Meraba-raba Langkah Putin jika Rusia Terdesak dalam Perang Ukraina
Kekhawatiran penggunaan senjata nuklir dalam perang Ukraina meningkat setelah Rusia menyiagakan pasukan nuklirnya dan menyerang reaktor nuklir di Ukraiana. Bagaimana jika Kremlin kian terpojok dalam perang Ukraina?
Presiden Rusia Vladimir Putin memerintahkan unit kekuatan nuklir untuk mengambil posisi siaga tinggi setelah menghadapi perlawanan sengit tentara Ukraina, akhir Februari 2022. Sejak itu pula dunia diliputi rasa khawatir akan ancaman perang nuklir. Ini terutama jika Kremlin semakin terdesak dan terpojok dalam perang di Ukraina yang telah berjalan empat minggu.
Kekhawatiran bahwa Kremlin akan menggunakan senjata nuklir di Ukraina telah direspons dengan tegas oleh Juru Bicara Kremlin Dmitry Peskov, Selasa (22/3/2022). Kepada CNN, Peskov mengatakan, Rusia akan menggunakan senjata nuklir jika eksistensinya terancam. Jawaban itu diberikan setelah CNN bertanya apakah Peskov yakin Putin tidak akan menggunakan opsi nuklir di Ukraina.
”Kami memiliki konsep keamanan dalam negeri dan ini bersifat publik. Anda dapat membaca semua alasan penggunaan senjata nuklir. Jadi, kalau (konflik Ukraina) menjadi ancaman eksistensial bagi negara kami, (nuklir) bisa digunakan sesuai dengan konsep kami,” ujar Peskov, dikutip Reuters.
Baca juga : Teka-teki Simbol ZOV di Kendaraan Perang Rusia
Tentu para analis dan pejabat Barat mulai mereka-reka apa yang akan terjadi setelah kini pasukan Rusia semakin mendapat perlawanan sengit dari Ukraina. Bahkan, Rusia mulai merasakan dampak pukulan balik dari perang Ukraina, yang menyebabkan ribuan tentaranya tewas dan terluka. Belum lagi suplai logistik yang tersendat-sendat. Perlawanan sengit Ukraina di luar dugaan Rusia.
Juru Bicara Pentagon John Kirby menyebut retorika Moskwa tentang potensi penggunaan senjata nuklir sebagai hal yang sangat berbahaya. ”Itu bukan cara yang seharusnya dilakukan oleh kekuatan nuklir yang bertanggung jawab,” kata Kirby kepada wartawan.
Komentar Peskov juga muncul setelah Presiden Amerika Serikat Joe Biden memperingatkan bahwa Putin sedang mempertimbangkan untuk menggunakan senjata kimia dan biologi di Ukraina. Biden menggambarkan bahwa taktik Moskwa dalam perang Ukraina sudah semakin ”brutal”. Apakah benar Putin akan melakukannya? Jika benar akan melakukannya, akankah Putin dituduh sebagai penjahat perang?
Boleh jadi retorika Rusia untuk menggunakan senjata nuklirnya akan menjadi nyata jika pasukan Putin semakin terdesak dalam perang Ukraina. Ada presedennya: rudal hipersonik Kinzhal pada akhirnya ternyata benar-benar digunakan di Ukraina pekan lalu setelah Putin menyaksikan langsung uji coba rudal tersebut pada 19 Februari.
Penggunaan rudal hipersonik Kinzhal di Ukraina oleh para analis dilihat sebagai tanda bahwa Rusia telah semakin terpojok dalam perang konvensional menghadapi pasukan Ukraina yang dari kemampuan senjatanya sangat kecil dan terbatas. Rudal itu bagian dari serangkaian senjata yang diluncurkan pada 2018, tetapi telah digunakan untuk pertama kalinya di Suriah pada 2016.
Bagaimana jika pasukan Putin semakin terdesak dalam perang di Ukraina? Apakah Putin benar-benar akan menggunakan senjata nuklirnya? Perang telah mengguncang konsensus keamanan global pasca-Perang Dingin dan menimbulkan kekhawatiran hal itu dapat memicu musibah nuklir.
Sorotan kita kali ini diarahkan ke Kremlin karena Putin bulan lalu memerintahkan pasukan nuklir untuk siaga tinggi. Kementerian Pertahanan Rusia pada 28 Februari, dikutip Interfax, mengatakan, pasukan rudal nuklir Rusia serta armada Utara dan Pasifik telah meningkatkan tugas tempurnya.
Data 2021 yang telah diperbarui Arms Control Association (ACA) pada Januari 2022 menunjukkan, Rusia diyakini memiliki persediaan 6.255 hulu ledak nuklir dan menjadi yang terbanyak di dunia. Rusia diikuti Amerika (5.550), China (350), Perancis (290), dan Inggris (225).
Lima negara kuat itu, bagian dari total 192 negara lain, merupakan para pihak yang terikat Perjanjian Nonproliferasi Senjata Nuklir atau Nonproliferation Treaty (NPT). Selain lima negara itu ada Pakistan (165), India (156), Israel (90), dan Korea Utara (40-50), yang tidak terikat dalam NPT.
Berdasarkan NPT, negara-negara peratifikasi harus mengurangi cadangan hulu ledak nuklir masing-masing. Secara teori, mereka juga berjanji untuk menghapuskan secara penuh senjata nuklir.
Menurut Federation of American Scientist, dikutip dari BBC News, Rusia diperkirakan memiliki 5.977 hulu ledak nuklir, termasuk sekitar 1.500 unit yang tidak lagi digunakan. Dari 4.500 unit sisanya, sebagian besar dianggap sebagai senjata nuklir strategis, termasuk rudal balistik atau roket, yang bisa ditargetkan untuk jarak jauh. Ini adalah senjata-senjata yang biasanya dikaitkan dengan perang nuklir.
Baca juga : Ranjau dan Baku Tembak Terus Hambat Pengungsian
Selebihnya adalah senjata nuklir yang lebih kecil dan tidak terlalu merusak. Dilaporkan, Federasi Rusia kini memiliki 1.185 rudal balistik antarbenua, 800 rudal balistik yang diluncurkan dari kapal selam, dan 580 bom nuklir yang diluncurkan dari udara.
Saat ini, Rusia dan AS sama-sama memiliki senjata nuklir yang jauh lebih kecil dan tidak merusak dibandingkan sebelumnya yang lebih besar dan berdaya rusak besar seperti bom nuklir dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki, Agustus 1945. Kekuatan yang dimiliki sekarang hanya sebagian kecil dari kekuatan bom Hiroshima. Penggunaannya mungkin kurang menakutkan dan lebih masuk akal.
Namun, kekhawatiran tentang kepemilikan senjata yang lebih kecil justru tiba-tiba meningkat ketika Putin telah memperingatkan kemungkinan penggunaan kekuatan nuklirnya di Ukraina. Selain menyiagakan pasukan nuklirnya, Rusia juga melakukan serangan berisiko ke PLTN Zaporizhzhia di Ukraina, yang memicu kecaman dari AS, Eropa, dan sekutu Barat lainnya.
Upaya penguasaan obyek strategis PLTN Zaporizhzhia oleh Rusia tentu saja sangat berbahaya bagi keselamatan dan keamanan nasional Ukraina, bahkan negara-negara Barat. Apabila tidak diantisipasi, peristiwa kecelakaan reaktor PLTN di Chernobyl, Ukraina, pada April 1986 dapat terulang.
Pertanyaan yang muncul adalah apa yang akan dilakukan Kremlin jika Rusia semakin terpojok oleh perlawanan oleh rakyat Ukraina dalam perang yang dimulai pada 24 Februari lalu? Mungkinkah Putin akan memilih untuk meledakkan salah satu senjata nuklirnya yang lebih kecil di Ukraina, meski sebenarnya itu sangat melanggar tabu yang ditetapkan 76 tahun lalu setelah Hiroshima dan Nagasaki.
Para analis mencatat, pasukan Rusia telah lama mempraktikkan transisi dari perang konvensional ke perang nuklir, terutama sebagai cara untuk menang setelah kalah di medan perang. Militer Rusia, menurut para analis, yang memiliki persenjataan nuklir terbesar di dunia, telah mengeksplorasi berbagai opsi eskalasi yang mungkin akan dipilih Putin.
“Peluangnya kecil tetapi meningkat,” kata Ulrich Kühn, ahli nuklir di Universitas Hamburg dan Carnegie Endowment for International Peace, seperti dilaporkan The New York Times. “Perang tidak berjalan dengan baik bagi Rusia, dan tekanan dari Barat meningkat,” katanya.
Menurut perkiraan Kühn, Presiden Putin mungkin akan menembakkan senjata nuklirnya ke daerah-daerah tak berpenghuni, bukan untuk menyasar pasukan Ukraina. Dalam sebuah studi pada tahun 2018, ia memaparkan skenario krisis di mana Moskwa meledakkan bom di bagian terpencil Laut Utara sebagai cara untuk memberi sinyal serangan mematikan yang akan datang.
“Rasanya mengerikan untuk membicarakan hal-hal ini,” kata Kühn dalam wawancara dengan The New York Times. "Tetapi kita harus mempertimbangkan ini menjadi kemungkinan."
Washington memperkirakan lebih banyak gerakan nuklir dari Putin di hari-hari yang akan datang. Letnan Jenderal Scott D Berrier, Direktur Badan Intelijen Pertahanan AS, mengatakan kepada Komite Angkatan Bersenjata DPR AS bahwa Moskwa kemungkinan akan semakin mengandalkan penangkal nuklir untuk memberi sinyal kepada Barat dan memproyeksikan kekuatan ketika perang di Ukraina berikut konsekuensinya melemahkan Rusia.
Baca juga : Perang Ukraina Menjadi Pukulan Balik bagi Rusia
Biden, yang akan menghadiri pertemuan puncak aliansi militer Barat, NATO, di Brussel pada Kamis (24/3), juga bakal membahas invasi Rusia ke Ukraina. Agenda tersebut diharapkan mencakup bagaimana aliansi akan merespons jika Rusia menggunakan senjata kimia, biologi, siber, atau nuklir.
James R Clapper Jr, pensiunan Jenderal Angkatan Udara AS yang menjabat sebagai Direktur Intelijen Nasional era Presiden Barack Obama, mengatakan, Moskwa telah menurunkan standarnya untuk penggunaan atom setelah Perang Dingin ketika tentara Rusia jatuh ke dalam kekacauan. Hari ini, tambahnya, Rusia menganggap senjata nuklir sebagai utilitarian.
“Mereka tidak peduli,” kata Clapper tentang pasukan Rusia yang mempertaruhkan risiko radiasi ketika menyerang reaktor nuklir Zaporizhzhia, situs terbesar di Ukraina dan di Eropa. “Mereka maju dan menembakinya. Itu indikasi sikap laissez-faire Rusia. Mereka tidak membuat perbedaan seperti yang kita lakukan pada senjata nuklir.”
Putin mengumumkan bulan lalu bahwa dia menempatkan pasukan nuklir Rusia ke dalam pasukan tempur khusus. Pavel Podvig, peneliti lama kekuatan nuklir Rusia, mengatakan, peringatan itu kemungkinan besar telah membuat sistem komando dan kontrol Rusia menerima perintah untuk menyiagakan senjata nuklir.
Tidak jelas bagaimana Rusia mengendalikan gudang senjatanya agar tidak sampai rusak. Akan tetapi, beberapa politisi dan pakar AS telah mengecam senjata yang lebih kecil di kedua belah pihak (AS-Rusia) sebagai ancaman untuk menjungkirbalikkan keseimbangan global teror nuklir .
Sebelum tentara Rusia menginvasi Ukraina, citra satelit menunjukkan Moskwa telah mengerahkan baterai rudal Iskander di Belarus dan di wilayah timur Rusia. Tidak ada data publik tentang apakah Rusia telah mempersenjatai Iskander dengan hulu ledak nuklir.
Belarus dapat menjadi pintu masuk bagi Rusia. Ini setelah Belarus lewat referendum pada 27 Februari menyetujui konstitusi baru untuk mencabut status non-nuklir. Dengan konstitusi baru itu, Belarus dapat menjadi lokasi penempatan senjata nuklir Rusia untuk pertama kalinya sejak negara itu menyandang status non-nuklir pascabubarnya Uni Soviet. Barat menolak referendum itu.
Nikolai Sokov, mantan diplomat Rusia yang merundingkan perjanjian pengendalian senjata di era Soviet, mengatakan, hulu ledak nuklir juga dapat ditempatkan pada rudal jelajah. Senjata itu terbang rendah, diluncurkan dari pesawat, kapal atau darat, memiliki kemampuan menghindari deteksi oleh radar musuh. Dari dalam wilayah Rusia, katanya, rudal-rudal itu dapat menjangkau seluruh Eropa, termasuk Inggris.
Entah apa yang akan dilakukan Putin jika tujuan invasinya yang berubah menjadi perang mematikan dan memicu krisis kemanusiaan itu tidak juga tercapai. Terlebih jika pasukan Rusia semakin terdesak, jauh dari skenario awal, dan terus mendapat perlawanan kuat dari Ukraina yang kini didukung persenjataan Barat. Apakah Putin akan meningkatkan serangan dengan senjata nuklir?
Jika Putin sampai menggunakan senjata nuklir, besar kemungkinan akan direspons oleh Barat. Rusia sebenarnya telah memiliki kebijakan dalam penggunaan senjata nuklirnya sebagai pencegah.
Pertama, senjata nuklir akan digunakan Moskwa untuk mencegah serangan rudal balistik yang bertujuan menyerang Rusia dan sekutunya. Kedua, akan digunakan mencegah penggunaan senjata nuklir atau jenis lain senjata pemusnah massal oleh penyerang terhadap Rusia dan sekutunya.
Ketiga, mencegah serangan pada situs penting pemerintah atau militer Rusia yang bertujuan mengancam kemampuan nuklirnya. Terakhir, melawan agresi terhadap Rusia yang menggunakan senjata konvensional ketika keberadaan negara sedang dalam bahaya.
Penggunaan senjata nuklir pada akhirnya akan menambah kehancuran yang ditimbulkan sambil mengurangi kemungkinan konflik menyebar ke wilayah NATO. Pencegahan perang nuklir tidak otomatis atau melekat pada kepemilikan senjata nuklir belaka. Pertemuan puncak NATO, Kamis, diharapkan dapat mengakhiri perang dengan memulai dialog yang setara dan adil dengan Putin. (AFP/REUTERS)