Ukraina Bersiap Hadapi Pertempuran Besar di Wilayah Timur
Pasukan Rusia diperkirakan tengah menyiapkan serangan skala besar dari wilayah timur Ukraina. Presiden Ukraina meminta bantuan senjata berat untuk mempertahankan Mariupol.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
KIEV, SELASA — Pemerintah Ukraina bersiap menghadapi pertempuran besar di wilayah timur seiring pergerakan pasukan Rusia yang meninggalkan wilayah utara negara itu. Diperkirakan, sasaran utama Rusia ialah kota Mariupol yang telah dikepung selama tujuh pekan.
Citra satelit komersial menunjukkan konvoi pasukan Rusia sepanjang 9 kilometer meninggalkan Lviv di Ukraina bagian utara. Menurut Kementerian Pertahanan Ukraina, pasukan Rusia ingin bergabung dengan pasukan pemberontak pro-Rusia di Donbas.
”Alur pergerakannya jelas terlihat. Rencana mereka sekarang ialah menyatukan diri dengan para pemberontak dan mengambil alih Pelabuhan Mariupol,” kata John Kirby, Juru Bicara Pentagon di Washington, Amerika Serikat, Senin (11/4/2022) waktu setempat atau Selasa (12/4/2022) WIB.
Intelijen AS dan Inggris menyebutkan, sejumlah batalyon sudah berkumpul dan mengepung kota Izyum di Donbas. Pasukan gabungan ini bakal dipimpin Jenderal Aleksander Dvornikov. Ia adalah pahlawan perang Rusia yang dijuluki ”Penjagal di Suriah” karena pasukannya meluluhlantakkan para pemberontak di Suriah pada 2013.
Kota Mariupol masih dikepung pasukan Rusia. Wali Kota Mariupol Vadim Boychenko mengungkapkan, ada 120.000 warga yang kelaparan dan kedinginan. Sekitar 10.000 warga sipil di kota itu tewas. Akan tetapi, ia menduga jumlah yang sebenarnya jauh lebih besar.
”Bantuan kemanusiaan untuk kami tidak bisa masuk. Di jalan-jalan, pertempuran sengit melawan tentara Rusia terus berlangsung,” kata Boychenko.
Apabila Mariupol jatuh, kota ini akan menjadi basis bagi pasukan Rusia dan pasukan dari Crimea yang dianeksasi Rusia tahun 2014. Dari sana, mereka bisa bergerak bersama untuk menyerang Kiev.
Dilansir dari kantor berita Interfax-Ukraine, Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy berpendapat bahwa pengepungan di Mariupol bisa dihancurkan jika Ukraina memperoleh bantuan persenjataan berat. Pasukan negara ini sangat bergantung pada bantuan persenjataan dari Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) ataupun negara-negara yang bersimpati kepada mereka. ”Kami membutuhkan pesawat tempur, tank, artileri, dan kendaraan bersenjata,” tutur Zelenskyy.
Pemerintah Ukraina turut mengumumkan bahwa sejak pertempuran dimulai pada 24 Februari, Rusia sudah kehilangan 19.500 tentara. Selain itu, terdapat 725 tank, 154 pesawat, 137 helikopter, dan 1.923 kendaraan bersenjata milik Rusia yang hancur ataupun rusak parah.
Sementara Presiden Rusia Vladimir Putin menegaskan, tujuan operasi militer di Ukraina tak diragukan akan tercapai. ”Tujuannya jelas dan luhur,” kata Putin saat pidato di Vostochny Cosmodrome, seperti dikutip media setempat.
Ia menyebutkan, tujuan utama aksi militer di Ukraina adalah menyelamatkan warga wilayah Donbas. ”Di satu sisi, kami membantu dan menyelamatkan warga. Di sisi lain, kami sekadar berbuat untuk menjamin keamanan Rusia. Jelas kami tidak punya pilihan. Ini keputusan tepat,” ujar Putin.
Mengundang Ukraina
Salah satu forum yang terus didesak untuk terlibat memediasi krisis Rusia-Ukraina adalah G20 yang pada 2022 ini diketuai oleh Indonesia. G20 merupakan organisasi kerja sama 20 negara dengan perekonomian terbesar dunia. Di dalamnya juga ada tujuh negara terkaya di dunia yang juga merupakan anggota G7.
Para anggota G7 yang dipimpin AS mengumumkan akan memboikot Konferensi Tingkat Tinggi G20 pada November jika Putin diundang. Presiden Joko Widodo mengatakan, berdasarkan prinsip politik bebas aktif Indonesia, tidak ada anggota G20 yang dilarang hadir. Presiden AS Joe Biden kemudian mengatakan, para kepala negara G7 akan hadir dengan syarat Ukraina juga diundang.
Menurut Ketua Foreign Policy Community Indonesia Dino Patti Djalal, ini solusi terbaik demi menyelamatkan KTT G20. Pasalnya, kepentingan negara-negara berkembang untuk pulih dari krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19 yang kini kian berat gara-gara perang Rusia-Ukraina tidak boleh dikesampingkan demi kemauan negara maju. KTT G20 harus berjalan.
”Dalam setiap KTT G20 selalu ada negara lain yang diundang oleh Ketua G20 saat itu sebagai tamu ataupun pengamat. Jadi, mengundang Ukraina sangat bisa dilakukan,” ujarnya.
Dino menjelaskan, ini juga kesempatan emas bagi Indonesia untuk menunjukkan inisiatif memediasi krisis. G20 pada intinya adalah forum kerja sama ekonomi, tetapi janggal sekali jika menutup mata dari krisis Rusia-Ukraina. Peperangan kedua negara telah mengakibatkan kenaikan harga minyak. Di samping itu, juga menimbulkan krisis energi dan pangan di sejumlah negara sehingga isu Rusia-Ukraina harus dibahas di G20.
Namun, menurut dosen hubungan internasional Universitas Gadjah Mada, Muhadi Sugiono, Ukraina sebaiknya tidak diundang karena akan menyeret G20 ke agenda di luar penanganan krisis ekonomi. Urusan keamanan ada di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang hingga kini gagal mendamaikan konflik.
Selain itu, KTT yang dihadiri kepala negara sebenarnya simbolis. Kinerja riil G20 justru terjadi di kelompok-kelompok kerja sepanjang tahun 2022, yaitu Women20, Youth20, Business20, dan lain-lain. ”Indonesia sebagai ketua wajib mengundang semua anggota G20, termasuk Rusia. Jika pada akhirnya kepala negara G7 menolak datang, bukan kesalahan Indonesia, melainkan faktor eksternal. Justru komitmen G7 terhadap G20 dipertanyakan,” ucapnya.
Muhadi mengatakan, memang ada risiko 50-50 dengan ketidakhadiran G7. Akan tetapi, juga ada peluang 50-50 bagi Indonesia untuk membuat forum informal yang membahas situasi Rusia-Ukraina sambil mengupayakan mediasi. Ia berpendapat, cara ini tidak mengganggu agenda G20 dan tetap mengikutsertakan Indonesia dalam upaya mendamaikan kedua belah pihak. (AP/AFP)