membentuk konsensus antara kekuatan politik dan militer telah gagal. Pada dasarnya, pilar-pilar perjanjiannya pada 21 November telah runtuh.
Prioritas kesepakatan sebenarnya adalah untuk menghentikan pertumpahan darah, mengakhiri tindakan keras terhadap pengunjuk rasa damai, dan memberi Hamdok kekuatan penuh untuk melakukan tugas eksekutifnya. Tak satu pun dari kesepakatan itu terwujud. Junta militer malah memperkuat kukunya.
Pengunduran diri Hamdok membuka semua kemungkinan di Sudan karena militer dan warga sipil berkonfrontasi langsung. Bahkan, pengunduran diri Hamdok memicu krisis konstitusional. Dewan Legislatif Transisi yang memiliki wewenang untuk memilih perdana menteri jika posisi itu kosong, belum juga terbentuk.
Sekarang ada risiko bahwa militer akan memberikan kekuatan tambahan untuk dirinya sendiri di bawah keadaan darurat. Dengan itu militer bisa secara sepihak menunjuk PM baru. Langkah sepihak seperti itu tentu tidak sah dan tidak konstitusional, serta tidak dapat diterima oleh kubu prodemokrasi dan pihak lain.
Baca juga: Rakyat Sudan Menuntut Pemulihan Kekuasaan Sipil
Menurut Amgad Fareid Eltayeb, mantan Asisten Kepala Staf Hamdok, runtuhnya transisi demokrasi Sudan akan menjadi bencana besar. Situasi di Sudan bukan masalah Afrika saja, melainkan juga menyentuh pusaran persaingan global antara tatanan demokrasi berbasis hukum dan kekuatan yang menawarkan pola asuh otoriter atau pendekatan otoriter alternatif.
”Runtuhnya transisi demokrasi sipil di Sudan akan memperkuat kehadiran Rusia di kawasan itu,” kata Eltayeb dalam tulisannya di Foreign Policy, 3 Januari 2022. Rusia secara aktif berusaha untuk membuat perjanjian dengan militer Sudan untuk mendirikan pangkalan Angkatan Laut Rusia di pantai Laut Merah.
Ada banyak laporan tentang kehadiran luas Grup Wagner, kontraktor tentara bayaran dari Rusia di sejumlah negara di Afrika, termasuk Sudan. Bahkan, aktivitas Grup Wagner dikaitkan dengan kudeta militer pada 25 Oktober 2021 yang menumbangkan pemerintahan transisi Sudan.
Kehadiran Rusia di Sudan tidak mengejutkan, mengingat keterlibatan pasukan Wagner di Sahel dan aktivitas mereka di sektor pertambangan, pencucian uang, latihan militer, dan tugas keamanan zona abu-abu.
Media Foreign Policy, edisi 24 September 2021, menyebutkan, ciri khas Wagner adalah penggabungan aktivitas tentara bayarannya dengan imbalan ekstraksi sumber daya alam yang menguntungkan di negara tempat mereka beroperasi.
”Ini adalah pola yang telah dimainkan di Suriah, Libya, Sudan, dan Republik Afrika Tengah, di mana perusahaan yang berafiliasi dengan grup tersebut diberikan konsesi penambangan emas dan berlian pada tahun 2018,” kata laporan Foreing Policy tersebut.
Runtuhnya transisi demokrasi Sudan akan menjadi bencana bagi negara tetangga Sudan, sistem global dan regional, dan mereka yang terus berjuang bersama para pengunjuk rasa prodemokrasi di sejumlah kota di Sudan. Proses politik inklusif yang difasilitasi secara internasional diperlukan untuk mengakhiri krisis ini dan memulai transisi politik yang baru.
Proses politik yang difasilitasi secara internasional tentu saja mengharuskan kepemimpinan, mandat, komitmen, dan sumber daya. Berdiri bersama rakyat Sudan untuk meraih kebebasan, perdamaian, dan keadilan, akan mendorong stabilitas, kesetaraan, dan janji demokrasi yang melampaui batas negara. (AP/AFP/REUTERS)