”Ayunan Beijing”, Permainan Dua Kaki China dalam Krisis Rusia-Ukraina
Hingga kini China tidak melontarkan kecaman saat Ukraina diserang Rusia. Publik pun bertanya-tanya, apakah China memang melihat Ukraina sebagai sahabat atau hubungan mereka selama ini lebih murni transaksi bisnis.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
Konflik antara Rusia dan Ukraina tidak hanya membuat dunia semakin antipati dengan Presiden Rusia Vladimir Putin. Pada saat yang sama, pertanyaan besar mengikuti sikap China yang hingga saat ini tampak ogah-ogahan mengecam penyerbuan Rusia ke Ukraina. Apakah sikap ambigu ini masih relevan dan akan membawa manfaat ke dalam penyelesaian konflik?
Rusia dan China memang dikenal sebagai dua negara sahabat dekat. Putin berkunjung ke Beijing pada awal Februari lalu untuk pembukaan ajang Olimpiade Musim Dingin 2022. Sepulang dari Beijing, ia melancarkan serangan ke Ukraina dengan alasan memenuhi permintaan bantuan militer yang disampaikan kelompok separatis di Donetsk dan Lugansk.
Meski tidak dikatakan dalam pengumuman resmi Putin sebelum menyerang Ukraina, serangan Rusia itu terkait dengan penolakan Moskwa atas keinginan Ukraina untuk bergabung dengan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dan keengganan NATO menarik pasukan dari dekat perbatasan Rusia.
Seluruh dunia mengecam perbuatan Putin, kecuali China. Padahal, China memiliki hubungan persahabatan yang erat dengan Ukraina dan telah berlangsung selama 30 tahun. Ukraina juga merupakan salah satu pusat proyek Prakarsa Sabuk dan Jalan China di Eropa Timur. Nilai neraca perdagangan kedua negara ini pada tahun 2021 mencapai 19 miliar dollar AS dan setidaknya ada 6.000 warga China di Ukraina yang bekerja ataupun kuliah.
Oleh sebab itu, ketika China memutuskan diam saja saat Ukraina diserang Rusia, publik mempertanyakan apakah China memang melihat Ukraina sebagai sahabat atau hubungan mereka selama ini murni transaksi bisnis. Apalagi, selama ini China membanggakan kebijakan politik luar negeri mereka yang menekankan pada prinsip menghormati kedaulatan negara lain dan tidak ikut campur dalam urusan dalam negeri orang lain.
Dilansir dari harian nasional China, Global Times, Menteri Luar Negeri Wang Yi berbicara melalui telepon dengan Menteri Luar Negeri Ukraina Dmytro Kuleba. Intinya, Wang menyayangkan dan prihatin dengan situasi yang terjadi di Ukraina saat ini. Ia menggunakan istilah ”perang”, bukan ”operasi militer khusus” seperti yang digembar-gemborkan Putin.
”China sangat mengutamakan dialog dan negosiasi agar konflik bisa bisa segera diselesaikan,” kata Wang seperti dikutip oleh Global Times.
Meski demikian, tidak keluar ucapan bahwa China mengecam tindakan Rusia. Ini yang membuat Ukraina frustrasi. Kuleba bahkan meminta agar China mau berbicara dengan Putin dan membujuknya agar menghentikan invasi. Bisa dikatakan, China seperti memainkan gerak ayunan, suatu waktu bergerak mengayun ke Ukraina, pada kesempatan lain mengayun ke Rusia. Istilah lainnya, ”bermain dua kaki”.
Sejauh ini, tindakan yang telah dilakukan China ialah dua kali abstain dalam voting resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) yang mendesak agar Rusia menghentikan penyerbuan ke Ukraina. Negara lain yang memilih abstain ialah India dan Uni Emirat Arab. Resolusi DK PBB yang pertama ini diveto oleh Rusia yang kebetulan tengah memegang keketuaan bergilir di DK PBB.
Mengulang kasus Crimea
Peneliti isu China untuk Institut Mercator di Jerman, Helena Legarda, berpendapat bahwa China menerapkan taktik serupa dengan tahun 2014. Ketika itu, Rusia dan Ukraina juga berperang akibat Rusia mencaplok Semenanjung Crimea dengan alasan penduduk di sana memiliki lebih banyak kedekatan dengan Rusia meskipun secara geografis berada di Ukraina.
”China memilih melipir dan menunggu dalam diam. Setelah situasi tenang, mereka kembali masuk ke Rusia dan Ukraina serta melanjutkan urusan seperti tidak ada apa pun yang terjadi sebelumnya,” kata Legarda.
Permasalahannya, pada krisis kali ini kejadiannya berbeda dengan tahun 2014. Perang justru masuk ke ibu kota Ukraina, Kiev. Terjadi eksodus besar-besaran yang berisiko mendatangkan krisis kemanusiaan baru. Bahkan, China pun akhirnya memutuskan untuk mengevakuasi warga mereka dari Ukraina.
Dalam diskusi daring dengan Universitas Islam Internasional Indonesia, Rabu (2/3/2022), Direktur Pusat Perdamaian Asia Universitas Nasional Singapura Kishore Mahbubani menjelaskan bahwa China berada di persimpangan jalan. ”Di satu sisi, mereka bisa meraup untung dari konflik Rusia-Ukraina apabila AS dan negara-negara Barat disibukkan memitigasi konflik sehingga China bisa mengembangkan ekonomi dan pengaruh mereka relatif tanpa gangguan,” ujarnya.
Namun, pada saat yang sama juga ada risiko China malah semakin merugi. Sikap mereka yang tidak mau terlibat, bahkan menegur sahabat yang salah, akan membuat dunia semakin antipati dengan China. Akibatnya, China ikut terisolasi dan kehilangan mitra-mitra potensial.
Pendiri Pusat Riset China dan Globalisasi di Beijing, Henry Wang Huiyao, kepada media Bloomberg mengatakan bahwa pendekatan terhadap China harus dilihat dari berbagai sisi. ”Jika memungkinkan, Rusia dan Ukraina sama-sama meminta agar China terlibat di dalam negosiasi perdamaian,” katanya.