Di Balik Cerita Para Diplomat Menyelamatkan WNI dari Ukraina
Tugas paling menantang diplomat adalah evakuasi WNI dari negara yang berperang kala pandemi masih merajalela seperti sekarang. Ini dialami saat evakuasi WNI dari Afghanistan tahun 2021 dan dari Ukraina belum lama ini.
Sudah pasti, tidak satu pun diplomat Indonesia punya nyawa lebih dari satu atau kebal peluru. Namun, sebagian tugas membuat mereka berisiko kehilangan satu-satunya nyawa yang dimiliki.
Perlindungan warga negara Indonesia di luar negeri merupakan salah satu prioritas politik luar negeri Indonesia. Wujud perlindungan ini amat beragam, mulai dari menagih upah yang tak dibayar para perekrut pekerja migran Indonesia, memburu pelanggar hak pekerja migran, hingga evakuasi WNI dari wilayah konflik dan pandemi.
Yang paling menantang adalah evakuasi WNI dari negara yang sedang berperang kala pandemi masih merajalela seperti sekarang. Ini dialami dalam evakuasi WNI dari Afghanistan pada 2021 dan dari Ukraina belum lama ini.
Baca juga: Upah Tertahan, Keluarga Terpisah
Tugas itu menjadi bagian tanggung jawab Direktorat Perlindungan WNI pada Kementerian Luar Negeri RI. ”Waktu itu saya sedang isolasi mandiri, pemulihan dari Covid-19,” kata Kepala Subdirektorat Kawasan IV Direktorat PWNI Tony Wibawa, pekan lalu, mengenang upaya evakuasi ratusan WNI dari Ukraina pada 28 Februari-12 Maret lalu.
Ukraina adalah salah satu dari hampir 140 negara wilayah tugas Tony dan tiga koleganya di Subdit Kawasan IV. Selama upaya evakuasi, Tony dan tiga rekannya mengoordinasikan langkah dari Jakarta. Adapun Direktur PWNI Judha Nugraha diperintahkan masuk Ukraina.
KBRI Kiev dan perwakilan diplomatik Indonesia di sekitar Ukraina juga dilibatkan. Sejak Desember 2021, staf KBRI Kiev telah berkomunikasi dengan WNI di Ukraina. Inti komunikasi mereka adalah imbauan agar WNI mempersiapkan tas kecil berisi paspor, beberapa pakaian, dan obat-obatan jika diperlukan. Selain itu, informasi soal upaya penyelamatan diri jika perang Rusia-Ukraina meletus.
Ledakan rudal pertama
Perang Rusia-Ukraina akhirnya meletus, Kamis (24/2/2022) dini hari. Koordinator Fungsi Penerangan dan Sosial Budaya KBRI Kiev Erna Herlina terbangun sejak rudal pertama meledak di Kiev. Saat itu juga ia dan staf lain di KBRI Kiev harus segera mengontak semua WNI di berbagai penjuru Kiev untuk secepatnya berkumpul di KBRI.
Tidak semua WNI di Ukraina tinggal di Kiev. Ada yang di Chernihiv, Kherson, Dnipro, hingga Odessa. Mereka yang tinggal di Kiev pun tidak bisa segera berangkat ke KBRI. Sebagian karena paspornya ditahan pemberi kerja. Staf KBRI Kiev harus mengontak para pemberi kerja agar menyerahkan paspor kepada WNI.
Baca juga: Evakuasi WNI di Ukraina Terkendala Pelanggaran Gencatan Senjata
Permintaan itu hampir sama seperti memaksa pemegang paspor berjalan di tempat terbuka di tengah perang. Sebab, rumah pemberi kerja berbeda dengan tempat tinggal pekerja migran Indonesia. ”Banyak yang bingung karena tak pegang paspor dan belum terima gaji,” ujar Erna.
Di dalam penampungan di KBRI Kiev, suara dentuman keras dan getaran akibat ledakan bom, mortir, roket, hingga rudal sudah jadi menu mereka sehari-hari. Suara tembakan nyaris tanpa henti terdengar dari pagi sampai pagi.
Dalam situasi itu, karena KBRI tidak bisa menampung semua orang, sebagian tinggal di Wisma Duta. Setiap hari, sebagian staf KBRI harus bolak-balik antara KBRI dan Wisma Duta untuk mengantarkan aneka kebutuhan warga yang sedang berlindung.
Tony mengaku gelisah dengan hal tersebut. Sebagian staf KBRI adalah orang-orang yang dikenalnya secara langsung. ”Komunikasi kami tidak selalu soal pekerjaan. Kadang membahas hal lain untuk mengalihkan kecemasan dalam situasi itu,” ujarnya.
Sejak perang meletus, Tony mengurangi jam tidur. Padahal, proses pemulihan dari Covid-19 membutuhkan lebih banyak istirahat. ”Saya biasanya tidur dari pukul 05.00 sampai pukul 10.00. Biasanya di sana (Ukraina) tidak terlalu banyak perkembangan,” kata Tony.
Perbedaan waktu Ukraina dan Indonesia jadi alasan utama pengubahan pola tidur itu. Ia harus memastikan tetap terlibat dalam upaya evakuasi yang terus berkembang. ”Tidak bisa menduga apa yang bisa terjadi,” katanya.
Skenario berubah
Menurut Erna, berbagai skenario evakuasi sudah disusun sejak Desember 2021. Namun, perkembangan perang memaksa skenario itu harus diubah. Dari awalnya menuju Polandia dengan bus yang dikemudikan orang Ukraina, evakuasi gelombang pertama terpaksa menuju Romania melalui Moldova dengan pengemudi orang luar Ukraina.
Baca juga: Pertempuran di Ukraina Makin Sengit, KBRI Kiev Evakuasi 153 WNI via Jalan Darat
Perubahan terjadi karena rute evakuasi ternyata menjadi medan pertempuran. Selain itu, para calon sopir terkena wajib militer. Sejak perang meletus, semua pria Ukraina berusia 18 tahun hingga 60 tahun wajib bergabung dengan pasukan pertahanan sipil.
Bersama puluhan WNI, akhirnya staf KBRI Kiev bisa memulai proses evakuasi menuju Romania. Di jalan, mereka melewati regu-regu orang bersenjata yang terus menghentikan berbagai kendaraan. Sementara ke arah Kiev, mengalir aneka kendaraan perang. Ada pula aneka kendaraan dan bangunan yang rusak terkena tembakan atau ledakan.
”Saya fokus menenangkan yang dievakuasi. Tidak memperhatikan lagi di luar bus,” kata Erna.
Sejak di KBRI, Erna memilih memusatkan energinya untuk menenangkan WNI yang sedang berlindung dan menanti evakuasi. Ia melakukan itu agar tidak sempat merasa takut di tengah situasi yang menekan itu.
Ditembaki
Evakuasi WNI dari wilayah konflik selalu tidak mudah. Bahkan, pertaruhannya adalah nyawa. Ini dialami Abdul Kholik Zahron. Mantan anggota staf KBRI Damaskus ini merasakan pengalaman mobil yang ditumpanginya ditembaki orang tidak dikenal. Peristiwa itu terjadi kala ia berusaha mengevakuasi sejumlah WNI dari zona perang saudara di Suriah.
Abdul Kholik terlibat dalam rangkaian evakuasi 2013-2015. Di tengah perang, ia dan staf KBRI Damaskus kerap harus berkendara jauh ke zona-zona pertempuran untuk mengevakuasi para WNI.
Demi keberhasilan evakuasi, dibutuhkan pula cara kreatif dan cerdas. Cerita ini terjadi pada saat evakuasi WNI dari Afghanistan, pertengahan Agustus 2021. Saat tim KBRI Kabul bersama WNI bergerak menuju bandara menggunakan beberapa mobil, mereka sepakat mengenakan pakaian bermotif batik dan memakai peci.
Di tengah situasi keamanan Kabul yang masih labil, pilihan itu jitu menghindari kecurigaan anggota Taliban. Meskipun berada di wilayah konflik, tim KBRI dan WNI memilih tidak menggunakan rompi antipeluru. Alasannya, apabila menggunakan rompi antipeluru, mereka justru bisa diidentifikasi sebagai pihak bersenjata dan rawan jadi sasaran serangan.
Batik dan peci dipilih karena memudahkan identifikasi mereka sebagai WNI. Sebab, tidak ada lagi negara punya busana sekhas itu. Menurut Judha, batik dan peci mencirikan Indonesia dan Islam. ”Di Afghanistan, warga mengenal Indonesia yang mayoritas berpenduduk Muslim dari ciri khas itu,” kata Judha.
Baca juga: Batik dan Peci, Ciri Khas yang Menyelamatkan
Ia menjelaskan, ciri khas itu antara lain dikenal lewat relasi akrab antara Nahdlatul Ulama dan sejumlah komunitas atau organisasi Islam di Afghanistan. Identifikasi lewat kekhasan itu amat penting karena milisi Taliban memeriksa seluruh kendaraan menuju bandara. Taktik mengenakan batik dan peci terbukti menjadi salah satu cara ampuh melewati berbagai pos pemeriksaan, baik yang dikendalikan Taliban maupun NATO.
Pemulihan psikis
Para diplomat yang ditempatkan di wilayah konflik atau wilayah dengan beban tugas berat butuh pemulihan jiwa saat kembali ke Jakarta. Judha mengatakan, di klinik Kemenlu RI ada layanan psikolog. Sebagian diplomat memanfaatkan layanan itu untuk memulihkan dari kelelahan jiwa yang akut karena pekerjaan selama di berbagai KBRI dan KJRI.
Baca juga: Lika-liku Evakuasi WNI dari Kiev
Sejumlah diplomat madya mengakui, mereka yang bertugas di Asia paling sering harus menumpuk kemarahan dan kesedihan. Mereka marah karena begitu banyak pelanggaran hak-hak WNI oleh penduduk atau badan hukum tempat mereka bertugas. Mereka sedih karena WNI yang dilanggar haknya itu kerap kali tidak berdaya melawan kesewenangan tersebut.
”Di kampung halaman, mereka orang-orang yang kesulitan ekonominya. Mereka ke luar negeri dengan harapan bisa meringankan beban ekonomi keluarga. Ternyata di luar negeri, mereka malah jadi korban kesewenangan. Sebagian dari kami (para diplomat Indonesia) sampai harus terbiasa bangun pagi dan mempersiapkan kemarahan pada semua itu,” tutur seorang diplomat madya yang menolak namanya diungkap.
Sang diplomat itu tahu, emosi buruk bagi kesehatan jiwa. Walakin, mereka harus menumpuk kemarahan bertahun-tahun karena pelanggaran hak WNI di luar negeri terus terjadi. Meski berbagai upaya telah dilakukan, tetap saja pelanggaran terjadi.
Salah satu situasi paling kompleks adalah jika korbannya berstatus pendatang ilegal. Para diplomat Indonesia harus memburu pelanggar hak WNI sekaligus melindungi WNI dari hukuman karena tinggal secara ilegal di negara lain. ”Kadang, teman-teman WNI di luar negeri ketakutan datang ke perwakilan Indonesia karena khawatir dilaporkan,” kata Judha.
”Mana mungkin kami mau melakukan itu (melaporkan WNI berstatus pendatang ilegal kepada aparat setempat). Selain menambah pekerjaan, juga malah membuat kami semakin sedih melihat kemalangan mereka bertambah,” lanjut Judha.
Judha mengakui, salah satu saat terberat adalah jika ada WNI dieksekusi mati di luar negeri. Judha dan jajarannya kadang merasa gagal meski sudah berusaha menyelamatkan selama bertahun-tahun. Lebih berat lagi, kabar itu harus disampaikan kepada keluarga terpidana tersebut. ”Biasanya, setiap kali kami telepon, disambut dengan sapaan dan harapan. Saat informasi eksekusi disampaikan, mendadak kami mendengar tangisan histeris,” kata Judha.
Jika semua itu terjadi berulang kali, bisa dibayangkan betapa tak mudah pemulihan dari tekanan psikologis yang harus dijalani para diplomat.