Untuk melawan narasi negatif Rusia, yang menyebutkan sanksi ekonomi Barat merusak perekonomian dunia dan meningkatkan kelaparan di Afrika, UE menggelar inisiatif baru melalui Diplomasi Pangan. Ancaman kelaparan nyata.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·5 menit baca
BRUSSELS, RABU – Uni Eropa bergerak ke Afrika untuk memulihkan nama baiknya, melawan narasi Rusia di wilayah tersebut yang telah menyebut sanksi negara-negara barat terhadap negaranya menimbulkan kerawanan pangan di seluruh dunia. Bersama Program Pangan Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa (World Food Program), diplomasi pangan UE bergerak untuk mengurangi dampak kekurangan bahan pangan di Afrika dan narasi negatif itu.
Seorang diplomat dan pejabat blok perdagangan Eropa, Selasa (12/4), mengatakan, kerawanan pangan global yang disebabkan perang di Ukraina meningkatkan kebencian di negara-negara yang sudah dalam posisi rentan saat ini. Situasi itu dipandang akan menimbulkan ancaman potensial terhadap pengaruh UE di kawasan Afrika.
“Kami tidak bisa berisiko kehilangan kawasan itu,” kata diplomat Eropa lainnya.
Agresi militer Rusia ke Ukraina sejak awal telah membuat gelisah negara-negara di kawasan Timur Tengah dan sebagian Afrika. Sejumlah negara di kawasan ini memiliki ketergantungan yang tinggi pada produk kedua negara, yaitu gandum, yang menjadi bahan dasar utama pembuatan roti, makanan pokok di banyak negara di kedua kawasan.
Rusia dan Ukraina merupakan penghasil 29 persen gandum dunia. Negara-negara di Timur Tengah, seperti Mesir, Lebanon, Irak, Turki, dan negara Maghribi (Tunisia, Aljazair, dan Maroko) diprediksi akan mengalami ancaman terkait pengadaan pangan jika perang Rusia-Ukraina berkepanjangan. Negara-negara tersebut sangat bergantung pada pasokan gandum dari kedua negara tersebut. Sementara mencari negara pengganti Rusia dan Ukraina untuk pasokan gandum ke Timur Tengah tidak mudah. (Kompas.id, 1 Maret 2022)
Brussels menganggap, kampanye Rusia soal krisis pangan sebagai sebuah disinformasi yang menyesatkan. UE tidak pernah mengeluarkan kebijakan yang membatasi perdagangan makanan atau bahan pangan dengan Rusia.
Menteri Luar Negeri Perancis Jean Yves Le Drian mengatakan, yang menciptakan risiko krisis pangan bukanlah sanksi yang dijatuhkan oleh Uni Eropa atau sekutunya, Amerika Serikat. “Pendudukan Rusia atas Ukraina yang telah menciptakan situasi ini,” katanya.
Sanksi yang dijatuhkan UE kepada Rusia tidak memasukkan makanan atau bahan pangan dalam daftar sanksinya. Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Josep Borrel mengatakan, Rusia telah mempersulit Ukraina untuk mengirimkan produk pertaniannya dengan menyerang kota-kota pelabuhan dan membumihanguskan gudang-gudang penyimpanan gandum.
Kalaupun fasilitas penyimpanan gandum Ukraina penuh, menurut diplomat UE lainnya, negara itu tidak bisa mengekspornya karena kekurangan bahan bakar. Untuk itu, UE tengah mencoba memfasilitasi ekspor gandum Ukraina melalui Polandia. UE juga akan mengirimkan bahan bakar bagi para petani Ukraina untuk meringankan situasi.
Perancis, produsen pertanian terbesar UE, mendorong inisiatif FARM, yang akan mencakup mekanisme distribusi makanan global untuk negara-negara miskin. Sementara, Badan Pangan Dunia (FAO) mengonfirmasi bahwa mereka tengah mempertimbangkan fasilitas pembiayaan impor bahan pangan.
Sebagai bagian dari upaya agar tidak kehilangan pengaruhnya di Afrika, pekan lalu, Uni Eropa sepakat memberikan dukungan keuangan kepada negara-negara yang paling rentan senilai 225 juta euro atau sekitar 244 juta dolar AS untuk wilayah Afrika Utara dan Timur Tengah. Separuh dari bantuan ini diarahkan ke Mesir. Sementara, beberapa negara lain, seperti Lebanon, Yordania, Tunisia, Maroko dan Otoritas Palestina akan menerima dana darurat masing-masing antara 15 dan 25 juta Euro.
Bantuan pertanian senilai 300 juta euro lainnya akan diberikan kepada negara-negara Balkan Barat, sebagai bagian dari pendanaan reguler Uni Eropa ke kawasan itu.
Akses Terhadap Pangan
Kepala Program Pangan Dunia (WFP) David Beasley, dikutip dari kantor berita Turki Anadolu, mengatakan, situasi saat ini, yang disebutnya sebagai sebuah badai yang sempurna, telah membuat potensi warga yang kelaparan semakin meningkat, dari sekitar 135 juta jiwa selama pandemi Covid-19 menjadi sekitar 280 juta jiwa.
"Kita harus berpikir out of the box. Ini masalah seluruh dunia. Enam sampai sembilan bulan ke depan krusial. Ini masalah multiyears," katanya.
Dia mengatakan, setelah krisis ekonomi yang melanda akibat pandemi Covid-19, krisis iklim dan konflik di beberapa kawasan, agresi militer Rusia ke Ukraina menjadikan kondisi semakin rumit. Apalagi, agresi militer Rusia ke Ukraina telah mendongkrak harga komoditas, terutama bahan pangan, bahan bakar dan pupuk.
FAO, dalam laporan yang terbit Jumat (8/4/2022), menyebutkan, Indeks Harga Pangan FAO rata-rata 159,3 poin pada Maret atau naik 12,6 persen dari bulan sebelumnya. Angka ini merupakan level tertinggi sejak perhitungan ini dimulai pada 1990. Bahkan, level indeks ini mengalami kenaikan hingga 33,6 persen dibandingkan bulan yang sama pada 2021.
”Harga bahan makanan pokok seperti gandum dan minyak nabati telah melonjak akhir-akhir ini, menjadi tanggungan biaya yang luar biasa bagi konsumen global, terutama kelompok termiskin. Dan, dengan naiknya harga energi secara paralel bersama harga pangan, daya beli konsumen dan negara yang rentan semakin menurun,” kata Direktur Jenderal FAO Qu Dongyu pada pidatonya di sesi ke-169 Dewan FAO, Roma, pekan lalu. (Kompas.id, 9 April 2022)
Situasi sulit tidak hanya dirasakan di negara-negara miskin, tapi juga di negara-negara maju. Di Inggris, misalnya, harga-harga di tingkat konsumen mengalami kenaikan tercepat dalam 30 bulan terakhir dan dikhawatirkan menurunkan standar hidup warganya, situasi terburuk sejak pertengahan tahun 1950-an.
Angka inflasi di Inggris meningkat menjadi 7 pesen dalam 12 bulan terakhir, tertinggi sejak tahun 1992. Komponen yang menyebabkan situasi itu diantaranya adalah kenaikan harga gas alam untuk rumah tangga hingga 28,3 persen dan naiknya harga listrik hingag 19,2 persen. Dan, situasi ini tidak akan berhenti karena regulator energi Inggris berencana akan menaikkan harga gas dan listrik hingga 54 persen yang akan berlaku pada akhir bulan ini.
Semua kondisi tersebut telah memaksa Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) merevisi perkirakaan pertumbuhan perdagangan global tahun ini, dari 4,7 persen menjadi hanya 3 persen.
WTO menyatakan, konflik yang telah memasuki pekan ke tujuh telah merusak ekonomi dunia.
"Gema ekonomi dari konflik ini akan meluas jauh melampaui perbatasan Ukraina," kata Direktur Jenderal WTO Ngozi Okonjo-Iweala. Dia menambahkan, pukulan ganda terhadap perekomian dunia, yang disebabkan pandemi Covid-19 dan perang telah mengganggu rantai pasokan, meningkatkan tekanan inflasi dan menurunkan ekspektasi pertumbuhan perdagangan global. (AP/Reuters)