Mengintip Kehidupan di Korea Utara lewat Sampah-sampahnya
Seorang profesor di Korea Selatan mengintip dan mengorek potret kehidupan terisolasi di Korea Utara melalui sampah-sampah asal negara itu yang hanyut dan menepi di pantai-pantai Korsel. Ia menemukan banyak hal menarik.
Seoul
Seorang profesor di Korea Selatan punya cara unik untuk ”mengintip” kehidupan di Korea Utara. Bukan lewat teropong atau media, melainkan melalui sampah-sampah dari negara itu yang hanyut dan menepi di pantai-pantai di Korea Selatan. Bagi sang profesor, sampah-sampah tersebut bagaikan ”harta karun” yang bisa menguak kehidupan tersembunyi di Korea Utara.
Kang Dong Wan (48), nama profesor yang mengajar di Dong-A University, Korsel, itu, menuturkan bahwa mengamati sampah-sampah dari Korut tersebut merupakan salah satu ikhtiar memperoleh pemahaman yang lebih baik mengenai rakyat Korut. Selain itu, juga untuk mempelajari bagaimana cara menjembatani jurang perbedaan yang membelah dua Korea ketika—entah kapan waktunya—kelak ada unifikasi Korea.
”(Sampah-sampah) ini sangat penting karena kita bisa mempelajari produk apa yang dibuat dan digunakan warga Korut,” kata Kang dalam wawancara dengan kantor berita Associated Press (AP) belum lama ini.
Baca juga: Surat Terakhir, Ungkap Harapan Mon Jae-in dan Kim Jong Un untuk Korea
Semua ini bermula dari pandemi Covid-19. Sebelum pandemi Covid-19, untuk mengetahui kehidupan di Korut, Kang biasa berkunjung ke kota-kota perbatasan China-Korut, ngobrol dengan warga Korut dan membeli barang-barang produk Korut di sana, serta memotret desa-desa Korut dari seberang sungai di perbatasan China. Namun, sejak pandemi Covid-19, perbatasan China ditutup bagi warga asing.
Kang tidak kehilangan akal. Mulai September 2020, ia menyusuri lima pulau di perbatasan barat Korsel, berjarak sekitar 4-20 kilometer dari wilayah Korut. Perjalanan ke wilayah-wilayah perbatasan ini sebenarnya cukup berisiko. Yang paling sering dia kunjungi adalah Pulau Yeonpyeong. Pulau ini pada 2010 pernah dibombardir tembakan artileri oleh tentara Korut. Empat orang Korsel tewas kala itu.
Meski demikian, Kang memperoleh banyak hal tentang pemahaman terhadap kehidupan warga Korut. Dari pulau-pulau tersebut, ia mengumpulkan sekitar 2.000 item sampah Korut, antara lain bungkus snack, kantong minuman jus, bungkus permen, dan botol minuman.
Baca juga: PBB: Penduduk Korea Utara Terancam Kelaparan
Dari temuannya pula, Kang paham, warga Korut generasi saat ini semakin sadar akan ”kenikmatan” pasar dan ekonomi. Lewat produk-produk yang dibuat di negerinya, Pemimpin Korut Kim Jong Un juga ingin membuktikan kepada rakyatnya bahwa pada eranya ada sejumlah perubahan di Korut.
Temuan Kang mengonfirmasi laporan-laporan media Korut bahwa Kim tengah menggenjot produksi sejumlah barang konsumsi dan sektor desain industri yang lebih besar guna memenuhi kebutuhan rakyatnya serta meningkatkan taraf hidup mereka. ”Kim tidak akan mendapat dukungan mereka jika ia hanya menekan dan mengontrol hidup mereka, sementara ia tetap bersikukuh melanjutkan program pengembangan nuklirnya,” ujar Kang.
Dari pengamatannya terhadap sampah-sampah dari Korut itu, Kang terkagum-kagum saat mencermati puluhan bungkus produk yang beraneka ragam. Ada bungkus bumbu, es krim, roti snack, susu, serta produk-produk yogurt. Banyak dari bungkus-bungkus itu menampilkan gambar-gambar atau kartun, dengan tampilan bentuk huruf-hurufnya yang menonjol. Dari segi desain, terlihat ketinggalan zaman jika diukur dari standar Barat. Desainnya lebih mirip tiruan atas desain ala Korsel dan Jepang.
Dari informasi bahan-bahan produk yang tertera di bungkusnya, Kang memahami, orang Korut menggunakan daun-daun sebagai pengganti gula. Diduga, mereka kesulitan memperoleh gula dan perlengkapan untuk mengolah gula. Selain itu, orang Korut diperkirakan tak mampu memperoleh bahan-bahan alami yang mahal, seperti daging dan ikan, untuk membuat sup Korea atau masakan rebus.
Ada yang menarik dari frase-frase tulisan yang tertera pada bungkus plastik detergen. Disebutkan, misalnya, ”untuk teman ibu rumah tangga” atau ”melayani perempuan”. Ada asumsi, di sana hanya perempuan yang melakukan pekerjaan-pekerjaan terkait produk tersebut. Ini sekaligus menggambarkan status perempuan di tengah masyarakat Korut yang didominasi para laki-laki.
Baca juga: Banyak Perempuan Korea Utara Dilecehkan
Menurut profesor riset di Universitas Konkuk, Jeon Young-sun, snack-snack dan kue-kue di Korut umumnya lebih lembut dan lebih berasa pada tahun-tahun terakhir ini. Dari kualitasnya, memang masih tertinggal dari produk-produk Korsel yang di tingkat internasional saja sudah kompetitif.
Noh Hyun-jeong, seorang pembelot asal Korut, bercerita bahwa dirinya seperti ”klimaks” saat mencicipi roti dan kue-kue Korsel saat tiba di selatan pada 2007. Ia menuturkan, penganan dan permen yang dia konsumsi di Korut umumnya pahit rasanya dan ”keras seperti batu”.
Kang Mi-Jin, pembelot Korut lainnya yang kini mengelola perusahaan yang menganalisis ekonomi Korut, menambahkan bahwa dirinya pernah meminta beberapa warga Korsel mencicipi kue dan permen Korut sambil ditutup mata mereka. Warga Korsel itu mengira, mereka sedang mencicipi kue dan permen Korsel. Namun, kata Ahn Kyung-su, yang mengelola laman seputar isu-isu kesehatan di Korut (DPRKHEALTH.ORG), kue Korut yang dia peroleh pada 2019 ”enggak ada rasanya”.
Baca juga: Lintasi Perbatasan, Seorang Pria Korea Utara Membelot ke Korea Selatan
Kembali pada cerita Kang Dong Wan, profesor yang mengoleksi sampah-sampah dari Korut. Dari penelusuran dan pengamatan atas sampah-sampah itu, ia menulis sebuah buku berjudul ”Mengumpulkan Sampah Korea Utara di Lima Pulau Perairan Barat”.
Berikutnya, Kang mulai menyusuri dan mengumpulkan sampah-sampah Korut di pantai-pantai wilayah perbatasan timur Korsel. Kang menuturkan, banyak suka-duka selama ia menjalani aktivitas mengumpulkan sampah-sampah Korut tersebut.
Lihat juga foto-foto: Kabar dari Korea Utara melalui Foto-foto
Ia, misalnya, kadang-kadang ditanya-tanya oleh marinir Korsel yang mendapat laporan warga tentang aktivitasnya yang dipandang mencurigakan. Kang juga kerap terdampar di pulau-pulau itu gara-gara kapal feri yang mengangkutnya tidak beroperasi karena cuaca buruk. Tidak jarang, beberapa kenalan dan koleganya mengolok-olok aktivitasnya yang dinilai tak ada faedahnya.
”Namun, saya terpacu untuk mengumpulkan lebih banyak lagi sampah-sampah (dari Korut). Dan saya semakin mantap untuk menemukan jawaban tentang berapa banyak produk di sebuah negara yang kita tidak mampu masuk dan apa yang bisa kita temukan dari sampah itu,” ujar Kang.
”Ketika angin bertiup kencang dan gelombang laut bergulung tinggi, sesuatu pasti akan tersapu hanyut dan menepi ke pantai. Saat itulah saya begitu gembira karena saya akan bisa mendapatkan sesuatu yang baru.” (AP)