Sejak subuh sampai menjelang magrib, Sitan Coulibaly (17) bekerja tanpa henti. Ia menimba air, memandikan anak- anak, memasak, membersihkan rumah, mencuci baju, dan seterusnya. Sebagai pekerja domestik di Bamako, ibu kota Mali, sekitar 300 kilometer dari kampung halamannya di Babougou, Coulibaly terbiasa membantu ayahnya bekerja di ladang.
Berada di wilayah Sahel (secara geografis mengalami transisi iklim), Mali mengalami masa kekeringan panjang dari Juli sampai Oktober. Pada periode ini, biasanya ribuan perempuan migran dikirim orangtuanya untuk mencari pekerjaan ke kota. Kebanyakan sebagai pekerja domestik, seperti Coulibaly.
Namun, peluang kerja di salah satu negara paling miskin di dunia ini membawa risiko besar bagi anak-anak dan perempuan remaja, seperti Coulibaly. ”Para majikan tahu, anak-anak gadis ini putus asa mencari pekerjaan. Jadi, majikan memanfaatkan situasi itu. Banyak dari gadis ini mengalami kekerasan, pemerkosaan, atau gajinya dipotong semena-mena,” kata Muso Danbe, Ketua APAFE, organisasi amal yang memperjuangkan perbaikan lingkup kerja tenaga perempuan migran di Mali.
Oumou Samake (16), pekerja domestik di Badalabougou, area makmur di Bamako, mengaku bahwa majikannya sering mencaci maki dan memotong gajinya saat tidak merasa puas dengan pekerjaan Samake. ”Tetapi, saya masih beruntung karena dia tidak memukuli saya,” kata Samake yang tidak mau pindah tempat kerja karena ia yakin kondisinya tidak akan berbeda.
Situasi keluarganya yang sangat miskin di kampung halaman membuat Samake tidak punya banyak pilihan. ”Setiap bulan, saya mengirimi mereka 10.000 CFA franc (setara 20 dollar AS atau Rp 275.500) untuk membeli beras. Saya khawatir dengan kondisi kedua orangtua dan tujuh saudara saya. Saya tidak tahu apakah mereka masih bisa makan,” katanya.
Kebanyakan remaja, seperti Samake dan Coulibaly, ketika pulang ke desa, umumnya dinikahkan. Tabungan dari hasil pekerjaan mereka dijadikan mahar.
Dalam indeks Keselamatan Anak, Mali merupakan satu dari tiga negara di dunia (dari 172 negara) dengan tingkat keselamatan anak-anak sangat rendah dalam hal perkawinan anak, kehamilan remaja, putus sekolah, dan korban kekerasan.
Kekeringan dan teror
Sebagian besar wilayah Sahel di Afrika Barat saat ini mengalami kelaparan terburuk selama bertahun-tahun akibat anomali cuaca yang menyebabkan masa kekeringan sangat panjang. Hanya sedikit tanaman yang bisa tumbuh.
Kelangkaan bahan pangan dan ancaman kekerasan terorisme dari wilayah Burkina Faso—tetangga Mali di utara—menyebabkan sejumlah negara di wilayah Sahel mengalami krisis kemanusiaan terburuk. Menurut PBB, jutaan warga Mali-Burkina Faso butuh bantuan pangan pada bulan-bulan ke depan. ”Tak ada skenario yang optimistik,” kata Christian Munezero, kepala misi Komite Internasional Palang Merah (ICRC).
Normalnya, musim kelaparan di wilayah Sahel terjadi Juli- Oktober. Namun, tahun ini, kekurangan pangan terjadi lebih cepat dan berakhir lebih lama. ”Makin lama kita menunggu (untuk bertindak), situasi makin memburuk,” ujar Direktur Regional Program Pangan Dunia PBB (WFP) Abdou Dieng dari Ouagadougou. (AFP/Thomson Reuters Foundation/MYR)