Arah Investasi Setelah Krisis Ukraina
Secara tradisional, investasi mempertimbangkan kriteria yang disebut ESG alias ”environmental”, ”social”, dan ”governance”. Namun krisis Ukraina kian menyadarkan tentang variabel risiko negara tujuan secara holistik.
Berinvestasi di suatu perusahaa n berdasarkan kriteria lingkungan, sosial, dan tata kelola telah menjadi tren dalam industri pengelolaan dana global selama ini. Pada awal 2020, investasi dengan kriteria yang sering disebut ESG alias environmental, social, dan governance itu nilainya mencapai 35 triliun dollar Amerika Serikat (AS).
Selama ini, fokus sebagian besar para manajer pengelola dana dari Boston hingga London adalah pada perusahaan yang dituju. Risiko yang berkaitan dengan konteks perusahaan, seperti bentuk negara, pemerintahan, dan tata kelola pemerintahannya, cenderung tidak terlalu dijadikan dasar pilihan investasi.
Baca juga : Dilema Sanksi Ekonomi Rusia
Isu terkait dugaan keluarga Kerajaan Arab Saudi yang membunuh jurnalis Jamal Khashoggi atau anggapan perlakuan diskriminatif Pemerintah China terhadap komunitas muslim Uighur, misalnya, tidak menyurutkan animo ataupun menjadi pertimbangan utama investor.
Mereka tidak terlalu ambil pusing, misalnya, dengan pernyataan Pemerintah Arab Saudi yang menyatakan pembunuhan Khashoggi dilakukan orang-orang jahat. Mereka juga tidak terlalu peduli dengan bantahan Beijing atas tuduhan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terhadap warga Uighur di Xinjiang.
Baca juga : Para Vladimir di Bara Ukraina
Sementara serangan Rusia ke Ukraina berikut hujan sanksi AS dan sekutunya terhadap Rusia mau tidak mau mengubah langgam lama para investor. Kondisi ketika bank dan perusahaan Barat meninjau kembali eksposur senilai ratusan miliar dollar AS ke Rusia tidak bisa dianggap main-main. Lebih dari setengah lusin manajer pengelola dana yang diwawancarai Reuters mengatakan, krisis Ukraina menyebabkan mereka berpikir ulang tentang cara menetapkan risiko suatu negara.
”Kami harus menerima bahwa kami, sebagai sebuah industri, melakukan kesalahan yang sangat besar dengan tidak memetik pelajaran dari invasi (Rusia ke Krimea) pada 2014 dan bertindak dengan pertimbangan tertentu atas hal itu,” kata Sasja Beslik, Kepala Pengelola Dana Pensiun di Denmark dengan dana kelolaan senilai 87 miliar dollar AS. Menurut Beslik, investor yang memiliki aset keuangan yang berada dan terkait dengan Rusia sering tertekan sejak negara itu menyerang Ukraina per 24 Februari 2022.
Kualitas dan struktur pemerintahan suatu negara hanyalah satu dari sejumlah variabel pertimbangan investasi perusahaan pengelola dana. Data menunjukkan, 71 persen dari total dana senilai 35 triliun dollar AS yang diinvestasikan dengan pertimbangan ESG lebih banyak menggunakan fokus analisis pada risiko teknis keuangan dalam berinvestasi. Faktor-faktor seperti catatan HAM atau tata kelola lainnya cenderung dinomorduakan.
Catatan soal pelanggaran HAM cenderung diabaikan jika manajer pengelola dana ESG merasa risiko keuangan di suatu negara kecil. Keyakinan terhadap kemampuan pemerintah mengelola stabilitas negara tersebut lebih menjadi pegangan. Ini misalnya merujuk pada investasi di China.
Baca juga : 10 Tahun Lagi, China Diprediksi Kalahkan AS sebagai Negara Terkaya
Nicholas Lardy dari lembaga Peterson Institute for International Economics mengatakan, untuk keputusan investasi di China, setidaknya investor Barat lebih fokus pada nilai saham dibandingkan hal-hal terkait HAM. Namun risiko-risiko terkait tata kelola pemerintahan dan hal-hal terkait kebijakan suatu negara sejatinya patut dipertimbangkan.
Hal itu diungkapkan Martina Macpherson, Presiden Jaringan untuk Pasar Keuangan Berkelanjutan, organisasi nirlaba yang dijalankan pakar keuangan dan para akademisi. Selain pelanggaran HAM, risiko-risiko itu terutama terkait iklim, keanekaragaman hayati, dan tata kelola negara secara menyeluruh.
Menariknya, sebuah tindakan keras suatu pemerintah terkadang diikuti lebih banyaknya investasi yang mengalir ke negara tersebut. Pertimbangannya adalah karena gangguan terhadap aktivitas ekonomi sehari-hari lebih mudah dan cepat tertangani. Setelah China menghentikan protes pro-demokrasi di Hong Kong dua tahun lalu, investasi asing langsung ke China naik 14,9 persen pada 2021.
Pilihan atau pertaruhan pada pergerakan pasar seperti itu tidak selalu aman. Investor internasional, misalnya, dikritik pada tahun lalu karena memegang surat utang yang diterbitkan Pemerintah Belarus. Padahal kala itu, Presiden Belarus Alexander Lukashenko mengintensifkan tindakan keras terhadap para pengunjuk rasa di negaranya. Di China, kalangan investor di berbagai perusahaan China, mulai dari teknologi hingga pengembang properti, menderita kerugian karena Beijing mengeluarkan tindakan keras lewat aneka regulasi tahun lalu.
Namun, para pengelola dana tetap berinvestasi atau melanjutkan investasi di negara-negara yang cenderung bermasalah seperti itu. Alasannya adalah karena masalah reputasi dan moral serta risiko kerugian karena hal-hal itu cenderung lebih kecil. Pada saat yang sama, mereka memiliki mandat untuk berinvestasi dengan hasil yang berkelanjutan. Pengelola dana aset besar juga tidak serta-merta dapat memindahkan aset mereka secara sembarangan.
Mereka memiliki mandat untuk berinvestasi dengan hasil yang berkelanjutan. Pengelola dana aset besar juga tidak serta-merta dapat memindahkan aset mereka secara sembarangan.
Merujuk pada data Refinitiv, misalnya, dana exchanged traded fund (ETF) BlackRock iShares ESG Aware MSCI EM mencakup 3 persen dana investasi di Rusia dan 28 persen di China. ”Terlalu besar untuk diabaikan dan terlalu menguntungkan,” kata Lardy tentang kepemilikan investasi di China.
Pandangan serupa datang dari Presiden Gerber Kawasaki Wealth and Investment Management Ross Gerber. Ia mengatakan, jangkauan ekonomi global China yang besar membuat sulit investor mana pun menghindari peluang investasi di negara itu.
Baca juga : China Optimistis Ekonomi Bisa Tumbuh 5,5 Persen
”Orang-orang mengkritik saya karena memiliki investasi di China dan bukan Rusia. Tapi itu alasannya, orang- orang yang mengkritik mengetik di iPhone buatan China dan mengenakan pakaian buatan China,” kata Gerber yang memiliki saham Tesla dengan pabrik besar di Shanghai itu.
Namun, ada juga beberapa pengelola dana yang kini memindahkan uang mereka dari China. Pihak pengelola dana kekayaan negara Norwegia senilai 1,3 triliun dollar AS, Norges Bank Investment Management, misalnya, mengaku telah mengecualikan sebuah perusahaan China, Li Ning. Li Ning dinilai memiliki ”risiko yang tidak dapat diterima”. Perusahaan pembuat perlengkapan olahraga itu dinilai berkontribusi terhadap pelanggaran HAM serius di Xinjiang.
Sejumlah perusahaan Barat, dari BP dan Societe Generale hingga Citigroup dan Apple, membangun hubungan dengan Rusia. Banyak yang telah menghentikan atau mengakhiri hubungan tersebut sejak invasi Rusia ke Ukraina.
Langkah itu menunjukkan bahwa nilai-nilai ESG yang dulu dipercaya dan dilakukan kini telah merembes dari pengelolaan uang ke dalam pengambilan keputusan perusahaan.
”Tidak ada aturan yang akan melindungi Anda,” kata Sonia Kowal, presiden perusahaan investasi ESG yang berbasis di AS, Zevin Asset Management, tentang berinvestasi di beberapa negara.
Baca juga : Rusia Kaji Nasionalisasi McDonald's dan Kawan-kawan
Jeffrey Gitterman, manajer pengelolaan dan yang berfokus pada ESG di New Jersey, mengatakan, pihaknya menjual 5 persen saham pasar berkembang pekan lalu setelah Rusia menyerang Ukraina. Ia mengaku khawatir kepemilikan saham di China oleh pihak asing juga dapat menghadapi pembatasan. ”Semua yang kita ketahui tentang peran pasar negara berkembang dalam portofolio sekarang dapat dievaluasi kembali,” tambahnya.
Diliana Deltcheva, Manajer Candriam’s SRI Bond EM Fund, menyatakan, salah satu faktor utama yang hilang dari perhitungan ESG adalah harga pasar dari utang negara. Perusahaan Deltchewa telah lama mengecualikan Rusia, Belarus, China, dan negara-negara Teluk sebagai tujuan investasi.
Dalam kasus Rusia, asing memegang hampir 80 miliar dollar AS surat utang Rusia. Termasuk di dalamnya adalah surat utang negara dalam mata uang rubel, euro, dan dollar AS, serta sekuritas perusahaan. Investor di luar Rusia juga memiliki 86 persen dari pasar saham Rusia yang mengambang bebas pada akhir 2021. (BENNY D KOESTANTO)