Sepenggal Potret Perempuan Kulit Hitam Afrika Selatan
Apartheid sudah lama mati. Toh perempuan kulit hitam masih saja hidup menderita dan penuh ketakutan.
Oleh
ROBERTUS BENNY DWI KOESTANTO
·4 menit baca
Kawasan permukiman padat yang dipenuhi hostel atau asrama menjadi peninggalan masa lalu Afrika Selatan yang kelam berikut masalah yang tersisa hingga kini. Kawasan itu sangat identik dengan aneka kejahatan yang tak pernah mengenal kata berhenti. Di kawasan-kawasan itu, kaum perempuan menjadi kelompok paling terpukul.
Gedung-gedung pencakar langit yang berkilauan menjulang di seberang jalan raya di Sandton, pusat keuangan kota yang dikenal sebagai kawasan terkaya di Afrika. Namun jangan salah, kawasan permukiman padat di belakang atau sekitar kawasan itu adalah saksi bisu potret kerasnya kehidupan di Afrika Selatan.
Kawasan itu juga adalah saksi sejarah politik apartheid. Di kawasan pinggir kota itu, pemerintah apartheid membangun tempat-tempat untuk menampung pria kulit hitam yang menjadi buruh di pekerjaan-pekerjaan kasar.
Duduk di salah satu lorong di antara deretan bangunan tinggi tak terawat, Brenda. Perempuan itu merasa putus asa. Aliran listrik di tempat tinggalnya padam malam sebelumnya. Sampai hari itu, tak ada tanda-tanda kapan listrik tersambung kembali.
Tidak ada yang bagus di sini. Tidak ada listrik, tidak ada air. Tidak ada yang bagus di sini.
Dia tidak punya apa-apa untuk makan malam. Sarapannya adalah air putih dan sepotong roti. ”Tidak ada yang bagus di sini. Tidak ada listrik, tidak ada air. Tidak ada yang bagus di sini,” kata perempuan berusia 62 tahun itu seraya menolak menyebutkan nama belakangnya.
Brenda tinggal di salah satu kawasan yang disebut sebagai kawasan paling kasar di Afrika Selatan. Genangan air di dekatnya mengeluarkan bau tak sedap, meluap dari toilet umum. Kompleks perumahan yang penuh sesak dan bobrok itu konsisten mempertahankan satu aturan yang telah berlangsung selama beberapa dekade, yakni tidak ada pria yang diizinkan masuk.
Kawasan seperti itu disebut sebagai kawasan hostel atau asrama. Brenda pertama kali melangkah ke kompleks ini lebih dari 40 tahun yang lalu ketika dia pindah dari desanya ke kota Johannesburg di Alexandra. Ia berharap menemukan kehidupan yang lebih baik di era demokrasi. Malang, hingga rambutnya memutih, mimpi itu belum juga terwujud.
Brenda harus menghabiskan puluhan tahun tinggal di asrama itu. Terdiri dari delapan blok flat, masing-masing lima lantai, kawasan itu dirancang seperti penjara. Binatu tergantung di lorong. Sampah menutupi halaman.
Tetangganya di asrama itu adalah 8.000 perempuan lain, ditambah 3.000 anak-anak. Banyak yang lahir di tempat itu. Setiap flat terdiri dari satu kamar dengan satu kasur, tetapi dihuni banyak orang. Sewanya murah, sekitar 100 rand atau 6 dollar AS per bulan. Namun, para penghuni jarang membayarnya.
Awalnya, kawasan seperti itu dibangun oleh pemerintah apartheid untuk menampung pria kulit hitam di pinggir kota. Kala itu, kaum pria kulit hitam umumnya bekerja di tambang. Perempuan tidak diizinkan bekerja di pertambangan sehingga harus tetap tinggal di asrama.
Tingkat pengangguran kaum perempuan kulit hitam saja mencapai 41,5 persen.
Pemerintah demi pemerintah telah berjanji untuk merombak kawasan hostel itu. Namun, janji tinggal janji. Di saat tingkat pengangguran di Afrika Selatan masih tinggi, perempuan kulit hitam menjadi kelompok paling marjinal. Tingkat pengangguran secara keseluruhan di negara itu adalah 34,9 persen. Tingkat pengangguran kaum perempuan kulit hitam saja mencapai 41,5 persen.
Kawasan hostel yang dibangun pada 1972 itu telah bertahan selama beberapa dekade tak tersentuh perubahan. Ancaman kekerasan di tempat itu sangat nyata, terutama bagi kaum perempuan.
Beberapa tahun lalu, seorang perempuan diperkosa dan ditikam sampai mati di koridor tak jauh dari tempat yang sekarang menjadi kamar Nomvelo Nqubuko. Tidak ada yang pernah ditangkap setelah terjadinya peristiwa itu. ”Kami hidup dalam ketakutan, tetapi saya tidak punya pilihan,” katanya.
Afrika Selatan adalah negara dengan rata-rata laporan pemerkosaan ke polisi setiap 12 menit. Atas latar itu, Patronella Brown mengatakan, perempuan Afrika Selatan membuat sistem peringatan atas diri mereka sendiri.
Ini bukan tempat yang layak bagi siapa pun untuk tinggal. Ini bukan tempat untuk membesarkan anak-anak.
Brown mengaku telah tinggal di situ lima tahun terakhir. Jika terjadi serangan atau bentrokan, warga bisa meniup peluit dan tetangga mereka akan datang untuk melerai. ”Ini bukan tempat yang layak bagi siapa pun untuk tinggal. Ini bukan tempat untuk membesarkan anak-anak,” kata Brown.
Dia ingat suatu hari ada bayi yang baru lahir ditemukan di tempat sampah. Mayatnya dibungkus dalam tas belanja plastik. ”Hidup sungguh menyakitkan di sini,” kata Brown. (AFP)