Konflik kepentingan pada krisis Ukraina menyebabkan polarisasi G20. Masing-masing negara punya posisinya masing-masing. Presidensi G20 Indonesia 2022 ditantang untuk mampu mengelolanya sehingga mencapai sukses.
Oleh
KRIS MADA, ROBERTUS BENNY DWI KOESTANTO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Aspirasi sejumlah negara anggota G20 terkait krisis Ukraina masih terpolarisasi. Hal ini menjadi pekerjaan rumah yang berat bagi Indonesia sebagai presiden G20 untuk mengelolanya agar agenda G20 tetap bisa berjalan sesuai rencana dan menghasilkan output maksimal.
Duta Besar Rusia untuk Indonesia Lyudmila Vorobieva, Senin (21/3/2022), menyatakan sangat mengapresiasi pendekatan Indonesia untuk mengupayakan kebijakan yang berimbang terkait pemenuhan komitmen sebagai presiden di G20. Menurut dia, sudah benar bahwa Indonesia mengikuti agenda yang telah ditetapkan. ”Kami menganggap memasukkan isu-isu politik sensitif ke dalam agenda (G20) akan menjadi kontraproduktif,” katanya.
Secara terpisah, Duta Besar Perancis untuk Indonesia Olivier Chambard mengatakan, Perancis memberikan perhatian besar pada G20 yang merupakan forum sangat penting. Namun, ia mengingatkan bahwa invasi Rusia ke Ukraina memiliki konsekuensi dramatis pada masyarakat sipil serta dampak ekonomi, energi, dan pangan yang bersifat global. Invasi itu adalah pelanggaran mencolok terhadap prinsip-prinsip Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
”Dalam konteks ini, kami sedang berkonsultasi dengan pihak Indonesia untuk menentukan bagaimana mempertahankan forum G20 dengan mempertimbangkan pelanggaran kedaulatan Ukraina oleh Rusia dalam pertemuan-pertemuan yang dijadwalkan,” katanya.
Tahun ini, Indonesia menjadi presiden G20. Sebagai presiden, Indonesia bertanggung jawab menyelenggarakan kegiatan G20 secara optimal hingga membuahkan output yang mampu efektif menjawab tantangan dunia mutakhir dan masa depan. Dari perspektif kepentingan domestik, kegiatan G20 diharapkan mendukung agenda pembangunan nasional.
Namun, krisis Ukraina yang bereskalasi per 24 Februari 2022 menyebabkan posisi Indonesia sebagai presiden G20 tahun ini menjadi sulit. Konflik kepentingan dan konstelasi politik dalam krisis Ukraina mau tidak mau merembet dan terefleksi dalam dinamika G20. Sebab, aktor-aktor utama yang berkonflik berikut para pendukungnya adalah juga anggota-anggota G20.
Berdasarkan informasi yang dihimpun Kompas, urusan Presidensi G20 Indonesia 2022 mulai terasa pelik, sensitif, dan sangat politis. Indonesia berada di antara tarik-menarik kepentingan negara-negara yang tengah berkonflik.
Masih terkait dinamika mutakhir G20 yang terdampak polarisasi negara-negara menyusul krisis Ukraina, Kompas juga telah menghubungi Kedutaan Besar China di Jakarta. Namun, pihak kedutaan belum bersedia memberikan keterangan. Pihak kedutaan menyatakan jumpa pers baru akan digelar oleh Duta Besar China untuk RI Lu Kang, pekan depan. Tanggal penyelenggaraan jumpa pers belum dapat dipastikan.
Selain itu, Kompas menghubungi Kedutaan Besar AS dan Inggris di Jakarta untuk juga meminta pandangannya terkait dinamika serupa. Kedua belah pihak juga belum bersedia memberikan keterangan.
Pada pernyataan per 12 Maret, Dubes Inggris untuk Indonesia Owen Jenkins menyatakan bangga karena Inggris dan Indonesia bersama 139 negara lain mendukung resolusi Majelis Umum PBB yang meminta Rusia menghentikan serangan ke Ukraina. Ia menyebut serangan ke Ukraina sebagai pelanggaran Piagam PBB dan hak asasi manusia. ”Kami juga menentang agresi tak beralasan Rusia,” ujarnya.
Staf pengajar Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Bambang Cipto, menyatakan, Indonesia perlu mendorong agar Rusia segera menghentikan perang. Di sisi lain, Barat juga perlu menahan diri untuk tidak terus menekan Rusia.
Bambang juga menilai bahwa sebaiknya keanggotaan Rusia dalam forum G20 dapat dipertahankan. Penolakan keanggotaan dalam forum itu atas satu negara tertentu dapat menimbulkan komplikasi tertentu.
”China bisa punya alasan untuk lebih agresif karena hubungan dengan Rusia sangat kuat. Indonesia perlu membangun semangat nonblok lagi kalau memang ada tekanan. Sebab, situasinya sudah seperti Perang Dingin,” kata Bambang.
Berdasarkan informasi yang dihimpun Kompas, pemerintah berencana mengundang semua negara anggota G20 pada pertemuan menteri keuangan dan gubernur bank sentral di Washington DC, AS, 20 April. Hal ini disepakati pada rapat di Jakarta, Jumat pekan lalu. Hadir Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, dan Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo.
Kesepakatan itu masih harus dibawa ke Presiden Joko Widodo untuk menjadi kebijakan pemerintah definitif. Sampai dengan Senin malam, dikabarkan panitia G20 masih menunggu arahan dari Presiden. Begitu ada persetujuan Presiden, surat undangan akan dikirim ke anggota G20.
Pertemuan di Washington DC itu akan jadi pertemuan tingkat tinggi G20 pertama sejak perang Rusia-Ukraina pecah. Sukses tidaknya pertemuan itu akan jadi barometer Presidensi G20 Indonesia 2022. (RAZ/BEN/NIA/LAS)