Afghanistan Dikhawatirkan Kembali Jadi Pusat Terorisme Global
Kekerasan yang terus meningkat sejak Taliban berkuasa memicu kekhawatiran bahwa Afghanistan kembali menjadi pusat ketidakstabilan dan terorisme di kawasan.
Ketidakstabilan politik, ekonomi, keamanan, serta nihilnya pengakuan internasional terhadap rezim membuat Afghanistan di ambang negara gagal. Kekerasan yang terus meningkat sejak Taliban berkuasa memicu kekhawatiran bahwa Afghanistan kembali menjadi pusat ketidakstabilan dan terorisme di Asia Selatan, Asia Tengah, dan sekitarnya.
Ledakan bom yang menarget institusi pendidikan, Selasa (19/4/2022), menewaskan sekitar 6-10 orang, termasuk pelajar di sekolah itu dan melukai 17 orang lainnya. Serangan bom terbaru itu menghantam Sekolah Menengah Abdul Rahim Shaheed dan di dekat Pusat Pendidikan Mumtaz. Dua lokasi itu berada di kawasan Dasht-e-Barchi, Kabul, yang didominasi minoritas Syiah.
Sampai berita ini diturunkan, belum ada yang mengklaim atas serangan bom tersebut . Di masa lalu, lingkungan Dasht-e-Barchi sering menjadi sasaran serangan mematikan oleh sayap Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Kelompok teror ini sering menyerang minoritas Syiah dan minoritas lainnya .
Baca juga:Era Taliban dan Ancaman Terorisme
Sayap NIIS yang dikenal sebagai NIIS di Provinsi Khorasan (NIIS-K), sebelumnya telah menargetkan sekolah-sekolah, khususnya di lingkungan Dasht-e-Barchi yang didominasi Syiah. Pada Mei 2021, beberapa bulan sebelum Taliban mengambil alih kekuasaan di Kabul, lebih dari 60 anak, kebanyakan perempuan, tewas ketika dua bom diledakkan di luar pagar sekolah di Dasht-e-Barchi.
Lima hari sebelum serangan terbaru di Dasht-e-Barchi, tujuh tentara Pakistan dibunuh di Distrik Waziristan Utara, Pakistan. Islamabad mengatakan, tentaranya tewas akibat serangan teroris yang beroperasi dari wilayah Afghanistan. Angkatan Udara Pakistan lalu menyerang Provinsi Khost dan Kunar di Afghanistan timur, Sabtu (16/4/2022), sehingga menewaskan 48 warga sipil.
Islamabad dan Kabul pun bersitegang. Taliban didesak untuk bertindak mengatasi gerilyawan yang menyerang dari wilayah Afghanistan. Daerah-daerah di sepanjang perbatasan telah lama menjadi benteng bagi banyak kelompok militan, termasuk Tehrik-i-Taliban Pakistan (TTP). Sementara di Afghanistan, NIIS-K menghadirkan tantangan keamanan terbesar bagi Taliban.
Kekerasan yang terus meningkat sejak Taliban merebut Kabul, 15 Agustus 2021, dan mundurnya pasukan asing yang dipimpin Amerika Serikat dari Afghanistan di akhir bulan itu, membuat Afghanistan semakin labil. Peningkatan kekerasan memicu kekhawatiran: Afghanistan bisa kembali menjadi pusat ketidakstabilan dan terorisme di Asia Selatan dan Asia Tengah.
Afghanistan memang telah lama dikenal sebagai basis militan yang berambisi melancarkan serangan global. Puluhan kelompok yang telah hadir sejak pergantian kekuasaan Taliban dari 1996 hingga 2001 kembali beroperasi. Menurut sumber keamanan, diplomatik, dan militer, semua kelompok militan tersebut sedang mencari peluang untuk memperluas jangkauan mereka.
Baca juga: Masa Depan Hubungan Taliban dengan Al Qaeda
Kelompok teror, seperti Al Qaeda, NIIS, Gerakan Islam Uzbekistan (IMU), Gerakan Islam Turkestan Timur (ETIM), TTP, dan Lashkar-e-Taiba (LeT), paling menonjol. Menurut identifikasi AS dan PBB, enam kelompok itu paling menonjol di antara sekitar 20 kelompok militan di Afghanistan dalam 20 tahun kehadiran AS dan sekutunya di negara itu.
Situs berita Kompas.id sebelumnya pernah mengulas tentang sulitnya membayangkan rezim Taliban tanpa Al Qaeda. Kohesi Taliban sendiri akan terancam jika berani melawan Al Qaeda, mitra terkuat melawan NIIS dan pesaing lainnya. Beberapa petinggi Taliban sangat dekat dengan Al Qaeda, kelompok yang menyerang AS, 11 September 2001.
Hadirnya kembali Taliban di pucuk kepemimpinan Afghanistan masih menjadi perhatian banyak pihak. Sejumlah negara, terutama Eropa dan AS, masih dirundung kecemasan. Mereka mewaspadai kemungkinan menguatnya Al Qaeda, jaringan teroris yang menyerang AS pada 11 September 2001, dan kelompok teror lainnya yang menjadikan negara di Asia Selatan itu sebagai basis mereka.
Dalam laporan pada 14 September 2021, New York Times menyebutkan, kelompok Al Qaeda berpotensi membangun lagi kekuatannya di Afghanistan dalam satu sampai dua tahun ke depan. Beberapa anggota kelompok teroris ini bahkan sudah kembali ke Afghanistan. Sejumlah media juga menambahkan, kelompok teroris lain juga sudah ada di negara itu.
”Afghanistan adalah Al Qaeda dan Al Qaeda adalah Afghanistan,” kata Ali Mohammad Ali, pakar keamanan, seperti dikutip oleh Foreign Policy, 20 April 2022. Ali adalah konsultan yang pernah bekerja dengan Pemerintah Republik Islam Afghanistan, pemerintahan yang didukung Barat, dan telah digulingkan oleh Taliban lebih dari delapan bulan lalu.
Baca juga: Mustahil Taliban Putuskan Hubungan dengan Al Qaeda
Jauh-jauh hari sebelum Kesepakatan Doha, antara Washington dan Taliban, diteken pada 29 Februari 2020, yang berkonsekuensi pada keluarnya AS dari Afghanistan, banyak kalangan memperingatkan potensi ketidakstabilan baru di negara itu. Diperingatkan, kesepakatan akan memberi jalan untuk Taliban kembali berkuasa dan berarti juga menghidupkan lagi ancaman terorisme global.
Di bawah Kesepakatan Doha, Taliban, antara lain, berjanji untuk tidak menyerang pasukan, entitas, dan negara AS. Sebaliknya, Afghanistan sekarang ini justru menjadi basis serangan terhadap negara-negara tetangga, termasuk Pakistan dan, tampaknya, Uzbekistan. Mungkin juga ETIM, separatis yang dibentuk para militan Uighur di Xinjiang, sedang menyusun strategi menyerang China.
Kebangkitan kelompok teror terjadi di saat ekonomi, hukum, dan ketertiban, serta stabilitas keamanan di seluruh Afghanistan ambruk. Menjadi bagian di dalamnya adalah Taliban yang tak kunjung membentuk pemerintahan inklusif dan bahkan menerapkan lagi aturan lamanya. Ini menyulitkan Taliban meraih dukungan internasional.
Peningkatan kekerasan, dari serangan anti-Taliban oleh perlawanan yang berbeda hingga serangan bunuh diri yang menargetkan etnis minoritas, menunjukkan bahwa Taliban telah kehilangan daya cengkeram pemerintahannya. Sementara kelompok militan berkembang pesat, sebagian besar dikerahkan untuk tujuan geopolitik masing-masing kelompok.
”Ketidakmampuan Taliban untuk memerintah telah secara efektif memberikan kekuasaan penuh bagi kelompok-kelompok teroris untuk beroperasi di dan dari wilayah Afghanistan,” kata Ali.
Baca juga: Paradoks Pemerintahan Taliban
Mirwais Naab, mantan Wakil Menteri Luar Negeri Afghanistan, dari pemerintahan pro-Barat yang digulingkan Taliban, mengatakan, beberapa kelompok teror di Afghanistan, termasuk NIIS-K, telah bekerja sama dengan IMU untuk mengacaukan beberapa negara tetangga di Asia Tengah. Tentu saja itu, katanya, seperti dikutip Foreign Policy, akan membawa ketidakstabilan di Asia Selatan, Asia Tenggah, dan sekitarnya.
Media Voice of America (VOA), melaporkan, NIIS-Khorasan mengumumkan telah menembakkan 10 roket ke pangkalan militer Termez, Uzbekistan, Senin (18/4/2022). Roket ditembakkan dari Hairatan, kota perbatasan di Provinsi Balkh, Afghanistan utara, yang berseberangan dengan Termez.
Naab menggambarkan serangan ke Termez itu sebagai upaya NIIS-K untuk mengklaim misi IMU di Uzbekistan dan menghubungkan dirinya dengan sel-sel tidur serta kelompok-kelompok ekstremis di sana. Namun, ia tidak melihat banyak perbedaan di antara mereka. ”Hubungan mereka dekat,” kata Naab.
Klaim NIIS-K sulit diverifikasi. Pemerintah Uzbekistan menyebutnya sebagai ”provokasi”. Dalam sebuah pernyataan, Tashkent mengatakan bahwa itu ”sama sekali tidak benar” dan bahwa wilayah perbatasan sangat stabil. Mungkin ada motif geopolitik di balik serangan terhadap Uzbekistan, tetangga Afghanistan di Asia Tengah itu: Rusia.
Banyak negara Asia Tengah melihat hubungan mereka dengan Moskwa sebagai potensi kerugian menyusul invasi Rusia ke Ukraina dan sanksi Barat yang akan membawa masalah ekonomi dan sosial ke wilayah mereka. Ketatnya pasokan komoditas dengan harga mahal bisa memicu gejolak sosial, seperti yang terjadi Kazakhstan akibat kenaikan harga bahan bakar awal tahun ini.
Baca juga: Uzbekistan Cemaskan Gerakan Radikal
Uzbekistan, Kazakhstan, Kirgizstan, Tajikistan, dan Turkmenistan telah mengisyaratkan berbagai tingkat keresahan terhadap perang Rusia di Ukraina. Pakar Asia Tengah, Raffaello Pantucci, dari S Rajaratnam School of International Studies, lembaga kajian di Singapura, mengatakan, beberapa negara yang mayoritas populasinya berbahasa Rusia menganggap nasionalisme Rusia sebagai ancaman potensial yang lebih besar daripada kelompok militan.
Uzbekistan dan Kazakhstan, negara terkaya di Asia Tengah, telah secara terbuka menjauhkan diri dari Rusia selama perang di Ukraina. Seiring dengan ekspresi publik yang mendukung integritas teritorial Ukraina, kedua negara telah mengirim pasokan darurat makanan, obat-obatan, pakaian, dan tempat tidur ke Ukraina. Tindakan itu tentu saja sangat tidak bersahabat bagi Moskwa.
Moskwa telah menghentikan ekspor biji-bijian, pupuk, dan mungkin mempersulit akses ke suplai minyak, gas, dan komoditas ekspor lainnya. Rusia memiliki kartu truf: hubungan bersejarahnya dengan Afghanistan. Dukungan Soviet untuk pemerintah komunis di Kabul mendorong invasi Rusia pada 1979 dan perang proksi 10 tahun dengan AS yang berakhir dengan kebangkitan Taliban 1996.
Ikatan Rusia-Taliban tetap hidup. Pada 2020, Rusia menawarkan dukungan kepada Taliban untuk menargetkan pasukan AS dan sekutu. Rusia bersama China, Iran, dan Pakistan adalah salah satu dari sedikit negara yang mendukung Taliban.
Baca juga:Sembilan Negara Tetangga Afghanistan Waspadai Penyebaran Terorisme
Rusia sejauh ini adalah satu-satunya negara yang mengakreditasi diplomat Taliban dan menyerukan agar kelompok itu diakui secara resmi.
”Mengingat hubungan yang semakin nyaman antara Rusia dan Taliban, serta dengan NIIS-K, kemungkinan Moskwa memberi isyarat kepada Taliban untuk memengaruhi NIIS-K menyerang negara-negara Asia Tengah,” kata Ali. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa negara-negara Asia Tengah memahami payung keamanan Moskwa.
Taliban, yang sedang terbelah antara kelompok Islamis dan garis keras, berada dalam posisi sulit untuk menghadapi ancaman dari negara tetangga dan sebaliknya. China, yang berinvestasi di pertambangan dan infrastruktur, ingin agar Taliban mendeportasi anggota ETIM. Para pemimpin Taliban dari etnis Uzbek dan Tajik di Afghanistan utara menentang deportasi warga Uighur.
Pakistan juga telah dibuat marah oleh aliansi abadi antara Taliban Pakistan (TTP) dan Taliban Afghanistan yang didukung Islamabad untuk kembali berkuasa. Bertentangan dengan harapan Pakistan, TTP, seperti kelompok militan di seluruh dunia, telah mendapat energi baru oleh kemenangan Taliban di Afghanistan.
Taliban Afghanistan kemungkinan bermain mata dengan TTP yang menyerang militer Pakistan, pekan lalu. Penjabat Menteri Dalam Negeri Taliban, Sirajuddin Haqqani, tokoh garis keras Taliban yang masuk daftar hitam AS dan PBB, telah menawarkan bantuan untuk menengahi kesepakatan damai TTP dan Islamabad. Serangan Pakistan di Khost dan Kunar telah menewaskan lebih dari 48 orang. (AFP/AP/REUTERS)