Pemerintahan Taliban di Afghanistan sebenarnya sedang butuh pengakuan dan bantuan internasional. Namun, sejumlah langkah mereka tak klop dengan harapan publik dunia. Taliban tengah mempersulit diri dan warga Afghanistan.
Oleh
Pascal S Bin Saju
·5 menit baca
Terbetik kabar bahwa Taliban, penguasa Afghanistan saat ini, menjanjikan hadiah sebidang tanah kepada keluarga pengebom bunuh diri yang pernah menarget tentara pemerintahan lama Afghanistan dan sekutunya dari negara-negara Barat, termasuk Amerika Serikat, pada masa perlawanan senjata. Janji itu disampaikan penjabat Menteri Dalam Negeri Taliban Sirajuddin Haqqani kepada puluhan anggota keluarga pengebom bunuh diri yang berkumpul di sebuah hotel di Kabul, Senin (18/10/2021) malam.
Juru bicara Kemendagri Taliban, Saeed Khosty, dalam cuitannya di Twitter, Selasa (19/10/2021), menyebutkan, janji itu datang dari Haqqani. Salah satu pemimpin jaringan Haqqani, faksi paling keras di tubuh Taliban, itu memuji pengorbanan ”para martir dan Mujahidin”—merujuk pada anggota-anggota Taliban yang tewas dalam serangan bunuh diri.
Menurut cuitan Khosty, Haqqani menyebut para pengebom bunuh diri sebagai ”pahlawan Islam dan negara”. Pada akhir pertemuan, Haqqani membagikan 10.000 afghani (sekitar 112 dollar AS atau Rp 1,5 juta) per keluarga dan menjanjikan sebidang tanah bagi setiap keluarga mereka. Khosty mengunggah foto Haqqani; wajahnya sedih dan merangkul keluarga pengebom bunuh diri.
Peristiwa itu dapat ditafsir sebagai provokasi dan tindakan yang bertentangan (paradoks) dengan upaya Taliban mendapat dukungan internasional. Padahal, Taliban sedang berusaha membuka saluran diplomatik dengan komunitas internasional, yang sebagian besar enggan mengakui secara resmi kekuasaan mereka di Afghanistan.
Dalam beberapa pertemuan penting, Taliban dan para petinggi negara asing terfokus pada upaya memperoleh bantuan bagi warga Afghanistan yang miskin. Upaya kemanusiaan digalang setelah PBB memperkirakan hampir seluruh penduduk Afghanistan kini terdorong ke ambang kemiskinan parah akibat krisis ekonomi yang buruk pasca-perang panjang.
Bencana kemanusiaan pasca-perang panjang di Afghanistan sebenarnya sangat buruk. Situasi itu bisa menyeret hampir seluruh populasinya ke ambang kemiskinan universal pada pertengahan 2022, seperti dirilis Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) belum lama ini.
Pemerintahan Taliban sedang tak berdaya. Aset dan cadangan devisa negara, yang berada di luar negeri, masih dibekukan. Seharusnya Taliban berupaya menarik perhatian global untuk membantu mereka mencegah terjadinya kemiskinan yang lebih buruk, termasuk meningkatkan kemampuan masyarakat lokal dan ekonomi mereka.
Menurut UNDP, angka kemiskinan Afghanistan kini 72 persen. Kemiskinan bisa menggelembung menjadi 97-98 persen pada medio 2022 jika tidak ada langkah darurat bersama komunitas internasional untuk membuat ekonomi Afghanistan bangkit lagi.
Langkah Taliban memuji pengebom bunuh diri dan memberikan hadiah kepada keluarganya merupakan pendekatan yang paradoksal dalam pemerintahan mereka. Di satu sisi, Taliban memosisikan diri sebagai penguasa yang bertanggung jawab, menjanjikan keamanan bagi semua, dan mengecam serangan bunuh diri oleh kelompok militan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) Khorasan.
Namun, di sisi lain, Taliban memuji taktik semacam itu oleh para pengikut mereka. Boleh jadi Taliban akan memberikan apresiasi serupa jika serangan dilakukan sekutu lamanya, Al Qaeda. Teroris Al Qaeda melancarkan serangan dengan pesawat komersial ke empat target di Amerika Serikat, termasuk menara kembar WTC di New York City, 11 September 2001.
Unsur terorisme
Kita telah menyaksikan bahwa serangan 9/11—demikian sebutan peristiwa serangan teror itu—telah mengubah seluruh wacana politik dunia. Kebijakan nasional sebagian besar negara, terutama negara-negara besar, difokuskan kembali pada penanggulangan terorisme. Penghasutan dan pemuliaan terorisme dalam satu atau lain bentuk sudah cukup memenuhi kategori atau unsur terorisme.
Taliban sering menggunakan taktik serangan bom bunuh diri dan ledakan pinggir jalan yang dikendalikan dari jauh selama 20 tahun pemberontakan mereka sejak pemerintahan jilid I mereka digulingkan pada 2001. Tidak hanya terhadap militer Afghanistan, AS, dan sekutunya, serangan juga menyasar warga sipil untuk melemahkan dan mendiskreditkan pasukan Afghanistan dan AS.
James Dobbins, mantan Utusan Khusus AS untuk Afghanistan, mengakui bahwa tindakan Taliban yang terlibat dalam serangan yang disengaja dan tidak terhadap warga sipil selama ini termasuk dalam definisi terorisme. Namun, Taliban tidak dimasukkan dalam daftar itu, kecuali tokoh-tokohnya, karena AS ingin tetap membuka hubungan diplomatik untuk tujuan damai.
Langkah provokatif Haqqani atau Taliban tadi bisa mempertebal keyakinan komunitas internasional untuk enggan mengakui pemerintahan mereka. Apalagi keputusan dan tindakan politik Taliban tak sesuai dengan janji-janjinya. Taliban belum membentuk pemerintahan inklusif, memberikan pengampunan (amnesti), dan mengakomodasi hak perempuan, seperti yang dijanjikan.
Penghargaan kepada para pelaku bom bunuh diri yang menewaskan puluhan ribu tentara AS dan sekutunya jelas menyakitkan Washington dan sekutunya. Taliban terkesan tidak ingin kehilangan basis dukungan garis keras mereka, termasuk kemungkinan secara diam-diam menjalin lagi kerja sama dengan Al Qaeda untuk menghadapi ancaman yang kian meningkat dari NIIS-Khorasan.
Belajar dari sejarah
Sebenarnya, kini saatnya Taliban tampil lebih mengampuni, bersahabat, ramah, transparan, inklusif, dan meninggalkan karakter keras dari pemerintahan jilid I mereka pada 1996-2001. Mereka semestinya belajar dari pengalaman sejarah dan dari gelombang pengungsian ratusan ribu warga Afghanistan yang takut setelah Taliban kembali berkuasa sejak 15 Agustus lalu.
Perubahan sikap penting sebagai modal untuk menggalang dukungan global dalam mengatasi krisis multidimensi di Afghanistan yang bisa membuat ekonomi negara semakin ambruk. Catatan yang semakin mengkhawatirkan adalah kemiskinan di Afghanistan sudah mengarah pada kemiskinan universal.
Berdasarkan Bank Dunia, kemiskinan universal adalah kondisi yang menunjukkan orang-orang bertahan hidup dengan hanya 1 dollar AS atau setara dengan Rp 14.500 per hari atau bahkan kurang. Tingkat pendapatan seperti itu benar-benar hanya untuk bisa bertahan hidup dengan makan sekali sehari. Afghanistan sekarang tengah menghadapi bencana kemanusiaan.
Kondisi itu, antara lain, akibat ketidakstabilan politik, pembekuan cadangan devisa, dan ambruknya sistem keuangan publik. Ada pula persoalan gejolak akibat transisi politik di tangan Taliban, kemarau atau kekeringan berkepanjangan, dampak pandemi Covid-19, dan musim dingin yang segera tiba.
”Masing-masing (persoalan itu) akan menimbulkan tantangan besar. Secara bersama-sama, mereka membentuk krisis yang menuntut tindakan segera,” kata Kanni Wignaraja, Direktur UNDP Asia Pasifik, seperti dilaporkan Al Jazeera, baru-baru ini.
Wignaraja mengatakan, jatuhnya pemerintahan Afghanistan ke tangan Taliban membuat kemajuan ekonomi yang stabil selama 20 tahun terakhir kini dalam bahaya. ”Banyak sekali warga Afghanistan akan menghadapi kemiskinan universal pada pertengahan tahun depan,” katanya pada konferensi pers.
Semuanya mustahil diatasi tanpa dukungan global. Komunitas internasional telah menyambut permintaan Taliban untuk mendapatkan pengakuan, tetapi dengan syarat, terutama yang berkaitan dengan pembentukan pemerintahan inklusif, perlakuan terhadap perempuan dan anak perempuan.
Dana Moneter Internasional (IMF) pun mau mencairkan aset dan cadangan devisa Afghanistan yang dibekukan dengan protokol sanksi internasional. Cadangan devisa itu setara dengan 75 dari pengeluaran pemerintah sebelumnya.
Jika ingin memajukan negara Afghanistan, rasanya tidak ada pilihan lain bagi Taliban kecuali memoderasi tata pemerintahannya yang lebih diterima oleh komunitas global. (AFP/AP/REUTERS)