Surat Terakhir, Ungkap Harapan Moon Jae-in dan Kim Jong Un untuk Korea
Kedua pemimpin Korea itu menyatakan harapannya atas sebuah hubungan bilateral yang lebih baik di antara kedua pihak. Kim dalam suratnya menghargai upaya perdamaian Moon di masa pemerintahannya.
Oleh
ROBERTUS BENNY DWI KOESTANTO
·4 menit baca
SEOUL, JUMAT — Presiden Korea Selatan yang akan segera lengser, Moon Jae-in, mengirimkan sepucuk surat perpisahan kepada Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un pada Rabu (20/3/2022). Surat itu langsung dibalas oleh Kim sehari setelahnya. Kedua pemimpin itu menyatakan harapannya atas sebuah hubungan bilateral yang lebih baik di antara kedua Korea. Kim dalam suratnya menghargai upaya perdamaian bagi kedua Korea yang telah dilakukan Moon di masa pemerintahannya.
Presiden Moon secara resmi akan digantikan oleh presiden terpilih Korsel, Yoon Suk Yeol, mulai 10 Mei mendatang. Yoon berasal dari partai konservatif Korsel. Sejumlah kalangan memroyeksikan Seoul memilih mengambil sikap lebih keras terhadap Pyongyang di masa kepemimpinan Yoon.
Dibandingkan dengan Moon Jae-in, Yoon tampak lebih enggan mengupayakan "pembicaraan demi pembicaraan" dengan Korut. Sebaliknya, ia bertekad meningkatkan aliansi Seoul dengan Washington dan melanjutkan latihan militer skala penuh dengan AS untuk melawan ancaman nuklir Korut.
Dalam dinamika seperti itu, respon Kim Jong Un terhadap surat Moon terasa sentimental. Kantor berita resmi Pyongyang mengatakan pada Jumat (22/4) bahwa pertukaran surat mereka menunjukkan "kepercayaan yang mendalam” secara khusus di antara keduanya. Kantor Moon juga mengkonfirmasi bahwa dia bertukar surat dengan Kim tetapi tidak mengungkapkan apa yang dikatakan Moon dalam suratnya itu.
Kantor berita KCNA mengatakan Moon menulis dalam suratnya kepada Kim bahwa dia akan terus mendukung upaya reunifikasi Korea berdasarkan deklarasi bersama mereka untuk perdamaian antar-Korea yang dikeluarkan setelah pertemuan mereka pada 2018.
“Kim dan Moon berbagi pandangan bahwa hubungan antar-Korea akan meningkat dan berkembang seperti yang diinginkan dan diantisipasi oleh bangsa (Korea) jika (Utara dan Selatan) melakukan upaya tanpa lelah dengan penuh harapan,” kata KCNA.
Hubungan kedua Korea yang masih dalam status perang itu naik turun. Ketegangan di Semenanjung Korea telah meningkat sejak serangkaian uji coba senjata Korut tahun ini. Perhatian atas program nuklir Korut mencuat khususnya sejak lima tahun lalu, terutama terkait langkah Korut menggelar uji coba rudal balistik antarbenua yang mereka kembangkan. Program nuklir Korut berkelindan dengan pemberlakuan sanksi Barat terhadap Pyongyang. Hal itu menjadi salah satu perhatian utama Pemerintah Amerika Serikat di masa pemerintahan Presiden Donald Trump.
Militer Korsel kemudian mendeteksi tanda-tanda bahwa Korut sedang membangun kembali terowongan di tempat uji coba nuklirnya. Padahal tempat itu sebagian telah dibongkar beberapa minggu sebelum pertemuan pertama Kim dengan Presiden Donald Trump pada Juni 2018. Hal itu dijadikan sebuah indikator yang mungkin bahwa Korut sedang bersiap untuk melanjutkan uji coba ledakan nuklirnya.
Moon bertemu Kim tiga kali pada 2018 dan melobi untuk membantu mengatur pertemuan Kim dengan Trump. Namun diplomasi kedua Korea itu lalu tidak pernah pulih pasca runtuhnya pertemuan Kim-Trump kedua pada 2019 di Vietnam. Dalam pertemuan itu Amerika menolak tuntutan Korut untuk mencabut sanksi atas Korut dengan imbalan pembongkaran fasilitas nuklir yang sudah tua oleh Pyongyang.
Kim sejak itu berjanji untuk meningkatkan program nuklirnya untuk melawan tekanan AS yang disebutnya "seperti gangster". Ia pun bertekad mempercepat pengembangan senjatanya meskipun sumber daya Pyongyang diduga sangat terbatas dan mengalami kesulitan terkait pandemi Covid-19. Korut pun memutuskan semua kerja sama dengan pemerintah Moon sambil mengungkapkan kemarahan atas kelanjutan latihan militer AS-Korsel. Padahal sebelumnya latihan itu telah dibatasi dalam beberapa tahun terakhir untuk mempromosikan diplomasi Seoul-Pyongyang.
Analis mengatakan Korut kemungkinan akan meningkatkan demonstrasi senjata dalam beberapa minggu atau bulan mendatang. Hal itu dilakukan sebagai bagian dari strategi Pyongyang untuk memantik perhatian AS yang kini tengah memusatkan perhatian pada perang Rusia-Ukraina dan persaingan dengan China. Sebagaimana diberitakan, pekan ini, Utusan Khusus Presiden Biden untuk Korut melakukan perjalanan ke Seoul untuk bertemu dengan sejumlah pejabat senior Korsel. Seoul dan Washington mengatakan mereka sepakat tentang perlunya respon kuat untuk melawan “perilaku destabilisasi” Korut.
Setelah bertahun-tahun mencoba lebih menahan diri, pemerintahan Moon akhir-akhir ini tampak lebih menentang uji coba senjata Korut. Seoul mengkritik pemerintah Kim karena mengakhiri penangguhan uji coba rudal jarak jauh yang dipaksakan sendiri dan mendesak kembalinya diplomasi. Seoul juga menuduh Korut menghancurkan fasilitas milik Korsel di resor Gunung Berlian Utara di mana mereka mengadakan tur bersama, hingga 2008. Kim pada 2019 menyebut fasilitas Korsel di sana buruk dan memerintahkan fasilitas itu dihancurkan, meskipun prosesnya tertunda karena pandemi Covid-19. (AP/AFP)